Ini sudah berlangsung selama dua minggu setelah acara pengungkapan Gilang. Dan selama dua minggu itu Gani terkesan menghindari Ratih, padahal biasanya saat makan di kantin mereka akan berkumpul di satu meja yang sama dengan teman-temannya, tapi sudah dua minggu ini Gani selalu tidak mau ke kantin. Kalaupun dia terpaksa harus ke kantin, ketika bertemu Ratih dia akan berpaling berpura-pura tidak melihat sosok Ratih di sana. Atau lebih parahnya lagi dia akan cepat-cepat pergi ketika di lihatnya Ratih akan menghampiri.
Ratih yang merasa geram dengan tingkah laku Gani pun bertekad untuk menemui Gani secepatnya.
"Kamu kenapa sih Gan? Kenapa kamu akhir-akhir ini terkesan menghindar kalo ada aku. Aku ada salah sama kamu? Nggak pernah bales pesan-pesan aku lagi, aku telfon juga nggak pernah di angkat!" Cecar Ratih tepat di belakang punggung Gani.
"Menghindar gimana? Aku biasa aja kok, perasaan kamu aja kali," ucap Gani cuek.
Ratih memejamkan matanya guna menahan gejolak ingin memukul kepala Gani.
"Bahkan saat aku ngomong pun kamu nggak mau liat muka aku, itu tandanya kamu beneran marah sama aku," ucap Ratih pelan.
Gani hanya diam tak ingin menjawab ucapan Ratih.
Mereka berdua tak sadar, bahwa di belakang mereka ada beberapa kepala yang sedang mengintip dan mendengarkan pembicaraan mereka di balik dinding.
"Gani aku minta maaf kalo aku ada salah sama kamu, tapi jangan diem gini. Aku jadi nggak tau salah aku di mana?"
"Kamu nggak salah kok, mungkin suasana hati aku aja yang lagi nggak bagus, sebaiknya aku pergi, aku nggak mau disangka jadi perusak hubungan orang kalo ada yang liat kita lagi berduaan begini," ucap Gani akhirnya berlalu meninggalkan Ratih yang menatapnya sendu.
"Gani! Gani tunggu!" teriak Ratih, tapi Gani tetap berlalu seolah tak mendengar panggilan Ratih.
Di sisi lain, ada seseorang yang memperhatikan mereka dengan seringai sinis.
"Permainan sebentar lagi dimulai," ucapnya sambil berlalu.
Ratih merasakan ponselnya bergetar tanda ada pesan masuk.
Gilang : Maaf sayang, hari ini aku nggak bisa anterin kamu pulang. Tapi janji, besok hari minggu kita jalan sepuasnya.
Ratih sebenarnya sedih, tapi dia mencoba memahami kesibukan Gilang sebagai ketua OSIS. Dia kembali memasukkan ponselnya setelah mengirimkan balasan pada Gilang.
Disisi lain, Angga, Niko, Sani dan Zizi tengah bercengkrama di bawah pohon akasia di dekat kantin sekolah.
"San, lo ngerasa aneh nggak sih?" tanya Zizi tiba-tiba.
"Aneh apanya? Sani mengernyit heran.
"Ya aneh aja, Gilang tiba-tiba nembak Ratih, sedangkan mereka selama ini nggak pernah dekat sama sekali kan,. Gue ngerasa ada yang aneh aja gitu," ucap Zizi.
"Awalnya gue juga mikirnya gitu, tapi ya udahlah, selama Ratih baik-baik aja nggak perlu ada yang kita pikirin. Kita cuma harus dukung semua keputusan dia kalo itu baik, mungkin Gilang emang udah merhatiin Ratih dari lama," ujar Sani.
"Iya, jangan suuzon, pernah denger perkataan kalo tuhan itu sesuai dengan persangkaan hambanya kan, jadi kita cukup harus berperasangka baik aja buat hubungan mereka, semoga ketakutan kamu nggak terbukti," ucap Niko.
