"Tenang saja, secara teknis dia cuman ketemu sama adikku."
"Hemm..."
Aku tak mengerti apa maksud nada bicaranya itu, tapi aku yakin di dalam wajah tampan dari orang ini menahan rasa penasaran antara hubunganku dan Rainata.
Di sepanjang koridor, kebanyakan murid-murid memberikan jalan luas kepada kami, lebih tepatnya kepada orang yang sedang berjalan di sampingku.
Tatapan dari orang-orang itu membuatku sangat tak nyaman.
Aku serius, bagaimana dia bisa bertahan lewati ini setiap hari?
Apapun itu, dengan melihat perbedaan sebanyak-banyaknya antara aku dan Jimmy membuatku tak ingin lagi berurusan dengannya.
Aku mohon hari ini cepatlah berakhir.
Kami memasuki perpustakaan yang di sedikit berisik karena gadis-gadis yang sepertinya sedikit memakai kaca tempat kemarin itu sambil membenar-benarkan make up mereka, mungkin.
Aku duduk di kursi dengan meja yang sangat besar di tengah perpustakaan itu sambil mengambil buku terdekat.
Jimmy yang dengan santai duduk di sebelahku juga melakukan hal yang sama.
"Jadi ngapain di sini?"
"Sabar bentar."
Wajahnya kini fokus ke buku yang dia ambil tadi sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya seolah sedang menghitung detik dari waktu.
Tak lama suara dari gadis-gadis yang terlalu keras tadi terdengar seperti gumaman beberapa orang menghilang sedikit demi sedikit.
Aku berjalan keluar untuk memastikannya.
Yah, aku tak menyangka bahwa Rainata berhasil membuat mereka bertiga membuly nya lagi.
"Oi, Jimmy, sini!"
Meskipun merasa keheranan Jimmy berjalan menghampiriku setelah melepaskan buku tadi di atas meja itu.
"Apaan?"
Setelah Jimmy tepat melihat apa yang aku lihat, matanya melebar sampai bagian putihnya lebih besar dari yang pernah aku lihat.
Dengan cepat tanpa pikir panjang Jimmy bergegas kearah mereka.
Tentu saja untuk menghindari masalah aku hanya mengintip dari depan perpustakaan.
"Oi! Kalian lagi ngapain?"
Seolah satpam yang menemukan sesuatu yang mencurigakan seperti pencuri Jimmy menghampiri mereka, tepatnya dia berjalan kearah Rainata lalu menarik lengannya.
"Anu..."
Rainata terhenti tepat beberapa langkah sesudah menjauh dari mereka bertiga.
"Jim, maaf, tapi aku nggak mau pacaran!"
Suara itu menggema di koridor yang tempat kami berdiri dari sini.
Aku yang berada di kejauhan hanya bisa menonton konflik layaknya sebuah sinetron.
Ini sangat mengesankan! Ayo Rainata! Setelah ini lakukan temparan kearahnya! Aku mendukung! Lakukan saja! Cepat!
Rainata berlari, saat dia melewati persimpangan antara perpustakaan dan kelas, mataku dan matanya sedikit bertemu seolah sedang menyapa satu sama lain.
Lah? Kok nggak di tampar?
Di dalam ketidakpuasan dalam diriku, aku kembali melihat orang-orang yang tersisa di dalam lorong itu.
"Kalian udah puaskan?"
Setelah mendengar perkataan Jimmy yang seperti mengasihani dirinya sendiri, ketiga gadis itu tak bisa berkata apapun lagi.
"Bisa tinggalin aku?"
Jimmy yang tadi berada di tengah, kini mulai menepi memberikan jalan yang sangat luas untuk mereka pergi.
Aku masuk kedalam perpustakaan untuk menghilangkan bukti bahwa aku yang mengadukan mereka kepada Jimmy.
Bisa-bisa aku dipanggil seorang pengadu.
Seperti mereka bertiga terlihat sudah cukup jauh, aku kembali untuk Jimmy yang kini tersandar lemah di dinding perpustakaan itu.
"Aku ini nggak ngerti gimana ngomongnya, jadi lebih baik kau yang liat langsung."
Aku mendekat kearahnya memberikan alasan sebaik mungkin untuk membuat kesan diriku adalah orang baik padanya.
Yah walau aku nggak niat bisa jadiin orang ini temen, tapi aku juga nggak ada niat jadiin orang ini musuh.
