Chereads / Cinta Angie / Chapter 11 - Bab 10 : Memory

Chapter 11 - Bab 10 : Memory

Kartu undangan

Untuk : Andre & Andrew

Datanglah pada acara ulang tahunku :

Yang ke : 5 tahun

Hari. : Sabtu, 31 Juli

Pukul. : 16.00

Tempat : Panti Asuhan 'Agape'

Salam sayang : EMILY

"Ma, cepatan... kita tidak boleh terlambat,"teriak Andre yang sedang mematut diri di cermin. Hari ini Andre mengenakan kemeja biru gelap, celana jeans, dan dasi kupu merah.

"Ganteng,"puji Andre, tersenyum pada diri sendiri. Tangannya mengusap rambut nya yang sudah diberi gel banyak-banyak.

Andrew yang berjalan lewat di belakang Andre, memutar matanya. "Lebay,"omel Andrew, yang berjalan dan mengetuk pintu kamar Angie.

"Ma, ayo berangkat."

"Lima menit lagi selesai."

Pukul 15.00 di panti asuhan 'Agape'.

Angie dan si kembar turun dari mobil dan berjalan ke arah rumah besar itu. Angie menyapa beberapa kerabat dari keluarga Sean, papa Emily. Andre dan Andrew langsung mencari Emily dan otomatis menjadi bodyguard Emily. Angie tersenyum geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Angie terus berjalan menuju dapur, lapar.

Ada kue lumpur kesukaan Angie, tertata cantik di meja panjang. Angie melirik ke kanan dan kiri. Sambil tersenyum, Angie mengambil sepotong dan memasukkan ke..

"Ehem ..."

Suara interupsi itu, menghentikan gerakan Angie memasukkan sepotong kue lumpur ke mulut. Angie tersenyum sayang pada saudari kembarnya.

"Hai Maddy. Nyam.." Kue lumpur sukses meluncur ke dalam mulutnya.

"Kebiasaan,"omel Maddy, yang kemudian menyibukkan diri mempersiapkan camilan anak-anak.

Anggie memeluk Maddy singkat, lalu menarik kursi dan duduk dekat jendela, memperhatikan acara ulang tahun Emily, putri Addy dan Sean, sudah dimulai. Andre dan Andrew dalam posisi siap siaga di samping Emily. Gadis kecil itu sedang berdoa 'make a wish' sebelum meniup lilin merah angka lima. Addy dan Sean mencium pipi Emily bersamaan.

Angie melamun melihat keluarga lengkap itu. Menyenangkan.. jika si kembar bisa merayakan ulang tahun dengan keluarga lengkap.

"Jika aku tidak menghilang saat itu, apakah keadaanku saat ini akan berbeda?"gumam Angie, menerawang...

Sepuluh tahun yang lalu.

Mata Angie terbuka tiba-tiba. Langit-langit tempat dia berbaring terlihat berbeda dengan biasanya. Matanya mengamati ruangan itu dan terhenti saat melihat punggung kokoh seseorang yang tidur di ujung ranjang tempatnya juga berbaring. Mata Angie terbelalak dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Apa yang terjadi?"bisik Angie pada diri nya sendiri.

Sesuatu terlintas di otaknya. Langsung dibukanya selimut yang menutupi tubuhnya. Telanjang tanpa sehelai benang pun. Mata Angie kembali ke punggung kokoh yang mulai bergerak-gerak mencari posisi nyaman.

"Apa yang sudah aku lakukan?" Angie menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan terisak.

"Kamu baik-baik saja?"

Suara serak itu membuat Angie berpaling dengan cepat ke arah suara itu dan refleks menaikkan selimut hingga ke dagu.

Pria itu bergeser mendekati Angie dan duduk di sandaran ranjang. Angie menatap ngeri melihat selimut pria asing itu merosot hingga menampakkan dadanya yang bidang. Angie melirik ke bawah tubuh pria itu, untunglah masih tertutup selimut.

"Sudah jangan menangis,"bujuk pria asing itu lembut.

Angie menjauhkan kepalanya saat tangan pria itu ingin mengelus rambutnya.

"Apa.. tadi malam.. kita.. melakukan sesuatu?"tanya Angie gugup. Tidak tahan membalas tatapan lembut pria itu, Angie melihat sekeliling dengan lebih jelas. Di sandaran kursi, ada pakaian pria dan wanita yang tertumpuk.

"Kamu.. tidak ingat?" Pria itu tersenyum dan menarik lembut kepala Angie mendekat, mencium keningnya.

"Jangan.."

"Aku akan mandi dulu, nanti kita akan sarapan bersama. Kita perlu bicara."

