Ratih terlihat lelah dan pucat saat memasuki rumahnya. Dia berjalan dengan sempoyongan akibat rasa nyeri pada kepala dan pinggang secara bersamaan. Saat tinggal beberapa langkah lagi dia mencapai tanggal tiba-tiba pandangan matanya mengabur kemudian gelap, sesaat sebelum itu Ratih masih sempat mendengar seseorang berteriak.
"Ma! Mamaa! Kakak pingsan ma!" Valen berteriak panik saat melihat kakaknya pingsan di depan tangga masih mengenakan seragam sekolah.
Wulan yang mendengar teriakkan putrinya pun segera menuju sumber suara.
"Ada apa sih, Len, teriak-teriak-- ya Alloh Ratih! Kenapa kakakmu, Len?" Wulan panik saat mengetahui Ratih pingsan.
"Nggak tau ma, tadi pas aku mau ke ruang tengah ngeliat kakak udah pingsan," jawab Valen.
"Yaudah, kamu panggil bang Gatra, kita bawa kakak ke rumah sakit sekarang," ucap Wulan panik saat di lihatnya Ratih juga mengeluarkan darah dari hidung.
***
Ratih sudah di berada di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Mimisan yang sempat di alaminya pun sudah berhenti. Dokter bilang Ratih hanya kecapekan makanya sampai mimisan.
"Ibu Wulan, apa kita bisa bicara sebentar di ruangan saya?" tanya dokter nama Gibran itu.
"Tentu saja dok, apa ini terkait dengan keadaan Ratih?"
Dokter Gibran hanya mengangguk. Tersirat keraguan di wajah dokter Gibran seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat.
Sejak keluar dari ruangan dokter Gibran, Wulan terlihat lebih pendiam dan sering melamun. Dia memandang sendu pada putri keduanya yang terlihat duduk di ranjang kamarnya sembari menatap kosong ke depan.
Ratih memang sudah di perbolehkan untuk pulang setelah kejadian dia pingsan dua hari yang lalu.
Ratih pun tak jauh beda kondisinya dengan sang ibu, dia juga sering terlihat murung setelah pulang dari rumah sakit. Dan itu membuat kedua orang tuanya semakin sedih.
"Sayang, kenapa melamun?" Wulan tiba-tiba saja datang sambil mengelus puncak kepala anaknya.
"Nggak papa ma, aku cuma capek aja," elak Ratih.
"Kamu, pasti mikirin perkataan dokter kemarin, ya? Tenang aja, itu urusan mama sama papa," ucap Wulan lembut.
"Tapi, gimana kalau seandainya aku nggak bisa sembuh ma? Kalau aku makin parah dan makin nyusahin mama sama papa?" Ratih berkata dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kamu nggak boleh nyerah sayang, mama sama papa pasti akan berjuang buat kesembuhan kamu, makanya kamu harus semangat buat berobat ya? Kita berjuang sama-sama," ucap Wulan yang sudah menangis.
"Ratih pasti akan berjuang buat mama sama papa, tapi Ratih boleh minta sesuatu nggak dari kalian?" ucapnya
"Boleh dong, buat anak papa apapun akan papa kabulkan selagi papa mampu," entah sejak kapan tiba-tiba suara Ardi menimpali dari arah pintu kamar Ratih. Membuat kedua wanita beda generasi itu menoleh ke arahnya sembari tersenyum lembut.
Ardi tersenyum tak kalah lembut dan menghampiri dua wanita tersayangnya.
"Anak papa mau minta apa?" tanya Ardi sambil tersenyum menatap wajah putrinya.
"Aku pengen ikut lomba bulutanlgkis untuk yang terakhir kalinya," ucap Ratih sambil menunduk.
"Tapi kondisi kamu nggak memungkinkan sayang, mama takut itu malah memperburuk keadaan kamu," ucap Wulan keberatan.
"Tapi aku pengen ma, aku janji ini yang terakhir, setelah ini, aku bakal nurutin semua kemauan papa sama mama. Aku juga bakal berhenti total dari semua kegiatan aku termasuk taekwondo dan main bulutangkis. Aku akan fokus untuk pengobatan," ucap Ratih memohon.
Sedangkan dua orang paruh baya itu hanya dapat menghela nafas berat. Tampak sekali rona keberatan di wajah mereka dengan permintaan putrinya.
"Baik, papa akan izinkan, tapi kalau sampai di tengah jalan nanti kondisi kamu memburuk, kamu harus benar-benar berhenti," ucap Ardi tegas tanpa bantahan.
Ratih mengangguk semangat dengan syarat sang papa.
"Satu lagi pa," ucap Ratih menawar.
"Apa lagi? Nggak usah yang aneh-aneh," ucap Wulan memperingati.
"Enggak kok ma, aku cuma mau, Zizi sama Sani jangan sampai tau tentang ini," ucap Ratih memohon.
"Loh, kenapa? Mereka kan sahabat-sahabat kamu. Mereka berhak tau tentang ini," ucap Wulan heran.
"Biar Ratih sendiri yang bilang ke mereka ma," mohon Ratih.
"Ya sudah terserah kamu," ucap Wulan akhirnya tersenyum.
"Makasih ma, pa, Ratih sayang kalian," ucap Ratih sambil memeluk kedua orang tuanya.
"Papa mama lebih sayang kamu sayang," ucap Wulan.
"Yaudah, sekarang kamu tidur udah malem, besok sekolah jangan lupa obatnya selalu di bawa," ucap Ardi sambil mencium kening Ratih bergantian dengan Wulan.
