Chereads / Story at school / Chapter 25 - SENYUM YANG HILANG IV

Chapter 25 - SENYUM YANG HILANG IV

Beberapa saat berlalu, satu-satunya yang membuat ku tak nyaman dengan suasana ini adalah lirik mata Rainata yang beberapa kali beradu dengan ku lalu pergi dengan cepat.

Mobil ini membawa kami melaju sama dengan cepatnya perginya lirikan-lirikan kami itu, dan hampir 10 menit berlalu tanpa ada tanda-tanda ingin berhenti.

Sebenarnya kami ingin dibawa kemana? Apa kami akan dibuang ke tempat entah berantah?

Sial, sekali lagi aku menatap kearah Rainata karena kecemasan ku tentang apa yang terjadi kedepannya tentang ini.

Kemudian setelah aku mencoba tenang sebaik mungkin, mobil ini perlahan melambat di tempat yang sangat sepi, satu-satunya rumah tunggal yang menjadi pusat perhatian adalah rumah besar dengan pagar putih yang hampir menutupi pandangan kami dari dalam mobil yang sudah di depannya.

Ketika masuk dengan dibukakan gerbang layaknya sedang memasuki sebuah istana, lapangan luas masih menunggu kami sebelum sampai di depan rumah putih polos yang kini benar-benar terlihat jelas.

Di tembok dari pagar putih tadi terlihat ukiran-ukiran indah yang mungkin berasal dari Kerajaan Majapahit.

Yah, aku tak begitu yakin tapi ukuran ini pasti berusia lebih tua dariku.

Ada beberapa anak tangga di depannya setelah aku dan Rainata turun secara bergantian dari mobil itu.

Dari ketiga orang yang membawa kami tadi hanya big bos yang membawa kami layaknya sedang toure wisata di sebuah museum besar karena banyak hal keren sepanjang mata memanjang.

Aku mulai serius, kenapa Billy malah pergi dari rumah sekeren ini!? Jika itu aku, aku akan tetap di sini dan hidup tanpa keluar kamar apapun yang terjadi.

Karena keterkesanan ku tak terasa pintu besar kembali terbuka di tengah-tengah lorong yang masih sangat panjang.

Saking panjangnya mungkin siput kecil akan menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk sampai di sini lain rumah ini.

Dari yang terlihat setelah aku dan Rainata masuk di ruangan itu ada sofa panjang yang berhadapan langsung dengan kursi layaknya kursi raja dari kekaisaran.

Langkah kecil kami berdua karena kebingungan dengan segala pernak-pernik yang tak biasa kami temui membuat orang yang tadi mambawa kami itu sekejap menghilang meninggalkan kami.

Pintu yang baru saja tertutup serta langkah kaki besar dari big bos tadi mulai menghilang.

Sekali lagi aku dan Rainata melangkah mencoba mendekat ke sofa itu yang mungkin memang untuk kami.

Sebagai jarak antara sofa dan kursi tunggal itu ada meja besar dengan banyak makanan serta kue yang terlihat sangat enak.

Rainata yang seperti sedang berpikir kini duduk dengan lembut di ujung sofa itu lalu aku duduk di sini lainnya.

Lagi-lagi kami di suruh menunggu, berkali-kali Rainata melihat jam tangannya untuk memastikan berapa lagi kami menunggu.

Meskipun begitu itu tak mengubah fakta bahwa ini sangat membosankan.

Ini sangat lama, saking lamanya aku bisa mengalahkan bos cebol venena di mode ultimate sebanyak duapuluh sampai tigapuluh kali. Sial!

Di lain cerita, aku tak bisa banyak tingkah karena aku sedikit merasa bersalah karena membawa Rainata ke dalam masalah ini.

Sama seperti biasanya yang ada hanyalah ke terdiaman antara aku dan Rainata, tak ada kata yang keluar.

Dari ruangan besar ini yang terdengar hanyalah suara AC sebagai normalisasi dari panas dinginnya badanku karena keanehan ini.

Berkali-kali Rainata menahan pipinya dengan kedua tangannya sebagai bukti kebosanan dalam dirinya, tak terkecuali diriku yang hanya bisa melirik nya karena rasa bersalah ku yang belum bisa menghilang.

Tiba-tiba saja di keheningan itu, terdengar suara langkah kaki, langkah kaki itu lebih nyaring daripada big bos tadi tetapi membawa kesan lembut saat di dengarkan.

Pintu itu terbuka, seorang perempuan yang melangkah dengan sepatu tinggi berwarna merah berjalan seolah sedang menonjolkan dirinya sendiri.

