Chereads / Cinta Angie / Chapter 7 - Bab 6 : Keputusan besar

Chapter 7 - Bab 6 : Keputusan besar

Angie menutup pintu kamar dengan perlahan. Angie bersandar pada pintu kamar anaknya dan tersenyum lembut. Putranya.. Putra kembar kebanggaannya. Miliknya yang paling berharga.

----------

Sepuluh tahun yang lalu....

Dua garis biru yang muncul pada alat tes kehamilan, membuat Angie tertegun.

"Aku.. hamil?"ucap Angie terisak tertahan. Bingung dan takut. "Ba..bagaimana ini?"

Haidnya yang terlambat membuat nya curiga. Badan nya juga selalu merasa kurang sehat selama sebulan terakhir. Ditambah mual serta muntah di pagi hari. Hubungan cinta semalam nya dengan pria asing yang tampan memberinya oleh-oleh tak terduga.

Angie terduduk di bawah wastafel. Menangis tersedu-sedu.

"Huuk.." Menutup mulutnya dan segera ke kloset. Dimuntahkan nya lagi seluruh isi perutnya yang kosong. Tidak ada yang keluar, hanya air saja yang keluar dari mulutnya.

Dengan badan yang lemas, Angie berusaha berdiri di depan wastafel dan menyeka mulutnya. Matanya dipejamkannya. Kepalanya sedikit pusing.

Cklek..

Angie keluar dari kamar mandi dan mendapati papa mama nya terlihat murka padanya, berdiri di depan kamar mandi.

"Anak siapa itu?"tanya papa Angie pelan, menahan amarah. Tangan mama Angie ada di pundak suaminya, menahan amarah suaminya yang hampir meledak.

"Angie.." Mama Angie menatapnya kecewa.

Angie menunduk, berjalan keluar dari kamar mandi dan duduk di kursi meja makan. Papa dan mama Angie mengikutinya dan segera duduk di depannya.

Ketiganya terdiam. Tatapan papa dan mama Angie, memaku mata Angie yang menunduk sedih dan malu.

"Maaf pa.. ma."

"Siapa ayahnya?"

Angie mendongak perlahan, melihat papanya dengan sendu. Angie menggeleng.

"Apa maksudmu, Angie?"tanya mama Angie lirih. Mama Angie mengusap air mata disudut kiri matanya. Melihat itu, Angie semakin tertekan. Angie sangat menyayangi mamanya.

"Aku.. tidak tahu,"jawab Angie pelan nyaris tak terdengar.

"Tidak tahu?"teriak papanya marah.

"Apa orang itu.. sudah mem.. memperkosa mu?"tanya mamanya ragu-ragu, takut jika tebakannya benar.

Angie menggeleng lemah.

Papa Angie berdiri dan menggebrak meja. Papa Angie memegang tengkuk dan mengusap dengan kasar. "Lalu siapa?"bentak papanya sekali lagi. Angie semakin menunduk, takut.

Belum pernah Angie melihat papanya semarah ini padanya. "Aku tidak tahu pa. Sungguh tidak tahu."

"Bagaimana mungkin?"

"Hanya cinta semalam, pa."

"Aappppaaa??!!!"

"Maaf pa."

Papa Angie terduduk lemas di kursi. Putri kebanggaannya berusia delapan belas tahun, baru lulus sekolah, dan sekarang hamil di luar nikah. Lebih parah lagi, tidak tahu siapa ayahnya.

"Hu..hu.. hu.. hu.."

Angie terkejut melihat papanya yang kuat, membungkuk di meja, menutupi wajahnya dan menangis keras.

"Pa.. maaf.. pa...maaf." Angie menangis, berlutut di depan papanya...

Bulan demi bulan berlalu, hubungan Angie dan papanya belum juga membaik. Tidak menyapa, tidak bicara, bahkan tidak mau berada satu ruangan dengan Angie. Kekecewaan papa padanya benar-benar besar.

"Apa yang akan kamu lakukan dengan anak itu?"tanya papa ketus, saat mereka makan malam. Papanya bertanya tanpa memandang padanya. Angie menatap sedih ke arah mamanya. Mamanya hanya tersenyum memberi semangat. Mamanya sudah menerima Angie yang hamil diluar nikah.

"Aku akan merawatnya, pa,"jawab Angie, menatap papanya yang terus makan tanpa terganggu.

"Tidak boleh." Papanya membanting sendok di atas piringnya. "Berikan saja pada Maddy."

"Tidak. Tidak mau. Ini anakku. Aku yang akan merawatnya." Angie tidak akan membiarkan anaknya diasuh orang lain, meski itu adalah saudaranya sendiri. Anaknya adalah miliknya.

"Apa kamu tidak malu, hah? Punya anak, tapi tidak ada suami?"sembur papanya murka sambil menudingkan garpunya ke arah Angie.

"Pa.." Mama Angie menaruh tangannya di lengan suaminya.

"Malu pa. Tapi aku tidak akan memberikannya pada Maddy." Maddy saudari kembarnya, sekaligus pemilik panti asuhan. Angie tidak akan membiarkan anaknya tumbuh di panti asuhan, meski masa kecilnya tumbuh disana.

