Aaaaaa!! Ratih berteriak kencang ketika tiba-tiba saja ada seekor cicak yang jatuh mengenai pundak sebelah kanannya saat dia akan keluar dari toilet.
Ratih berlari dari toilet menuju kelasnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya jijik pada bekas cicak itu jatuh. Ratih berlari tanpa memperhatikan jalan, hingga tiba-tiba,
Bruukk!
Ratih merasa tubuhnya menabrak sesuatu, dia memejamkan mata pasrah, ketika dirasa tubuhnya akan jatuh di atas lantai. Namun kemudian Ratih mengernyit ketika merasakan tubuhnya tidak sakit, dan malah merasakan pinggangnya ditahan oleh seseorang.
"Kok, nggak sakit?" gumamnya.
Dengan ragu Ratih membuka matanya perlahan, dan saat bola matanya terbuka dengan sempurna, Ratih terdiam kaku dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya, Ratih menatap lurus kedua iris berwarna coklat yang kini juga tengah menatapnya.
Untuk sesaat mata mereka saling beradu pandang sebelum kemudian Ratih tersadar.
"E-eh, so-sory." Gugupnya sambil memperbaiki posisinya untuk berdiri dan menunduk menahan malu. Tiba-tiba saja semburat merah muncul menghiasi wajahnya disertai hawa panas yang merambat sampai ke telinga Ratih, membuat laki-laki yang berada di depannya terkekeh kecil.
"Nggak papa, lain kali hati-hati, ya, jangan lari-lari di koridor, untung tadi nggak jatuh," ucap laki-laki yang tadi bertabrakan dengan Ratih sambil tersenyum.
Detak jantung Ratih kembali menggila saat melihat senyum laki-laki yang ada di depannya ini. Kemudian dia menunduk untuk menutupi kegugupannya.
Ratih hanya berharap semoga saja laki-laki di depannya ini tidak bisa mendengar suara detak jantungnya yang seperti ingin melompat dari tempatnya ketika melihat senyumnya.
"I-i-Iya, maaf tadi gue cuma kaget aja tiba-tiba ada cicak jatuh di pundak gue, soalnya suka geli kalo liat cicak," jelas Ratih setelah dia bisa mengontrol detak jantungnya, meskipun masih terlihat gugup.
"Sekali lagi, makasih ya, Gilang, mungkin tadi gue udah jatuh kalau nggak ada lo," ucap Ratih tulus disertai senyum.
Sementara laki-laki yang yang ternyata adalah Gilang itu juga ikut tersenyum.
"Santai aja, kaya sama siapa aja," ujar Gilang mengibaskan tangannya..
"Yaudah, masuk kelas sana, ntar kena hukuman lagi telat masuk, gue mau olahraga ini," ucap Gilang.
Ratih menepuk jidatnya pelan "Astaga! Gue lupa, jam pertama gue ada ulangan, gue duluan ya, sekali lagi makasih." Pamit Ratih sambil berlari menuju kelasnya.
Sementara Gilang hanya mengangguk sambil mengangkat tangannya. Saat Ratih sudah berbalik, Gilang memandang punggung Ratih dengan pandangan yang ... entahlah.
Setelah sampai di depan kelas, Ratih berhenti sejenak di depan pintu kelas sambil mengelus dadanya pelan.
"Astaga! Jantung gue, mimpi apa gue tadi bisa ngobrol sama Gilang," ucapnya senang sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kemudian Ratih menarik nafasnya dalam dan menghembuskan secara perlahan guna menenangkan hatinya, dirasa cukup Ratih kemudian membuka pintu kelasnya pelan.
Dia bernafas lega ketika mengetahui ternyata guru mata pelajaran jam pertama belum masuk, Ratih segera masuk dan menuju ke bangkunya.
"Lama banget di toilet? Ngapain aja? Nyari togel di toilet? tanya Sani usil.
Ratih memang duduk satu meja dengan Sani, sementara Zizi duduk sendiri karena jumlah siswa di kelasnya memang ganjil.
"Enak aja! Buat apa juga gue nyari togel? Di toilet lagi, nggak etis banget tempatnya," ucap Ratih sambil tertawa.
"Kali aja kan, abisan lo lama banget, untung Bu Eka belum masuk," ujar Zizi menimpali.
Sementara Ratih hanya memasang cengirannya sebelum tiba-tiba dia ingat sesuatu, "Eh, gue kemaren bikin brownies coklat nih, mau nggak?" tawar Ratih kepada kedua temannya sambil mengambil wadah dari dalam tasnya.
Tentu saja mereka tidak menolak, Ratih memang mempunyai hobi memasak, khususnya membuat kue, dan teman-temannya pun tak heran lagi dengan keahlian Ratih yang satu itu selain keahlian bulu tangkis dan karate tentunya. apa lagi jika dia baru menemukan resep baru, maka teman-temannya lah yang akan dia jadikan sebagai kelinci percobaan pada masakannya.