Selain wajah awet muda dan tubuh langsing dari orang yang mungkin adalah ibunya Billy ini membawa kesan bahwa dialah yang berkuasa di dalam sini.

Detak detuk suara dari sepatunya yang terlihat sangat mahal itu membawanya berjalan lalu duduk di depan kami.

"Kalian temennya Billy kan? Makan aja dulu."

Sejujurnya, aku sangat tegang karena suasana ini sampai-sampai tak selera makan apapun.

Meskipun begitu, Rainata kini meneguk es sirup yang dari tadi ada di depannya.

Yah, aku masih bingung kenapa nggak dari tadi?

"Kami bukan temennya Billy, kami cuma satu kelas."

Oke, dengan begini aku bisa memulai fakta bahwa aku sama sekali tak mengenal Billy tanpa banyak bicara apapun lagi lalu pergi pulang.

"Amm, karena kau orangnya nggak suka basa-basi aku akan ngomong langsung ke intinya saja."

Walaupun kalimatnya sedikit menusuk, wanita itu berbicara sebaik mungkin.

Jadi aku juga harus menggunakan tata bahasa yang baik dengan orang ini untuk tak terkena masalah apapun lagi.

Aku sedikit menunggu apa yang ingin orang itu bicarakan, namun diantara sela pembicaraan HP-nya berbunyi dan menggama di ruangan ini.

Perhatian wanita itu langsung menuju kearah sana, dan perlahan dia sudah terlihat tenggelam di dalamnya.

Jadi, setelah apa yang telah kami tunggu, kami juga harus menunggu lagi?

Untungnya aku ini adalah orang yang sama sekali tak pendendam, tapi harus digarisbawahi bahwa aku ini adalah kelompok orang-orang yang suka memberikan pelajaran bagi orang yang tak menghargai orang lain.

Melihat Rainata yang menatapku sebagai sinyal, aku langsung mengambil Hpku yang ada dalam saku, membuka game dan menyalakan soundtrack dari game tersebut sebesar mungkin.

Yah, tentu saja siapapun akan terganggu dengan tingkah semacam ini, jadi jangan lakukan hal semacam ini.

Karena pada dasarnya posisi kami di sini sama, aku tak segan lagi membuat peraturan yang sudah memberatkan ku.

"Aku ini adalah ibunya Billy."

Setelah merasa bahwa aku sedang melupakan hal yang sama dengan apa yang dia lupakan, ibunya Billy meletakkan HPnya di atas meja antara meja besar di depan kami ini.

"Bisa kalian kasih tau sekarang Billy ada dimana?"

Dengan sedikit menekukkan kedua lengan orang itu juga mendesah kecil sebagai rasa bersalah.

Aku kini melepas penuh HP dengan cara yang sama seperti orang yang menjadi lawan bicaraku sekarang ini.

"Maaf, kami nggak tau soal itu."

Kini orang di depan aku dan Rainata itu mulai meraba saku jas hitam yang di pakainya.

"Tolong kasih tau."

Hey tunggu, apa aku sedang bermimpi?

Setelah mengeluarkan uang entah berapa lalu meletakkannya dengan jelas di samping HP itu, ibunya Billy kembali mengulangi kata-katanya.

"Tolong ya?"

Oke, tenanglah, aku harus berpikir logis tentang ini.

"Maaf kalo saya bicaranya agak sok tau ya, apa anda tau alasan kenapa Billy kabur dari rumah ini?"

Tiba-tiba saja, mata dari orang yang penuh percaya diri itu memudar, seolah sedang mengingat apa yang sudah terjadi.

Oke, aku sudah tak perlu jawaban apapun lagi.

"Tunggu benar ya?"

Aku mengambil HPku lalu menelpon seseorang dan tak perlu tunggu lama telpon ku langsung diangkat.

"Halo, Billy? Bisa tolong aku? Sekarang aku di culik dan disekap di rumah gede yang mirip kayak museum."

"Oke, oke, aku udah tau bakal gini, tapi aku nggak nyangka bakal secepet ini."

"Yaah maaf."

Telpon itu dimatikan, membuatku juga menurunkan HP yang tadi kuletak di samping telingaku.

Tak lama menunggu, seperti orang yang memang tak jauh dari kediaman ini, Billy membuka pintu seolah sedang mendobraknya di temani seseorang.

"Aku udah di sini, tolong antar mereka berdua pulang."

Sambil berjalan ke depan ibunya, Billy kini saling menggunakan tatapan tajam kearah ibunya sama seperti ibunya kearahnya.

Sial, aku harusnya nggak ada di sini.

"Rai, ayo pulang."

Aku mengambil langkah untuk mengajak Rainata keluar dari ruangan yang mungkin akan terjadi perang kata-kata.