"Hu'um semoga saja. Tapi nggak tau kenapa, gue ngerasa nggak suka aja sama Gilang, kaya ... Ada yang dia sembunyiin," ucap Zizi.
"Lo kayak cenayang deh Zi, bikin takut aja," ucap Sani. Sementara Angga hanya diam mendengarkan.
"Semoga aja perasaan gue nggak terbukti," Zizi berujar lirih.
***
Sekarang sudah waktunya untuk pulang, tapi sedari tadi Ratih tak juga kembali usai berpamitan ingin mengembalikan buku ke perpustakaan.
"Ratih mana sih! Lama banget!" ujar Sani bersungut-sungut, pasalnya mereka sudah menunggu selama setengah jam tapi batang hidung Ratih tak juga kelihatan.
"Sabar, lagi ke toilet mungkin," ucap Zizi yang sebenarnya juga sedikit merasa khawatir.
Jadi mereka putuskan untuk menunggu lagi Zizi mencoba menghubungi ponsel Ratih, tapi tidak ada jawaban sedari tadi. Bahkan setelah dua jam mereka menunggu tak juga melihat Ratih.
"Masih belum diangkat?" tanya Sani.
"Belum nih, apa kita susulin aja ya ke perpustakaan?" ucap Zizi memberikan usul.
"Ya udah, tapi sholat dulu aja, udah masuk ashar juga ini," ucap Sani. Sementara Zizi hanya mengangguk sebagai jawaban.
Saat di mushola mereka bertemu dengan Angga dan teman-temannya.
"Loh kok belum pulang? Katanya nggak ada ekskul?" tanya Angga bingung.
"Iya, tadi katanya Ratih mau pulang bareng, tapi nggak nongol-nongol dari tadi," ucap Sani jutek.
"Dia nggak pulang sama cowoknya?" kali ini Gani yang bertanya.
Sementara yang ditanya hanya mengedikan bahunya.
"Udah coba telfon?" tanya Niko.
"Udah, tapi nggak di angkat, aku takut dia kenapa-kenapa, soalnya akhir-akhir ini Ratih sering kelihatan pucat," ucap Zizi.
"Ya udah, abis sholat kita cariin Ratih sama-sama," ucap Niko yang diangguki oleh yang lainnya.
***
Sementara di sebuah ruangan yang gelap dan kotor, Ratih baru saja tersadar dari pingsannya. Dengan kepala yang masih nyeri dia mencoba mengingat apa yang baru saja dia alami.
Pelan-pelan dia mulai mengingat kejadian saat dia baru saja keluar dari ruang perpustakaan untuk mengembalikan buku dia memutuskan untuk menuju toilet terlebih dahulu sebelum menyusul teman-temannya. Tapi saat dia keluar dan berjalan di koridor yang sepi tiba-tiba dia merasa ada yang memukulnya dari belakang kemudian semua menjadi gelap.
"Di mana ini? Kenapa gelap sekali."
Seolah tersadar, dia segera bangkit dan berlari menuju pintu keluar yang ternyata terkunci, Ratih mulai panik bahkan keringat dingin mulai menjalar di sekujur tubuhnya, nafasnya juga mulai sesak.
"Tolong! Buka pintunya! Ada orang di luar!"
"TOLONG!! BUKA PINTUNYA!! ADA ORANG DI LUAR!" Ratih terus berteriak sambil menggedor-gedor pintu berharap ada seseorang yang menemukannya terkurung di gudang.
Di tengah rasa panik yang dia rasakan, rasa sakit uang teramat dia benci kembali muncul.
"Oh ... Jangan sekarang," ucapnya sembari menggigit bagian bawah bibirnya. Ratih segera mengambil botol kecil berisi obat dan air minum yang selalu dia bawa dari rumah, lalu segera meminumnya untuk meredakannya nyeri yang semakin menjadi.
