Minggu, pagi hari ini ibu sudah sibuk dengan barang-barang yang entah datang dari mana tiba-tiba sudah seperti tumpukan sampah.
Yuuki juga membantu ibu dengan wajah cemberut nya, tapi tak peduli seberapa lama aku memerhatikan wajah itu, tak pernah ada air mata lagi.
Setelah selesai berkemas dan aku sebagai orang yang mengangkat tas paling berat hitam ini semakin membuat perasaanku juga semakin berat.
Saking beratnya sampe-sampe aku ingin membuang semua yang bikin perasaanku jadi seperti ini.
Pintu terkunci dari luar, lalu mereka berdua berjalan kearah sekolah tanpa mengatakan apapun.
Yah, jika di pikir-pikir lagi rumah Ryuga berada di samping terminal itu, setelah melewati sekolah kami lalu perkonplekan itu tepatnya.
Mungkin aku bakal mampir.
Selain itu, kenapa mereka berdua malah jalan kaki? Itu jarak yang cukup jauh lho!
"Hey, kenapa nggak naik ojek aja?"
"Nggak ah, ibu mau jalan-jalan bentar."
Hey, jangan bercanda, disini aku yang membawa tas besar, bisakah kau berhenti menjadikan hobi aneh itu sebagai bahan siksaan untukku? Untuk anakmu sendiri.
Meskipun aku sangat ingin mengatakan itu, kalimat itu tak kunjung keluar, aku juga tak terlalu mengerti tapi mungkin saja itu semacam segel yang ibu tanamkan kepadaku.
Aku lebih banyak mengoceh dalam diriku sendiri daripada menjelaskan kepada orang lain, yah itu lebih mudah, mungkin.
Saat kami menyusuri jalan yang sudah ditentukan, beberapa kali bisikan-bisikan tak jelas keluar dari dua orang perempuan yang sedang berjalan di depanku.
Sesekali ibu dan Yuuki memandang ke arah yang sama, dan tanpa kusadari aku juga melakukannya.
Perjalanan yang sebenarnya sedikit panjang itu tak terasa, membawa kesan bahwa setiap hal yang cepat datang juga akan cepat perginya.
Di terminal itu banyak yang terdengar karena suara bising dari teriakan-teriakan sama seperti di film khas Indonesia, dan diantara kebisingan itu terselip Ryuga yang sedang memainkan HPnya duduk di kursi tunggu.
"Liat bu, itu ka Ryuga."
Dengan pernyataan itu, bukan hanya ibu yang memandang kearahnya, tetapi Ryuga memberikan anggukan sebagai salam lalu mendekat.
"Bibi lama nggak ketemu."
Tiba-tiba saja, tangan Ibuku itu melayang ke arah Ryuga yang sudah ada di depannya.
"Ini beneran Ryuga?"
Yah, tentu saja bagi banyak orang tak akan ada yang percaya dengan hal yang membuat Ryuga menjadi sekarang.
"I, iya ini aku."
Sebuah lirikan dari Ryuga kearah ku lalu kembali berhadapan dengan ibuku.
"Kau juga makin tinggi."
Kali ini tangan yang tadi di bahu Ryuga mulai terlihat membelai rambut yang sebenarnya sedang ingin mengadu ketinggian antara mereka berdua.
Yah, posisi kami sama di mana Ryuga lebih tinggi beberapa senti.
"Ngomong-ngomong ini buatmu, lupa nitip ke Zell."
"Ah, makasih banyak bi."
Parsel itu keluar dari beberapa barang yang di bawa ibuku lalu di sambut dengan cepat oleh Ryuga sebagai penghargaan.
"Bibi mau berangkat lagi?"
"Hemm, bentar lagi."
Setelah mendengar itu, Yuuki yang tadi terlihat menikmati reuni antara ibu dan Ryuga mulai mendekap ibu dengan melilitkan tangan dibelakang pundak-pundak ibu.
"Huekkk.... "
Yuuki terdengar sedikit berpura-pura menangis, walaupun sebenarnya dia sangat ingin mengeluarkannya tapi air mata itu hanya menjadi Kaca-kaca di mata pekatnya.
Ryuga yang sudah selesai mendekat kearah ku dan kami berdua meratapi hal yang sama.
"Hey Zell, kau boleh pinjem pundak ku....."
"Nggak, terimakasih."
Mana mungkin aku menangis kan, meskipun ini menyedihkan tapi Yuuki saja tak mengeluarkan air mata sebagai rasa hormatnya.
Walaupun demikian, aku juga harus berterima kasih karena beberapa tahun terakhir kau terus berusaha keras sebagai pundak yang siap untuk aku sandiri.
"Cup, cup, cup.... "
"Kapan ibu balik lagi?"
Di dalam pelukan Yuuki, ibuku memandang kearahku.
