Ada banyak hal penting yang pasti terjadi dalam dunia ini, salah satunya adalah perpisahan.
Perpisahan pasti terjadi.
Hanya dengan kau terlibat satu sama lain juga akan mengalami perpisahan walaupun tak berarti sedikitpun.
Dengan bertemu seseorang kita juga harus bertemu dengan perpisahan, layaknya kita bertemu dengan fajar lalu bertemu dengan senja.
Jadi, jika kau tak ingin merasakan banyak perpisahan maka jangan pernah bertemu orang lain, dengan begitu kau tak akan pernah merasakan apa itu pahitnya perpisahan.
Aku selalu memegang prinsip ini, dan ketika aku sadar tiba-tiba saja aku berasa di tempat yang menyedihkan.
Saking menyedihkannya aku sampai berharap bahwa tak memiliki kenalan seorangpun di dunia ini dan menjalani hidup seorang diri.
Tapi, meskipun itu bisa saja terjadi, orang-orang hanya akan menganggap aku orang aneh.
Maksudku, apa sebutannya? Penyesalan? Yah itu dia, penyesalan selalu terjadi di akhir, jadi jika penyesalan terjadi di awal maka kata itu berubah menjadi kata antisipasi.
Yah, itu di sebut antisipasi!
Coba pikirkan, jika kita berantidipasi untuk tak memiliki teman, maka aku yakin bahwa kita juga tak pernah merasakan perpisahan.
Itu pasti terjadi.
Beberapa lama waktu bergulir ke tempat di mana mungkin cerita ini berakhir, selama itu pula aku tak pernah berbicara lagi dengan Rainata.
Suara berat dan senyum pasrah darinya itu mungkin kata selamat tinggal darinya.
Di waktu pulang sekolahku, aku menghabiskan waktu dengan Billy yang selalu datang ke rumahku.
Mungkin karena itu, aku sedikit melupakan apa yang terjadi akhir-akhir ini.
Minggu, hanya dengan membuka mata dan mengusap-ngusap layar Hpku tanda bahwa aku sudah terbangun dari tidurku yang sedikit risih tentang beberapa hal.
Akan tetapi mungkin itu akan segera menghilang.
Masih di dalam tempat tidurku tanpa ada niat sedikitpun mengeluh pada dunia.
Tak peduli seberapa banyak kita mengeluh pada dunia, dia tak akan mengatakan "Ya, maaf ini salahku."
Yah, dunia ini memang sedikit kejam.
Kita hanya harus menerimanya kejamnya dia tanpa harus mengeluh dan terus tersenyum.
Meskipun aku sudah lelah bersandiwara bersama orang-orang yang melakukan hal itu.
Akan tetapi dalam banyak hal, entah mengapa mereka yang memilih melakukan hal seperti itu dikelilingi banyak teman daripada tokoh realistis seperti yang sudah kuperagakan.
Dunia memang aneh, sudah tak ada yang perlu kejelaskan tentang apa keanehan itu.
Kamarku sedikit berantakan dari biasanya, sama berbedanya suara memasak Yuuki yang tak terdengar hari ini.
Tiba-tiba saja suara ketukan dari pintu depan berbunyi sambil menyebut namaku.
"Zell.... Zell... Oi..."
Dari suaranya aku sudah bisa menebak siapa di balik pintu yang gagang pintunya baru saja kubuka.
"Ngapain?"
"Yah, aku cuman mampir."
Setidaknya berikan aku alasan yang lebih baik dasar Ryuga.
Mana mungkin ada orang yang mampir sepagi ini dengan keringat yang membasahi kening dan tangan dengan baju lengan pendek seperti itu?
Ryuga sambil terengah-engah berdiri di depan pintu itu dan aku bisa melihat jelas sepeda biru miliknya terparkir di depan rumahku.
"Air, air."
"Ambil sendiri sana."
Kini aku berjalan kearah sofa dan duduk di ujungnya, lalu setelah mendengar suara buka-tutup dari kulkas di samping pintu dapurku Ryuga kembali dengan sebotol air es.
Setelah menghirup air itu berulang-ulang, Ryuga akhirnya menarik napas panjang lalu kembali tenang seperti sudah dijinakan.
Tak lama aku acuhkan, Ryuga mengambil HP di sakunya, lalu berbicara dengan santai.
"Ah... Hari ini Rainata bakal pergi kan?"
"Hemm..."
"Nggak mau nganter dia?"
"Yah, udahlah, tadi malam aku juga nitip salam buat Rainata sama Yuuki yang sekarang lagi ngantar dia."