"Huah..."
Jimmy kini berjalan kearah kaca lalu membasuh wajahnya dan sedikit rambut hitam klimisnya.
"Zell, maaf."
"Hah? Apanya? Yah emang wajar sih kau minta maaf, tapi bukan denganku."
"Aku nggak nyangka kalo Nata bakal di kayak gituin."
"Hem, aku ngerti, harusnya jika kau emang punya perasaan dengannya, jangan lakuin setengah-setengah, aku ini tipe orang yang pilih hidup atau mati, dan membenci orang yang berada antara keduanya."
"Karena itu..."
Jimmy menghela nafas panjang kemudian menepuk bahu kiri ku sama seperti kemarin hanya saja memiliki kesan yang berbeda.
"Rainata nya ku serahin kepadamu oke?"
Hah? Orang ini pasti gila! Apa tekanan mental tadi membuat otaknya sedikit Apa aku harus membawanya ke UKS sekarang juga?
Lengan Jimmy yang tadi menepuk bahuku kini menjulur seperti memintaku memberikan salaman kepadanya.
Kenapa dengannya? Apa dia berniat menyerah?
"Ah..."
Kerena sedikit kebingungan, aku hanya nepuk tangan itu dengan tanganku, seolah sama seperti gaya tos nya anak-anak keren zaman sekarang.
Dengan entah apa yang sedang dia pikirkan, aku pergi meninggalkannya tanpa kembali membalikkan badan sedikitpun.
Tanpa sengaja tepat di depan kelas 12B, mungkin karena penasaran, aku malah mencari seseorang dan bertemu pandangan dengan orang itu, tapi itu seketika berakhir karena perasaan gelisah ku yang makin menggeliat jelas seolah sedang mencekik semua bagian tubuhku.
Saat aku kembali ke dalam kelas, Rainata duduk di tempatnya sambil anggun membaca buku, lalu setelah aku berjalan kearah tempat duduk ku dia sedikit mengarahkan pandangannya lalu langsung kembali ke arah buku di tangannya.
"Kau berhasil lagi ya?"
Dengan duduknya aku di atas bangku tepat di sebelah Billy, dan dia mengatakan kalimat yang aku sendiri bahkan tak paham.
"Hah? Sorry, apa?"
"Nggak, bukan apa-apa."
Dan dengan begitu berakhir juga pembicaraan kami yang entah apa.
Bell masuk kembali berhunyi, dengan cepat juga bersama dengan masuknya ibu guru, kelas kembali dalam kesunyianya.
Udara yang tadi pagi terasa sejuk mulai berubah menjadi panas, mengingat semua yang aku lalui gundah serta gelisah tanpa akhirnya selalu menemaniku.
Sampai kapan kira-kira jarak antara aku dan Ishiki seperti ini? Mungkin saja rasa dari kegelisahan ini akan menghilang jika aku mengatakan sesuatu padanya, tapi aku tak memiliki keberanian untuk memulainya.
Bukan tentang keberanian seperti para kesatria yang rela mati, bukan juga tentang perjuangan sebagaimana tekat dari Hero yang biasanya ada di film fantasy, ini adalah hidup.
Aku mungkin tahu bahwa kopi yang manis itu enak, aku juga mengerti bahwa kopi pahit itu bisa dinikmati, tapi berbeda dengan ampasnya!
Aku yakin semua orang akan mengatakan bahwa ampas kopi itu tak pernah mereka sentuh, yah mungkin seperti itulah keberanian ku saat ini.
Sekolah selesai seperti biasa, dan setelah menunggu tak lama aku mengambil giliran ku untuk pulang.
Kini aku kembali di kesendirian ku di tahun-tahun sebelumnya, pulang bersama hembusan angin yang arahnya sama kearah tempat tinggal ku.
Dedaunan kering dari pohon yang terjejer rapi di pesisir trotoar itu berterbangan kerena angin tersebut, membuatnya terlihat seperti sedang terbang mengikutiku dan menemani ku.
Semalam berlalu, hari berikutnya tak ada hal yang perlu di kenang apapun yang terjadi, tetapi pada dasarnya memang tak terjadi apapun, tak ada lagi masalah, tak ada lagi jalan-jalan, tak ada lagi kejutan-kejutan dari Yuuki.
Yah, memang ini keinginanku, ini sempurna!
Tapi hari-hari itu ternyata juga berakhir dengan cepat.