Tanpa menunggu jawaban Angie, pria itu membuka selimut dan turun dari ranjang. Mata Angie melotot nyaris keluar melihat pria itu berjalan dengan percaya diri tanpa sehelai benang. Sungguh pemandangan indah dan menakjubkan di pagi hari.

"Dia.. tidak sungkan padaku?"gumam Angie heran.

Blam..

Tubuh Angie tersentak mendengar suara pintu kamar mandi tertutup. Terdengar suara keran air diputar dan air dari shower mengalir.

"Sarapan? Bicara? Tidak.. tidak..,"racau nya sambil menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. "Aduh.."

Sekujur tubuh terasa lemas dan remuk. Angie menunduk saat merasakan nyeri di bagian intimnya. Matanya terbelalak melihat darah mengalir yang sudah mengering, diantara kedua kakinya. Tidak ada waktu untuk menangis sekarang. Diusapnya dengan kasar, air mata yang lolos mengalir di kedua pipinya. Dengan cepat dipakainya pakaian semalam.

"Astaga, rupaku..,"keluh Angie, saat melewati cermin dan refleks melihat penampilan nya. "Aku harus pergi."

Air shower sudah dimatikan, Angie bergegas menyambar tas dan membuka pintu kamar dan keluar. Angie kabur.

----------

"Hei.."

Angie tersentak dan menoleh. Kenangan masa lalunya segera pergi dari otaknya. Angie tersenyum melihat kedua saudari kembarnya berdiri mengapitnya.

"Sedang melamun?"tanya Maddy sambil mengambil kursi.

"Ya begitulah."

Maddy yang duduk di sebelahnya, merangkul Angie dan membawa kepala Angie ke lekukan bahunya. Sedangkan Addy berdiri memandang ke luar jendela.

"Bagaimana kabarmu?"

"Tidak baik." Angie jujur karena tahu tidak bisa menipu dua kembaran nya.

Addy berbalik menghadap Angie, punggung bersandar pada jendela. "Mau curhat?"

Angie tertawa sendu. "Hanya teringat masa lalu saja."

Maddy dan Addy mengarahkan mata mereka ke si kembar yang sedang mengawal Emily.

"Apa yang akan kamu lakukan?"

"Entahlah.." Angie menarik napas panjang dan berdiri. "Jalani saja."

"Ayo keluar, anak-anak sudah menunggu kita untuk makan." Angie berjalan mendahului keduanya.

Maddy dan Addy saling berpandangan. Masih teringat jelas dalam ingatan mereka, bagaimana kacaunya penampilan Angie pagi itu, sepuluh tahun yang lalu.

Brak..

"Maddy, dimana Angie?"tanya Addy cemas, membuka dan membanting pintu kamar Maddy. Addy menerima telpon dari Maddy, kembaran nya, yang mengatakan Angie sedang ada di panti asuhan dan ada yang tidak beres dengan dirinya.

Maddy berbalik dan memandang Addy yang terengah-engah karena berlari dari parkiran panti. Maddy berbalik lagi dan menatap Angie yang meringkuk menangis di atas ranjang.

"Angie, apa yang terjadi?" Addy berjalan pelan mendekati Angie yang masih terisak. Berlutut di pinggir ranjang dan menyibakkan rambut dari wajahnya yang bersimbah air mata. Wajah memerah dan mata nya bengkak.

"Dia tidak mau cerita. Datang ke sini dan langsung menangis histeris. Aku khawatir terjadi apa-apa, makanya aku langsung menelponmu,"kata Maddy lembut sambil duduk di ranjang, disebelah Angie dan memeluknya. Angie langsung balas memeluknya.

"Tadi malam.. aku.. tidur dengan pria asing."

"Appaaaa??"

"Kamu bercanda?"

Angie menatap nanar pada Maddy dan Addy yang berteriak bersamaan. Angie menyembunyikan wajahnya lagi di lekukan tangannya. "Bagaimana kalau aku hamil?"

"Tidak.. tidak mungkin. aku dengar, kata nya kemungkinan kecil jika hanya bercinta sekali."

"Tapi kemungkinan satu persen itu tetap ada kan?"bisik Angie lesu.

"Kurang ajar,"umpat Addy marah, berdiri dan mencengkram sandaran kursi.

"Bagaimana bisa?"tambah Maddy cemas melihat kondisi Angie.

"Aku mabuk.."

"Mabuk? Kamu pergi ke bar?"seru Addy setengah berteriak.

"Astaga Angie.. kamu cari masalah namanya."

"Siapa pria itu?"

"Aku tidak tahu."

"Sudah, Addy. Jangan interogasi Angie terus. Kita cari jalan keluarnya."

"Papa mama Sanjaya gimana? Apa mereka sudah tahu?"

"Aku tidak akan memberitahu mereka, kecuali aku hamil."

Bersambung...