Aku serius, tadi malam Yuuki juga menyinggung hal yang sama dengan Ryuga.
"Ka, besok ka Nata bakal berangkat, mau ikut nganter sampe terminal?"
Kira-kira begitu katanya, dan aku benar-benar sudah menitipkan salamku dengannya, kali ini aku tak berbohong.
"Aku beneran kaget pas kemaren Rainata bilang mau pindah."
Hah? Kem, kemarin? Apa maksudnya kemarin? Dia sudah memberitahuku, kira-kira sudah seminggu lamanya.
Agrh, sial, kenapa ini? Bukankah ada yang salah dengan ini?
Entah mengapa banyak hal yang memenuhi kepalaku, lalu dalam banyak hal itu aku sudah berlari ke depan rumah.
"Ryuga jagain rumahku."
Sepeda Ryuga yang ada di depan rumahku kini aku pakai dengan mengayuhnya.
Dalam kayuhan-kayuhan itu masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Kenapa dia hanya memberitahu aku dari awal? Kenapa? Apa dia berharap aku melakukan sesuatu? Sial! Tak ada pilihan selain menanyakannya langsung.
Sebagaimana dunia, para gadis juga sangat sulit dimengerti. Kode-kode yang mereka rangkai terkadang harus dipecahkan oleh detektif terkenal seperti sherlock Holmes atau detektif conan.
Kayuhan sepeda Ryuga ini akhirnya berhasil melewati perkomplekan ku dengan cepat, akan tetapi entah mengapa, di depan gang kami terjadi kemacetan yang sangat panjang.
Suara dari klakson mobil-mobil itu membuatku semakin stres. Akan tetapi setelah aku melihat di sekeliling Jimmy juga terjebak antara kemacetan itu dengan sepedanya.
Untuk mendekatinya aku melewati beberapa celah dari mobil-mobil tersebut.
"Jimmy, jagain sepeda Ryuga."
Aku yakin banyak hal yang ingin di tanyakan oleh si ketua basket itu karena wajah bingungnya, akan tetapi aku meninggalkan sambil berlari.
Cepat! Cepat! Cepat!
Suara dari dalam diriku entah mengapa menyuruh langkah kakiku semakin cepat.
Hey, hey, hey, bukankah ini mirip seperti anti-klimaks dalam sebuah drama murahan? Yahh meskipun ini murahan aku nggak nyangka kalo aku juga bakal ngerasain ini.
Harusnya sekarang aku bisa denger suara lagu endingnya yang biasanya terdengar.
Karena langkah kakiku semakin cepat, aku sudah ada di gang tempat terminal itu, tak terlalu jauh lagi.
Di dalam nafas terengah-engahku, dadaku semakin terasa sesak, semakin aku menginjakan kaki ketanah rasanya seperti ada jarum yang menusuk-nusuk dada belakangku.
Akan tetapi rasa penasaran mengalahkannya.
Aku tetap berlari sambil menahan semua rasa sakit itu.
Tapi bagaimana juga ini sangat sakit, semakin lama langkah kakiku juga kain melambat dan seolah memintaku untuk menyerah.
Sial! Sial! Sial!
Rasanya aku ingin berteriak.
Aku akhirnya sampai di depan terminal itu, mencari bis yang kelihatan ingin berangkat dan tak perlu tunggu lama aku menemukan apa yang aku cari.
Pintu dari mobil bis itu sudah terbuka lebar, Rainata terlihat mengatakan perpisahannya antara Ishiki dan Yuuki.
Lalu setelah mengatur nafas untuk terus berlari, Rainata mulai memalingkan tubuhnya dari Ishiki dan Yuuki tadi.
Lagi-lagi aku dipaksa untuk lari sekuat tenaga, meskipun terasa seperti ada yang sedang merobek dan meminta sesuatu keluar dari dalam tubuhku.
Aku melewat Ishiki dan Yuuki yang sudah menyatakan perpisahan itu di tengah-tengah mereka, dan saat itu aku berhasil menggenggam tangan Rainata yang satu kakinya di atas bis itu.
"Kumohon tetaplah di sini!"
Setelah kata-kata itu keluar, nada bising dari teriakan khas terminal itu menghilang dari gendang telingaku, tangan Rainata yang sedang kupegang juga tak mengeluarkan efek apapun.
Kemudian, rasa sakit itu menghilang, sama dengan kesadaran ku.
Aku bahkan belum bisa melihat wajah Rainata, entah itu terkejut atau apa.