Chereads / Story at school / Chapter 27 - SENYUM YANG HILANG VI

Chapter 27 - SENYUM YANG HILANG VI

Jika di ingat-ingat lagi aku yang sedang berjalan pulang ini malah kembali merasa ada adegan flashback saat di rumah sakit.

Kira-kira apa yang aku liat ya? Apa itu beneran hantu? Maksudku, baju putih dengan rambut hitam lebat terurai memang identik dengan hantu kan? Sial! Aku malah ngingat yang nggak-nggak.

Kali ini aku mengangkat kaki dengan kecepatan yang tak menentu di dalam gelam malam yang menyelimuti sekeliling lampu-lampu jalan ini.

Saat aku sampai di rumah, Yuuki dan ibu sudah di dalam kamar Yuuki, mungkin karena ibu pulang sendirian dia akhirnya tidur di kamar Yuuki daripada kamar kosong di sebelah kamar Yuuki ini.

Suara dari bisikan-bisikan mereka masih bisa aku dengar dari depan kamar Yuuki saat aku kembali dari dapur untuk menyiapkan kopi yang kini sedang ada di tanganku.

Setelah mengunci pintu depan aku masuk kedalam kamarku untuk memainkan game di mana karena hari ini terlalu banyak hal aku tak bisa main dengan tenang.

Jam di layar Hpku masih menunjukkan jam 11 malam, tapi ruangan di sebelahku kini sudah senyap.

Tiba-tiba saja, tanpa suara, pintu kamarku terbuka dengan sangat pelan membawa seseorang mengintip masuk lalu berjalan mendekati tempat tidurku.

"Udah kuduga kalo kau belum tidur."

Kini ibuku sedikit menunduk untuk bisa menatapku dengan sejajar.

Baju piyama yang dikenakan oleh ibuku ini mungkin Yuuki yang merekomendasikannya.

Yah, aku yakin karena style anak muda itu.

Warna biru itu kini bercampur serasi dengan biru muda dinding kamarku, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa ibu-ibu ini adalah kakanya Yuuki aku tak akan menyangkalnya.

"Jadi gimana Zell?"

Ibuku kini naik di atas tempat tidurku yang mana harus melewati ku dulu sebelum sampai antara aku dan juga dinding biru itu.

Beberapa kali terdengar dengik dari ranjang yang sudah lumayan tua ini, suara itu terdengar lebih besar dari biasanya.

"Apanya?"

"Anu.... Soal, Ahem, ahem, 'aku berharap masa mudaku cepat berlalu' gitu?"

Entah mengapa suara ibuku diberat-beratkannya seolah sedang mencoba meniru suaraku.

Lebih tepatnya kalimat itu adalah kalimat yang aku tulis di sebuah buku dan kini aku bahkan sudah lupa dengan buku itu.

Yah, jika diungkit-ungkit lagi itu sangat memalukan.

Sial!

Aku tak ingin membahas masa lalu, mengingatnya saja ingin membuatku kembali dan menampar diriku saat itu.

Jadi meski ibuku menunggu cukup lama untuk mendengar jawaban dariku aku tak kunjung memberikannya.

Perlahan kepala ibuku yang sama dengan posisiku tadi yang bersender dengan ujung ranjang ditemani dengan bantal, kini mulai memiring kearah bahuku.

"Hey Zell, bukannya sikapmu dingin banget yah ke ibu sendiri?"

Memang pada dasarnya, beginilah cara ibuku memberikan perhatian kepadaku, tak peduli seberapa lama kami terpisah aku tak pernah bisa menganggapnya sebagai orang asing.

"Maaf yah Zell."

Entah mengapa mendengar permintaan maaf itu membuatku melepas penuh HP yang ada di tanganku.

"Apanya?"

"Ibu sama ayah nggak bisa pulang saat kau masuk rumah sakit."

Dengan penuh kelembutan tangan kanan yang bisa menyelinap masuk di belakangku mengusap rambutku yang mungkin saja sedang berantakan.

"Yah, ngapapa."

Aku berusaha keras untuk memberikan senyum sebaik mungkin walupun yang keluar hanyalah senyuman kecut seperti biasanya.

Kini mata ibu mulai meredup, membawa kesan bahwa dia mungkin akan tidur di bahuku.

"Ngomong-ngomong Zell, gimana soal romansa masa muda yang dulu kau idam-idamkan?"

"Yah, kayaknya aku udah nggak bakal bisa lagi berharap soal itu."

Tentu saja ini tentang Ishiki.

"Hemm, kalo soal Rainata tadi gimana?"