Sementara di sisi lain, teman-temannya semakin panik ketika belum juga menemukan keberadaan Ratih saat hari hampir gelap, padahal mereka sudah mengecek di setiap ruangan, setelah tidak menemukan Ratih di perpustakaan.
"Lo dimana sih Tih? Kalo bang Gatra nanyain gue harus jawab apa coba? Bikin khawatir aja," ucap Sani frustasi sambil menjatuhkan dirinya di lantai koridor.
"Mampus!" ucap Zizi tiba-tiba terlihat panik.
"Kenapa Zi?" tanya Sani.
"Tante Wulan nelfon! gue harus jawab apa ini kalo tante nanyain Ratih?" ucap Zizi panik.
"Udah angkat aja, tapi jangan kasih tau kalo Ratih hilang, kasihan mamanya pasti panik nanti," ucap Angga.
"Ha-halo Tante, ada apa ya, tumbuhan nelfon Zizi," sedikit gugup.
"Zi, Ratih jadi nginep di rumah kamu kan? Tadi waktu berangkat sekolah dia bilang mau nginep di rumah kamu. Tante telfon dari tadi ponsel Ratih nggak aktif, tante khawatir," ucap Wulan.
"Eh, nginep? oh iya Tante, jadi kok, ponsel Ratih lowbat jadi nggak bisa di hubungi, ini Zizi masih di toko buku buat nyari referensi tugas sekolah," ucap Zizi antara panik, lega dan merasa bersalah.
'Yaalloh, maafin Zizi Tante, Zizi terpaksa bohong. Mudah-mudahan abis ini nggak kualat karena udah bohongin Tante Wulan', monolognya dalam hati.
"Oh yaudah, tidurnya jangan malam-malam, terus bilangin Ratih jangan lupa minum obatnya,"
"Obat? Emang Ratih sakit apa Tante?" tanya Zizi.
"Tadi pagi Ratih sedikit demam, yaudah Tante tutup ya, assalamualaikum," ucap Wulan.
"Waalaikumsalam," jawab Zizi.
"Gimana?" tanya Sani.
"Aman."
"Yaudah, sekarang kita lanjut cari Ratih, kasian udah mulai gelap," ucap Gani. Gani merasa tak tenang, bahkan diantara semua teman-temannya sekarang dia lah yang paling terlihat kacau karena khawatir.
"Tapi kita mau cari di mana lagi Gan? Semua ruangan udah kita periksa, dan Ratih nggak ada di sana, mana ini udah gelap lagi dan Ratih juga phobia sama gelap. Lagian itu anak ngilang kemana sih! Bukannya pulang malah ngajak main petak umpet," sungut Sani terdengar antara jengkel, khawatir dan frustasi secara bersamaan.
"Kayaknya kita kelewat satu ruangan deh, gue baru ingat kita belum periksa gudang belakang!" ucap Niko tiba-tiba.
Gani yang mendengar itu langsung berlari menuju gudang, guna memeriksa.
Sementara Ratih sudah mulai lemas, dadanya terasa semakin sesak, dia meringkuk ketakutan samar-samar dia bisa mendengar orang memanggilnya dari arah luar.
"Papa ... Bang Gatra ... Tolong," lirihnya.
"Ratih! Kamu di dalam?!" teriak Gani sambil menggedor-gedor pintu.
"Gimana Gan? Ada di dalam?" tanya Angga.
"Nggak tau, tapi pintunya di kunci," ujar Gani ngos-ngosan setelah berlari.
Sementara Ratih di dalam gudang berusaha merangkak diantara rasa takut dan sesak yang menyerang. Dia menuju tumpukan kursi tak terpakai guna memberikan tanda pada teman-temannya. Tapi kaki dan tangannya seolah lemas, akhirnya dia mengambil ponsel dan melepaskan sekuat tenaga kearah pintu.
"Takk!
"Tunggu deh, gue kaya denger benda jatuh di dalam," ucap Angga.
