Helaan napas ku baru saja berakhir, selagi kelegaanku masih menyebar antara rongga-rongga tubuhku setelah melewati percakapan panjang itu.
Tapi, hari ini belum berakhir.
Setelah keluar Ishiki, aku masih belum bisa terlalu tenang.
"Aku mohon tetaplah di sini."
Sial, sial, sialan!!! Kenapa aku malah ngelakuin hal yang malu-maluin itu? Bego! Tolol! Kenapa sama diriku sendiri?
"Aaaaaaa!!!!"
Aku berteriak dengan menutup kepalaku dengan bantal dan tengkurap.
Dasar bodoh!
Setelah di ingat-ingat lagi, itu benar-benar memalukan! Apa otakku sudah tak berfungsi?
Apa kehilangan cara pikir adalah salah satu efek dari perasaan aneh ini?
"Zell kau kenapa?"
Rainata berjalan masuk dari kesenyapan ruangan karena keterkejutanku.
Tanpa bergeming berjalan semakin mendekat lalu akhirnya duduk di tempatnya tadi.
Dengan baju bergaris hitam antara putihnya, serta rok panjang yang kini sedikit terjingkit di atas mata kaki karena duduknya Rainata.
Suasana senja ini sepertinya akan segera membunuhku.
Yah, maksudku nuansa rom-kom yang sudah sangat lama menghilang dari kehidupanku tiba-tiba mendorong masuk.
Dalam hal ini, aku juga tak tahu apa yang harus aku lakukan setelah semua yang terjadi hari ini.
"Yu, Yuuki mana?"
"Katanya ada yang diurus."
"Billy? Jimmy?"
"Udah pulang, Ishiki sama Ryuga juga."
Ah, sial, kenapa kau menjawab itu sangat cepat, dari tadi aku berusaha untuk lari dari hal lain.
Posisi dudukku sekarang ini ada tepat di tengah dari tempat tidur putih ini, meski tak terlalu besar tapi masih ada beberapa ruang yang tersisa di bagian kiri dan kananku.
Kini kedua tangan Rainata sudah berada di bagian kanan di mana tadi tangannya menggenggam kuat tanganku sebelum sekarang aku yang memberi jarak antaranya.
"Ehemm."
Deheman Rainata terdengar sangat dibuat-buat, lalu keningnya sedikit terangkat dan memaling-malingkan bola matanya ke kiri dan ke kanan.
"Nggak ada yang lupa gitu?"
"Nggak, aku nggak ngelupain apa-apa."
Oke stop, apa kau ingin aku mengatakan hal yang sama seperti orang lain?
"Anu... Zell, bukannya ada hal penting lain yang harusnya kau bilang dari tadi?"
Sial!
"Mana mungkin aku bisa ngomong kayak orang-orang kan?"
Sama sepertinya, aku kini melarikan diri dengan mata kami yang sempat bertemu.
"Bener juga sih."
Kalo udah tau ngapain tanya?
Rainata mendengus, berdiri dan berjalan ke arah jendela dan membukanya.
Jendela yang terbuka tadi menyapu rambut panjang Rainata, berkibar-kibar seolah sedang memenuhi ruangan ini.
Lalu tak lama terlihat sedang menarik nafas panjang lagi, Rainata memalingkan wajahnya ke arahku sambil tersenyum panjang.
Ah, jika ini adalah sebuah film atau animasi, maka akan ada lagu ending dan terlihat tulisan "Dan mereka hdup bahagia selamanya." Atau sejenisnya.
Yah, mana mungkin bisa hidup bahagia selamanya.
Oke kesampingkan itu, di situasi ini sepertinya bukan hanya aku yang dalam keadaan dada yang terasa berdegup lebih kencang.
Saking kencangnya sama seperti degupan saat aku berlari mengejarnya, hanya saja sekarang tak sakit lagi.
Setelah kegiatan yang mungkin saja caranya untuk lebih tenang itu, Rainata kembali berjalan dan duduk di tempat yang sama.
"Masih ada yang sakit Zell?"
"Nggak, nggak ada."
Ruangan ini tak begitu besar, hanya jam dinding sebagai penghiasnya, meskipun begitu terasa sangat indah.
"Ngomong-ngomong, apa aku pingsan seharian ini?"
Kilau senja tadi mulai berakhir, membawa gemerlap ungu di awan-awan kecil selain warna kuning dan orange yang memudar sedikit demi sedikit.
Rainata mengangguk pelan, lalu sedikit melirik kearah tanganku..
Kami hanya berduaan dalam ruangan ini, selain itu tangan Rainata tadi semakin mendekat akan tetapi aku bahkan tak bisa melihat gerakannya karena kelambatannya itu.