Sepertinya meskipun sudah menutup matanya ibuku ingin terus berbicara dengan ku karena dari itu aku kembali menyeruput kopi yang sengaja aku letakan di atas lemari kecil sebelah tempat tidurku.

Lalu ibuku kembali melanjutkan pembicaraan sambil mengangkat jari-jari seolah sedang menghitung.

"Dia cantik, pinter masak, pinter bersih-bersih, pekerja keras, dan lagi anunya cukup berisi lho."

"Prtttt... Buset sejak kapan kopi bisa sepahit ini?"

Hey, hey, hey, apa yang baru saja ibuku katakan? Sial! Apa kau benar-benar ibuku, kenapa kau malah membahas tentang apa yang selama ini tak pernah aku perhatikan dengannya?

Ibuku tertawa kecil, membuat kepalanya tadi mulai menjauh diriku.

"Kalo sama dia kayaknya cocok deh."

"Yah, mana mungkin aku bisa dapat gadis seperti dia kan?"

Tiba-tiba ibu berdiri dari tempatnya kemudian turun dari tempat tidurku.

"Tenang aja, begini-begini kau itu anak kesayanganku."

Yah, itu memang fakta yang mengejutkan.

Jika boleh jujur ibuku ini adalah ibu paling ba....

"Yah itupun kalo nggak ada Yuuki."

Cih sial! Untung aku tak terlalu memujinya, orang ini sangat menyebalkan!

Apakah sangat menyenangkan mempermainkan perasaan orang lain?

"Jangan kemaleman ya main game nya."

Bersama dengan itu ibuku keluar dari pintu tanpa suara sama seperti seorang pencuri yang sudah berhasil mengambil sesuatu dari dalam kamarku.

Rasa kantuk tiba-tiba datang setelah suara kamar Yuuki yang jelas terdengar sedang di buka tutup.

Beberapa hari terus berganti namun rutinitasku tak kunjung berganti, dalam beberapa hari itu secara kebetulan Billy tak masuk sekolah, jadi aku memang mengatakan apa yang terjadi.

Sabtu pagi, aku dan Yuuki sarapan bersama ibu sebelum pergi sekolah sama seperti hari-hari sebelumnya.

"Besok ibu bakal berangkat kerja lagi."

Meskipun aku sudah selesai makan dari tadi dan menunggu Yuuki untuk berangkat lebih dulu rasanya seperti aku sedang kehilangan nafsu makanku tadi.

Akan tetapi Yuuki yang dulu menangis dalam kalimat sederhana itu sekarang tak merespon bahkan memberikan ekspresi datar setelah senyum yang sudah wajar di wajahnya.

"Besok pagi?"

Karena Yuuki tak merespon itu aku dengan cepat bertanya sebagai penghormatan atas pengumuman mendadak itu.

"Hemm, besok pagi."

Kini ibu yang setelah meneguk air di gelasnya mulai bediri seolah sedang bersiap untuk membereskan tempat makan karena melihat Yuuki yang sedang menatap kosong kearah gelas minumnya.

"Aku berangkat ya."

Tak lama merenung Yuuki akhirnya beranjak pergi mengambil tas yang sudah ada di sofa itu lalu berjalan keluar.

Yah, aku tak ingin masuk permasalahan antara ibu dan anak gadisnya, jadi lebih baik aku diam daripada menjadi tumbal apapun itu.

Meskipun agak kejam mengatakannya sebagai tumbal, tapi entah mengapa saat aku ikut dalam hubungan mereka berdua akan berakhir di mana aku yang dijadikan orang yang bersalah.

Yah, aku menerimanya, lagipula seseorang yang tak bersalah tak akan merasa bersalah meskipun seluruh dunia menyalahkannya.

Kini setelah banyak yang tak aku perhatikan di jalan, aku kembali sampai di sekolah dan memulai kebiasaanku.

"Pagi."

Sejujurnya aku tak ingin tahu siapa yang menyebut kata selamat pagi yang tak mungkin tertuju padaku.

Tapi setelah aku menunggu lama, tak ada seorangpun yang menjawabnya.

Kini Billy duduk di sebelahku dengan baju yang sangat rapi dari biasanya, meskipun tanpa perbedaan aku bisa melihat jelas senyum kecil yang telah Billy usahakan.

Yah tak perlu dijelaskan lagi, setidaknya aku sudah tahu bahwa aku berhasil membantunya.

Walaupun aku sendiri nggak sadar sih apa yang aku bantu darinya.

Yaudahlah, ini nggak penting, lupain aja.

Kesampingkan itu dulu, kenapa dengan wajah mengesalkan Billy itu? Apa dia sedang mengejekku?

Kau mau ngajak aku berantem hah?