Masa sih? gue nggak denger," jawab Niko.
"Ratih! Kalo kamu di dalam tolong kasih tanda lagi buat kita!" Teriak Gani.
Brukk!
Dengan susah payah, Ratih berusaha menjatuhkan kursi yang ada di dekatnya.
"Gani ... Tolong," lirihnya sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.
Mereka yang di luar mematung mendengar suara dari dalam gudang. Saling melirik satu sama lain. "Nggak mungkin hantu kan?" Pikir mereka. Tanpa pikir panjang Gani segera mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu gudang, di percobaan ketiga pintu baru berhasil terbuka.
"RATIH!!" ucap mereka serempak.
Gani langsung saja menggendong Ratih dan berlari membawanya ke rumah sakit terdekat dan diikuti oleh yang lainnya. Di dalam kepala mereka memikirkan hal yang sama, siapa yang melakukan ini semua.
***
Mereka berlima menunggu dengan cemas di depan pintu ruangan Ratih.
"Lo udah hubungin orang tuanya Ratih San?" tanya Gani
"Kita tunggu kabar dari dokter dulu, gue takut Tante Wulan sana om Ardi khawatir," usul Zizi sambil berusaha mengusap air matanya yang tak mau berhenti mengalir karena rasa khawatirnya.
Tak lama setelah itu dokter yang memeriksa Ratih keluar ruangan.
"Bagaimana keadaan teman kami dok?" tanya Zizi dan Sani tak sabaran.
Dokter itu mengangguk. "Pasien tidak papa, dia hanya butuh istirahat, sebentar lagi juga siuman. Kalian boleh melihatnya," ucap dokter itu lalu pamit.
Sementara mereka mendesah lega mendengar semuanya. Lalu mereka memutuskan untuk menunggu Ratih di dalam.
"Gue urus administrasi dulu ya," pamit Gani dan di angguki yang lainnya.
Tak lama setelah mereka masuk ruangan Ratih mulai mengerjapkan matanya.
"Ini di mana?" tanyanya kemudian mengernyit ketika tidak mengenali ruangan yang kini dia tempati. "Loh kalian? Kok ada di sini," tanyanya bingung.
Sani dan Zizi sontak berlari menghampiri Ratih dan memeluknya. "Lo nggak papa kan? Masih ada yang sakit?" tanya Sani.
"Lagian lo kenapa bisa ada di gudang sih? Bukannya cepat ke parkiran, kita tuh nungguin tau nggak? Bikin panik aja," ketus Zizi.
"Gudang?" ucap Ratih bingung. Ingatannya kembali pada kepingan-kepingan kejadian yang menimpanya saat dia ke perpustakaan hingga dia pingsan di gudang.
"Oh iya, gue inget sekarang. Tadi pas gue abis ngembaliin buku di perpustakaan, gue ke toilet dulu, terus pas gue abis dari toilet tiba-tiba aja kayak ada yang mukul gue di kepala terus gue nggak inget lagi kelanjutannya gimana. Pas bangun gue udah ada di gudang," ucap Ratih menjelaskan.
"Zi, lo nggak ngasih tau mama kan masalah ini?" tanya Ratih.
"Nggak kok, tenang aja, tapi gue jadi punya dosa sama Tante Wulan gara-gara lo," ucap Zizi ketus sambil melipat tangan di depan dada.
"Tapi gue masih penasaran deh, siapa yang udah ngunciin Ratih di gudang," ucap Angga sambil memandang Ratih.
"Atau lo punya musuh Tih? Lo liat nggak pelakunya atau ciri-cirinya mungkin?" tanya Angga.
Ratih hanya menggeleng dia juga merasa tidak pernah mempunyai musuh selama ini. Tapi dia juga penasaran siapa orang yang tega melakukan semua ini padanya.
"Seinget gue sih, gue nggak punya musuh," ucap Ratih.