Walaupun begitu aku hanya pura-pura tak melihatnya.
Yah maaf, aku keliru.
Fakta yang mengejutkannya adalah tanganku kembali tak bisa aku gerakan, aku juga tak begitu mengerti.
Rasanya mungkin mirip seperti rasa kaku dan keram secara bersamaan.
Kedua tangan Rainata itu semakin mendekat, akan tetapi matanya hanya fokus ke tangannya sendiri daripada memandang lawan bicaranya.
Lalu, mungkin karena sudah bosen dengan kelambanannya, telapak tangan Rainata kini melayang mulus.
Sedikit lebih cepat dari tetapi juga lembut perlahan.
Oke, pak sutradara, kapan ini berakhir? Jika aku terus-terusan melakukan adegan ini aku bisa terkena serangan jantung susulan lho.
Yah, aku mengerti, cepat lakukan time skip atau sejenisnya.
Oi! Apa kau mendengarku?
Aku memalingkan pandangnku seolah tak peduli dengan gerakan Rainata yang sudah terlancar lebih dulu, akan tetapi aku masih menunggu.
Menunggu tangan lembut Rainata, bahkan bekas tangannya tadi masih terasa sangat menghangatkan bagiku.
Lalu....
DRUKKK...
Tiba-tiba saja suara pintu terbuka dengan di dobrak kencang.
Seseorang masuk dengan sangat tergesa-gesa sambil menggunakan celana pensil panjang dan baju putih panjang yang sangat elegan.
Rambut panjang yang sedikit lebih pendek dari orang di sebelahku itu mengikuti langkah kaki kecil tapi sangat cepatnya.
Aku ingat orang itu, tapi karena sangat kaget aku sampai-sampai tak bisa mengatakan apapun.
Sesosok gadis yang selama ini menghilang begitu saja dari hidupku kini berdiri tegak di samping tempat aku berbaring.
Rainata juga terkejut dan memurungkan niatnya.
Amanda.
Yah, aku juga sudah pernah menyinggung tentang dia beberapa kali.
Tapi kenapa?
Di samping Rainata, Amanda berdiri dan memegang bahuku sambil mencari sesuatu di sekelilingnya.
Tunggu dulu, menjauhlah, aku belum mandi.
Ah, andai aku bisa mengatakan itu, kecuali kenyataan bahwa aku hanya bisa diam.
"Untunglah, kamu nggapapa."
Lalu setelah menyakinkan dirinya pasca entah apa yang dia cari dalam diriku, Amanda langsung kembali berdiri tegak.
"Rainata kenalin, namaku Amanda, pacarnya Zell."
Sekarang di mana kau sutradara!? Aku ingin peran pengganti! Di sini aku akan tewas karena tekanannya terlalu banyak.
Kumohon!
Siapa saja tolong aku....
Rainata berdiri, mengarahkan pandangannya ke arahku lalu kembali kepada Amanda dan menerima jabat tangan darinya.
Setelah itu, Rainata kembali menatapku dan memberikan senyum.
Hey, hey, hey, apa itu? Kau terlihat menakutkan sekarang Rai, bahkan dengan wajah manismu.
Kenapa ini terjadi pada hidupku? Aku merasa tak pantas ada di sini.
Sial, aku harus keluar dari ruangan ini.
Aku harus pura-pura pingsan lagi! Nggak tunggu, lebih baik aku pura-pura kerasukan! Itu akan lebih menarik.
Dasar konyol!
Oi, oi, oi, suasana macam apa ini? Dimana suasana romantis yang baru saja aku klam? Kok ngilang?
Aku berharap ada seorang pahlawan super yang muncul dari balik pintu itu.
"Kaa... Kata dokter kaka udah bisa pulang beso..."
Entah takdir atau hanya kebetulan Yuuki muncul dari tepat yang baru saja aku harapkan.
Tentu saja, tak kalah dengan rasa terkejut ku Yuuki juga terdiam dengan mengenali seseorang yang juga sontak tertuju padanya.
"Ka, Amanda?"
Ekspresi dari Yuuki di luar perkiraanku, dia langsung menatap ke arahku seolah mengatakan "Gimana nih?"
Mana aku tahu! Pikirkan sesuatu, tolong kaka mu ini!
Lalu setelah menarik nafas seolah lega, Yuuki menarik kedua tangan gadis yang ada di sampingku.
"Kaka-kaka sekalian tolong pulang, kaka disuruh istirahat sama dokter nya!"
Setelah menarik mereka sampai luar Yuuki menutup pintu itu dengan pelan.
Lalu menepuk-nepuk tangannya dengan wajah puas.
"Yosh, udah beres."
Beres gundulmu!
Yah, setidaknya itu sudah berakhir.
Aku ingin istirahat.