"Lalu bagaimana sekolahmu?"

"Aku akan sekolah lagi pa. Aku janji.. aku akan masuk sekolah hukum, sesuai impian papa. Aku janji pa, karena itu... kumohon jangan marah lagi padaku. Pa.. papa.."

Angie memegang tangan papanya. Memohon supaya papanya mau berbicara lagi dengannya. Angie sangat tersiksa mendapati pria yang menyayanginya tidak mau memaafkan kesalahan bodohnya.

----------

"Kumohon Angie, jangan menangis lagi..,"kata Maddy sedih, mengelus punggung Angie. "Menangis bisa membuat bayimu sedih. Dia bisa merasakan apa yang kamu rasakan,"lanjut Maddy lembut sambil mengelus perut Angie yang sudah masuk bulan kelima.

"Aku sedih, Maddy. Papa ingin memberikan bayiku padamu,"isak Angie dengan hati hancur.

"Tidak akan. Percayalah padaku,"bantah Maddy sambil memeluk bahu kembarannya.

"Aku percaya padamu Maddy, bahwa kamu akan merawat bayiku seperti kamu merawat anak-anak lain, tapi aku ingin merawat sendiri buah hatiku.. Tapi papa tidak setuju.."

"Percayalah padaku. Hati papa Sanjaya akan luluh saat melihat cucunya lahir. Percayalah,"hibur Maddy.

"Benarkah?" Angie pesimis, namun Angie mencoba berdoa dan berharap bahwa ada keajaiban yang terjadi. Amin.

Sembilan bulan sudah dijalani Angie dengan seluruh kekuatannya. Menghadapi kehamilannya yang tanpa suami dan ketidak pedulian papanya pada dirinya, membuat Angie menjadi kuat. Dalam sekejap, Angie yang sedikit manja menjadi mandiri dan keras kepala.

"Aduuuuh...,"Angie memegangi perutnya yang membulat besar. Kontraksinya sudah mulai terasa dari dini hari tadi, dan semakin lama rasa sakit itu semakin tidak tertahankan.

Teriakan Angie membuat pintu kamarnya terbanting terbuka dan mamanya masuk kamarnya dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Angie?"

"Sakit sekali ma.."

"Ayo ke rumah sakit sekarang."

Angie berjalan tertatih-tatih, dibantu mamanya yang juga sedang membawa tas keperluan melahirkan.

"Papa mana, ma?"tanya Angie tersengal-sengal, disela-sela kontraksi yang mulai pendek jaraknya.

"Ketemu klien diluar kota. Berangkat pagi-pagi tadi,"jawab mama Angie setelah menelpon taksi. Angie dan mamanya duduk di teras menunggu taksi. Angie terus bergerak gelisah, nafasnya mulai memburu seiring rasa sakit yang semakin sering datang.

"Tolong telpon papa sekarang, ma. Aku ingin melahirkan ditemani papa. Tolong ma.."

Mama Angie mengangguk, meyakinkan Angie. "Mama akan menelpon. Kamu fokus saja pada proses bersalin. Papa pasti akan datang. Itu taksi datang, ayo kita berangkat sekarang."

Saat tiba di rumah sakit, pembukaan Angie sudah mencapai tujuh dan sakitnya sudah sangat tidak tertahankan. "Ma, pa..papa mana?"

"Sudah hampir sampai, sayang. Ayo, kamu semangat ya.."

Angie menutup mata, menahan rasa sakit yang membuat badannya seperti terbelah dua. "Aaaahhhh... sa.. sakit."

Kemudian sesuatu yang hangat membuat Angie membuka mata. Angie merasakan genggaman tangan yang dirindukannya. "Pa..papa.."

"Papa disini, sayang. Ayo, kamu bisa sayang. Sebentar lagi, kamu akan melihat bayimu. Ayo.. ayo.."

Angie tersenyum lemah dan semangatnya perlahan pulih melihat papa berada di sampingnya. Kemudian papa Angie melotot saat melihat dua buntalan imut yang dibalut kain bedong berwarna biru lembut, di masing-masing gendongan dua suster.

"Dua? Bayinya kembar?"

Papa Angie yang tadi tidak tahan melihat perjuangan dan penderitaan Angie, terpaksa minta izin keluar ruang bersalin. Jadi, papa Angie tidak tahu kalau Angie melahirkan putra kembarnya dengan kelahiran normal.

----------

"Sedang apa disini, Angie?"tanya papanya yang heran melihat Angie senyum-senyum di depan kamar si kembar.

"Ah papa.."

Angie beranjak dari tempatnya berdiri dan memeluk papanya. Diletakkan telinganya di dada papanya. Angie suka mendengar detak jantung papanya. Hangat.

"Kenapa jadi manja begini?" Papa Angie membalas pelukan putrinya, kemudian mencium keningnya.

"Tidak. Cuma ingin peluk papa. Aku sayang papa,"kata Angie lembut dan mencium papanya. Meski papanya adalah papa angkat, namun Angie mencintainya dengan sepenuh hati.

Bersambung...