"Mungkin, taun depan, ibu juga penasaran Zell nanti milih apa?"
Hey tunggu, apa? Apa yang dipilih?
Di tengah kebingungan ku Ryuga menepuk-nepuk belakangku dan entah mengapa kegelisahan ku tadi perlahan menghilang.
Tak lama, setelah bisa mengakhiri pelukan itu, ibuku berjalan mendekat dengan kemeja yang sedikit lusuh mungkin karena pelukan tadi.
Lalu, sama seperti posisi dengan Ryuga tadi ibuku mengatakan sesuatu dengan sangat lembut kepadaku.
"Zell, ibu berangkat lagi, tolong jagain Yuuki."
"Tenang aja bu, secara harfiah aku yang dijagain Yuuki, aku bahkan dimanjain kayak bayi tiap hari."
Tentu saja, aku tak ingin moment ini sangat tegang karena kesedihannya jadi sebisa mungkin aku memberikan jawaban seasal mungkin.
Perlahan tangan kanannya melayang kearah pipiku, membelai pelan sampai kesamping dan jari-jarinya menyusuri sedikit telingaku.
Sosok orang ini tak pernah mengerti bagaimana menjadi seorang ibu, tak pernah bersikap ke ibu-ibuan, akan lebih cocok disebut seorang teman.
Meski begitu, entah mengapa sosok kesedihan dari seorang ibu kini benar-benar terpancar darinya.
Setelah perpisahan ala keluarga kami, setelah ibuku melambai dari kaca jendela mobil bis itu tepatnya, Yuuki memberikan senyum panjang yang belum pernah dia lakukan.
Tindakan itu sangat mengejutkan sampai-sampai aku merasa dia sudah tumbuh dewasa melebihi ku.
Yah, kupikir Yuuki sudah jauh lebih dewasa daripadaku.
"Zell, aku baru beli PS4 mau mampir bentar?"
Niatku yang setengah-setengah itu kini mulai berubah menjadi bulat.
"Hey, Yuuki aku mau mampir ke rumah Ryuga dulu."
Untuk mewakili jawabanku, aku meminta izin kepada Yuuki yang masih mengeluarkan senyum lebar.
"Aku juga mau mampir ke rumah temen dulu."
Awal dari perpisahan wajah antara aku dan Yuuki adalah awal dari sudah beberapa lama aku tak pernah main ke rumah Ryuga lagi.
Saat aku dan Ryuga sampai dan memasuki rumah yang terlihat sudah tua itu, ada seseorang yang duduk di depan sofa ruang tamu tanpa melakukan apapun seolah sedang menikmati waktu-waktu yang berlalu.
"Ah, ada Zell, gimana kabarmu?"
"A, aku baik-baik aja nek."
Sebisa mungkin aku memberikan senyum dengannya, sosok rapuh yang mungkin sama rapuhnya dengan usianya.
Meskipun sangat tua, aku berani taruhan bahwa dia adalah satu-satunya nenek-nenek yang mengenalku terlepas dari nenekku yang sudah lama meninggal.
"Maaf ya, nenek tak bisa menjenguk mu saat kau masuk rumah sakit."
"Nggapapa nek, lagian kakiku udah sembuh."
Sebagai bukti dari perkataan ku, aku mengangkat kaki kiri ku lalu menggoyang-goyankan nya.
"Oi Zell cepet sini!"
Tiba-tiba suara Ryuga terdengar dari pojok ruangan dari tempatku berdiri sekarang.
"Nek, aku permisi yah."
Sebisa mungkin aku memperbaiki cara bicara dan gerak gerik ku di depan neneknya Ryuga ini.
Yah meskipun aku tahu bahwa sifatku ini mirip dengan anjing.
Kalian pernah dengarkan? Sebenarnya sih aku juga nggak ingat darimana aku mendengar ini, tapi aku masih bisa mengingat kata-kata dengan jelas.
"Kejahatan yang dibalas dengan kejahatan adalah sifat ular. Kebajikan yang dibalas dengan kejahatan adalah sifat buaya. Kebajikan yang dibalas dengan kebajikan adalah sifat anjing. Kejahatan yang dibalas dengan kebajikan itulah sifat manusia."
Dan pada akhirnya sifat manusia tak pernah aku capai.
Dengan itu, aku mengakhiri pembicaraan ku dengan nenek Ryuga ini dan mengambil rute yang sama seperti yang Ryuga lakukan tadi saat melewati neneknya.
Lebih tepatnya lagi melewati jalan kecil di belakang sofa panjang yang sedang digunakan nenek yang mungkin sedang menikmati masa tuanya ini daripada jalan luas di depannya.
Satu hal yang pasti, jika aku masuk dalam kamar Ryuga ini sepertinya akan ada hal penting yang menghilang, entahlah mungkin itu hanya perasaan saja.