Aku masuk ke kamar dari asal suara Ryuga, dengan pintu kamar itu yang sudah tertutup.
Sama seperti sebelumnya, kamar seorang animers tak pernah menghilang dari karakteristik kamar ini, banyak poster yang menempel di dinding sekeliling tempatku yang masih berdiri.
Dalam poster itu memang kebanyakannya berasal dari anime yang bergenre basket, seperti kokoro no basket atau slam dunk, mungkin saja Ryuga menyukai hobinya karena nonton mereka.
Sekali lagi, aku mengelilingkan mataku, di dalam sini hampir tak ada yang berubah sejak terakhir kali aku kesini meskipun aku sama sekali sudah lupa kapan itu terjadi.
"Nih..."
Ryuga memberikan stik PS kepadaku yang masih berdiri menyesuaikan diri antara poster-poster tadi.
Pada dasarnya game yang sudah mendarah daging bagi kami hanya ada satu, dan Ryuga sudah tak perlu bertanya apa pendapatku.
Jujur saja, aku sangat menikmati rasa dan feel baru dalam game ini.
Jika harus kukatakan game ini berasal dari anime legendaris yang terkenal di kalangan ibu-ibu.
"Naruto."
Sudah tak asing lagi bukan? Bahkan karakter itu sudah menemaniku dari aku kecil hingga sekarang, bedanya dia sudah menikah dan aku masih dalam ekspetasi murahan ku.
Biasanya kami hanya bermain game ini di PS2 yang dari segala segi sangat tertinggal jauh dengan PS3 yang dimilik Ryuga.
Entahlah, mungkin ini baru saja dibeli dilihat dari stik yang di tanganku tanpa ada lecet atau goresan-georesan kecil.
Aku duduk di sebelahnya menatap kearah TV yang sama bersiap untuk memulai pertandingan duel antara aku dan Ryuga.
"Zell, gimana? Udah ngomong sama Ishiki?"
Huh... Hey Ryuga setidaknya biarkan aku bermain dengan tenang!
Jujur saja, aku sudah berusaha keras untuk menghapus nama Ishiki dalam cerita hidupku ini, lalu suatu saat aku akan dipaksa tegur sapa kemudian mati tanpa penyesalan.
Yah, lupakan tentang mati tanpa penyesalan itu, aku hanya ingin melupakan tentang masalahku dengan cara menyebutkan bahwa akulah yang salah dan tak mau meminta maaf.
Orang yang salah dan tak mau meminta maaf hanya akan dianggap seorang gadis sebagai laki-laki yang tak pantas untuk menjadi seseorang yang berarti bagi mereka, jadi Ishiki tak pernah merasakan apapun lagi padaku.
Selain itu, aku masih belum siap dengan keberanian atau tentang apa yang harus aku bicara kepadanya.
"Maaf."
"Lihatlah kau bisa ngomong maaf segampang ini ke aku, kenapa nggak bisa ke Ishiki."
Tunggu Ryuga, harusnya kau mengerti tentang itu!
"Apa perlu aku bantuin?"
"Nggak, nggak perlu."
Meskipun aku tahu aku belum bisa mengatasi apapun yang ada antara aku dan Ishiki aku tak ingin ada seseorang yang ikut campur tentang ini.
Justru aku lebih memilih jomblo seumur hidup daripada meminta bantuan hanya untuk minta maaf.
Berjam-jam berlalu dengan sekejap, kini matahari berdiri tegak di puncaknya.
Lalu dengan melewati hal yang sama seperti hari minggu sore tidurku, waktu-waktu membahagiakan dalam hidupku mulai kembali terbentuk meskipun sedikit merasa gelisah karena pembicaraan pahit aku dan Ryuga.
Malam panjang juga berlalu dengan game yang sama dengan Rainata sampai berjam-jam lamanya.
Jika dipikir-pikir lagi, tadi malam adalah pertama kalinya Rainata selesai sekitar jam 3 pagi.
Tentu saja, aku juga.
Senin, mataku yang masih menuntut untuk tidur tak pernah berhenti bahkan setelah aku selesai mandi.
Sialan.
Aku kembali menyusuri jalan ke sekolah sendirian, ditambah lagi suara pagi dari burung tetangga masih bisa terdengar, langit yang biru disisir pelan oleh awan.
Suasana ini terkesan seperti nada Nina Bobo untukku.
Jam pelajaran terasa sangat berat, bukan hanya mata, tetapi kepala, otak juga hati yang sudah meminta untuk berhenti bekerja keras.
Beruntungnya hari ini ada 2 kali jam kosong di kelasku, dan aku memanfaatkan itu untuk tidur tak terkecuali Rainata yang sengaja ku lirik.