***
Sesuai dengan janji kemarin, di sinilah Gani dan Ratih berada sekarang. Sehabis sholat Jumat, Gani benar-benar menjemput Ratih di rumahnya, dia bahkan sempat mengobrol dengan kakak Ratih.
Mereka berdua sedang berada di toko perlengkapan olahraga. Dengan Gani yang sedang memilih beberapa bola voli dan juga net yang akan di belinya, sementara Ratih hanya mengekor di belakang Gani.
"Lo, nggak mau beli apa gitu?" tanya Gani sambil melirik Ratih yang masih setia mengekor di belakangnya.
"Enggak, gue mau cari buku aja nanti habis dari sini".
"Oh iya Gan, nanti mampir ke minimarket bentar ya?" ucap Ratih
"Oh, oke, gue bayar ini dulu ya, habis ini kita langsung ke minimarket terus ke toko buku," ucap Gani sambil berjalan menuju kasir untuk membayar semua barang yang sudah dia pilih.
Setelah mereka keluar dari toko, tanpa sengaja Ratih melihat penjual pentol keliling langganannya.
"Gan, beli cilok dulu yuk," ucap Ratih semangat sambil menarik tangan Gani yang kesusahan membawa lima bola voli.
"Sebentar, taruh barang-barang dulu di mobil," ucap Gani.
Gani memang membawa mobil saat menjemput Ratih tadi. Ketika ditanya alasannya, "biar gampang bawa bolanya" itu jawaban Gani.
Sementara Ratih hanya menunjukkan cengirannya, entah kenapa dengan Gani dia bisa menjadi sosok lain dari biasanya. Dia bisa bersikap santai saat bersama Gani tanpa merasa canggung, padahal mereka baru beberapa hari mengenal.
Setelah memasukkan semua barang yang sudah dibeli ke dalam mobil, Gani dan Ratih menuju penjual pentol rebus langganan Ratih.
"Mang Edi! ciloknya sepuluh ribu ya, pakai telur, terus sambelnya yang pedes," ucap Ratih semangat.
"Siap, neng, dari mana?" tanya Mang Edi.
"Habis nemenin Gani beli bola voli, Mang, sekalian mau beli buku." Ratih menjawab sambil menerima ciloknya yang sudah selesai di buat.
"Lo, nggak mau, Gan? Enak loh coba deh nanti kamu pasti ketagihan sama cilok buatan mang Edi," ucap Ratih tersenyum dan tanpa sadar dia mengubah panggilan mereka.
"Boleh deh mang, sepuluh ribu ya tapi nggak usah terlalu pedes,ujar Gani akhirnya.
"Siap mas, di tunggu sebentar ya, duduk dulu mas," ucap Mang Edi.
"Mang, es kelapa dua ya, pakai gula merah," ucap Ratih sambil terus mengunyah cilok favoritnya.
"Siap,"ujar mang Edi sambil memberikan pesanan Gani.
"Terima kasih," ucap Gani sambil tersenyum.
"Sama-sama mas, silahkan di nikmati," ucap mang Edi ramah.
"Kamu, sering makan cilok di sini? Kayaknya udah akrab gitu sama penjualnya," tanya Gani sambil melahap ciloknya.
"Waahh! Enak banget," ucap Gani girang setelah merasakan pentol rebus dengan saus sambal kacang buatan mang Edi.
Ratih hanya tertawa melihat ekspresi girang di wajah Gani.
"Bener kan, kamu pasti ketagihan sama cilok buatan mang Ed," ucap Ratih bangga. sementara Gani tak bisa berhenti untuk mengunyah cilok yang berada di tangannya.
"Biasanya aku kesini sama Sani sama Zizi," ucap Ratih.
"Kalian, udah temenan dari lama?" tanya Gani.
"Dari paud, sih, kayaknya," Jawab Ratih.
"Makasih mang Edi," ucap Ratih sambil menerima es kelapa yang di suguhkan oleh mang Edi.
"Sama-sama, Neng," ucap mang Edi sambil pamit untuk melayani pembeli.
"Mama kami bertiga itu udah temenan dari masih SMA," ucap Ratih setelah meminum es kelapa muda pesanannya.
Sementara Gani hanya mengangguk sambil kembali menikmati pentol rebusnya.
"Terus, kenapa kalian baru temenan pas paud? nggak sekalian dari bayi?" tanya Gani.
"Dulu mamanya Sani sama namanya Zizi sempet tinggal malang sama suaminya, dan baru bisa kembali bertemu saat kami sama-sama masuk paud, karena secara kebetulan ayah mereka sama-sama di pindah tugaskan ke Jakarta," ucap Ratih menjelaskan.
Saat mereka berdua sedang asyik menikmati pentol rebus mereka tiba-tiba ada seseorang yang memanggil mereka.
"Gani!"
"Ratih!"
Mereka berdua sama-sama menoleh dan terkejut.
"Kalian?!" Ucap mereka berdua terkejut bersamaan.
.