Kelas selesai begitu saja, setelah sekitar 1 menit duduk gelisah di sampingku, Billy pergi dengan menutup kencang buku novel di tangannya.
"Sialan! Ini beneran menyebalkan! Rasanya kayak dibakar hidup-hidup."
Apaan sih?
Jujur saja, tak ada yang bisa aku tafsirnya dari apa yang keluar dari mulutnya dan tindakan anehnya.
Setelah ocehan itu, ruangan ini kembali senyap, lalu aku kembali dengan lamunanku menatap keluar dari jendela kelas ini.
Tak lama, mulai terasa degup dari langkah kaki seseorang, auranya juga semakin mendekat.
Ketika aku memalingkan pandanganku, Rainata duduk perlahan sambil membelai lembut rambut panjangnya kearah belakang telinga.
Sebenarnya dari tadi, dalam ruangan ini aku mengira bahwa aku sendirian.
Meskipun terkesan seperti ingin mengatakan sesuatu, Rainata hanya duduk termenung kearah bawah dari meja Billy tepat di sampingku.
Sesekali setelah aku perhatikan matanya mengelilingi ruangan ini sambil mengetuk-ngetuk meja dengan beberapa jarinya.
Ada yang salah dengan gadis ini, apa dia dibully lagi?
"A, anu, Zell.... "
Entah apa yang terjadi di dalam pikirannya, suara gugup dari Rainata tak bisa di tutup-tutupi lagi.
"A, apaan?"
Tentu saja setelah mendengar kegugupan itu juga membuatku tersendat-sendat dalam berucap.
"Aku mau pindah keluar kota lagi."
"Urusan kerjaan ibumu lagi?"
"Emm..."
Suara berat darinya seperti di paksa, akan tetapi itu tak mengubah fakta bahwa suara Rainata juga membawa kegelisahan serta kelembutan yang menusuk dalam diriku.
"Kapan?"
"Minggu depan."
Tunggu dulu, untuk apa kau memberitahuku?
Oh, mungkin kau hanya tak ingin membuat kami terkejut dengan perpisahan cepat ini, yah mungkin saja.
Dilihat dari sifat Rainata, itu mungkin saja terjadi.
Tetapi setelah mendengar jawaban terakhir dari Rainata otakku tak bisa membuat pertanyaan atau pembicaraan baru.
Aku membenci skill komunikasi kecilku ini!
Kejadian itu berlangsung beberapa saat, aku yang tak memiliki skill itu langsung menggunakan skill melarikan diri sebagai pertahanan diri.
Mungkin saja, melihat tak ada yang ingin dibicarakan lagi Rainata berdiri dengan sedikit menggeser meja di belakang mejanya.
"Aku duluan ya..."
Rainata membalikkan wajahnya kearah ku dan memberikan senyum seolah itu adalah senyum perpisahan.
Senyuman yang belum pernah aku lihat itu berlangsung lama lalu akhirnya Rainata benar-benar pergi meninggalkan ruangan kelas ini.
Yah, tentu saja aku tak berhak memintanya untuk tetap di sini, siapa aku?
Selain itu aku akan menghormati pilihan seseorang bahkan sekecil apapun keinginan itu.
Sudahlah, masalahku dengan Ishiki saja belum beres, aku tak akan menambah masalahku lagi dan seandainya bisa aku ingin tetap berada di fase aku bisa sendirian.
Setelah aku meyakinkan diri sendiri, aku mengambil nafas panjang untuk memulai langkah kaki yang sama untuk pulang.
Berjalan melewati koridor yang sudah sepi dari sekolah yang berakhir sedikit tak menyenangkan.
Tak peduli seberapa kecil atau tak berharga sesuatu itu, perpisahan adalah perpisahan, perpisahan akan tetap terasa menyakitkan apapun yang terjadi.
Saat aku ingin menuruni anak tangga, Billy duduk di tempat biasanya Ryuga menungguku, tempat dimana hubunganku dengannya serta Ishiki mulai sedikit terbelit layaknya cinta anak SMA yang ada di film sinetron.
Bedanya, aku tak saling menjatuhkan satu sama lain.
"Billy, kau lagi ngapain?"
"Nungguin kau lah.."
"Hah?"
Billy yang duduk di bawah dari tempatku sekarang mulai berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.
"Apa gendang telingamu rusak abis ngomong sama gadis cantik?"
Hey, tunggu dulu, apa maksudmu? Dan lagi kenapa kau tau kalo aku baru saja selesai ngomong sama Rainata? Apa kau seorang stalker?
"Aku mau ke rumahmu, ajarin aku main game."
Dari sakunya tadi keluar HP keluaran terbaru yang mungkin membuat siapa saja iri, tak terkecuali aku.
Dasar anak orang kaya!