Ratih hanya mengangguk sebagai jawaban lalu bersiap untuk tidur.
***
Sementara di kediaman Gani, mereka sedang makan malam bersama dengan bahagia. Bagaimana tidak? Keluarga mereka terasa lengkap setelah Gia dan sang nenek tinggal bersama setelah sekian lama.
"Ma, mama tau nggak? Abang lagi patah hati tau," celetuk Gia de sela-sela makan.
Dan ucapan Gia itu membuat Gani tersedak makanannya sendiri.
Sambil berusaha meredakan rasa terbakar akibat ucapan Gia, Gani memberikan tatapan tajam pada sang adik, tapi sayang, Gia tidak memperdulikan hal itu, dan justru kian semangat untuk menceritakan sang kakak.
"Oh ya? Kamu tau dari mana dek," tanya Gina penuh semangat. Entahlah mendengar sang adik patah hati bukannya prihatin dia malah terlihat antusias.
"Emang iya bang?" tanya Risa.
"Emang siapa yang udah berhasil bikin anak jendral papa patah hati? Sini bilang sama papa, papa mau kasih hadiah," Abraham ikut menimpali.
"Kok di kasih hadiah, pa? Heran Gia.
"Iya lah, akhirnya ada juga yang berhasil bikin anak papa jatuh cinta, papa kira Abang mu itu maho tau," ucap Abraham penuh semangat.
"Papa!" Risa dan Gani secara bersamaan. Risa tak terima anaknya di bilang maho.
"Iya lah ma, papa dulu seumuran Abang udah ganti pacar lima kali, nah si Abang? Satu aja belum pernah, jadi perlu papa kasih penghargaan perempuan yang udah berhasil bikin Abang jatuh cinta kan?" ucap Abraham.
"Itu sih emang papanya aja yang play boy," sungut Risa.
Sementara Gani hanya memutar bola matanya malas. "Siapa yang patah hati, coba? Gia ngarang nih, sok tau," jawab Gani
"Enggak ya, aku emang tau ciri-ciri orang patah hati gimana, persis kayak temen-temen ku yang udah terlanjur sayang tapi cuma di anggap temen doang sama gebetan. Nah itu persis kaya muka Abang pas aku pergokin ngelamun dikamar kemaren," ucap Gia
Kontan saja ucapan Gia mengundang tawa satu meja kecuali Gani, bahkan Gina sampai memegang perutnya karena tak kunjung berhenti tertawa.
"Selama janur kuning belum melengkung masih bisa di tikung Bang," ucap Abraham dengan kepalan tangan keatas memberikan semangat.
"Di bilangin aku nggak patah hati kok, nggak percaya, kak Gina tu yang belom bisa move on dari kak Alvin," ucap Gani meledek.
" Kok gue? " ucap Gina tak terima.
"Sudah, sudah. Kalian ini selalu bertengkar, nggak baik bertengkar di depan makanan, nanti tersedak," ucap sang mama menengahi.
"Nggak mungkin tersedak ini mah, udah ahli uhuk! Uhuk!" benar saja setelah Gina menyelesaikan ucapannya dia tersedak makanannya sendiri, langsung saja Gia yang duduknya paling dekat memberikan air kepada Gina untuk meredakan batuk.
"Gitu tuh, kalo nggak dengerin kata-kata mama, kualat kan? ucap mama.
"Sementara Gina hanya meringis karena tenggorokannya masih terasa terbakar akibat tersedak, bahkan sampai keluar air mata.
"Kualat itu kak," ucap Gani meledek.
Sementara Gina hanya mendelik ke arah Gani, tenggorokannya masih terlalu perih nya untuk membalas ucapan Gani.
***
Saat ini Gani tengah duduk santai di gazebo belakang rumahnya. Hingga tiba-tiba mama dan neneknya menghampirinya.
"Cucu nenek udah besar rupanya, udah tau naksir perempuan," ucap nenek Gani sambil mengelus puncak kepala Gani lembut.
"Iya Nek, tapi sayangnya dia nggak tau kalo Gani naksir sama dia," ucap Gani tanpa sadar mengakui bahwa dia sedang patah hati.
"Ya, kalo gitu tugas kamu buat dia tau dong bang, kalo kamu itu naksir sama dia," sang mama menimpali.
"Tapi kita aja baru kenal beberapa hari ma, emangnya nggak aneh kalo tiba-tiba aku bilang suka sama dia?" Tanya Gani.
"Emangnya kalo kita mau suka sama orang, harus ada batasan berapa lama kita udah kenal? Enggak lah, rasa suka itu pemberian tuhan, jadi kita nggak punya batasan berapa lama kenal baru boleh suka. Itu terserah yang memberi perasaan," mamanya berujar lembut.
"Masalahnya dia lagi suka sama orang lain, dan ma," ucap Gani lesu.
"Waahh, udah ada saingan aja cucu nenek."
"Iya Nek, mana saingan Gani bukan saingan abal-abal lagi."
"Saingan abal-abal gimana?" tanya Risa bingung.
"Iya ma, jadi saingan Gani itu ketua OSIS, ketua tim basket, terus dia juga juara olimpiade fisika tingkat nasional tahun lalu," tutur Gani menjelaskan.
"Wah, saingan berat itu, kamu aja cuma jago main voli doang, Bahasa Inggris juga bisanya cuma yes or no, I love you sama I miss you doang," ucap Risa yang membuat Gani semakin lesu.
"Mama ih! Bukannya ngasih semangat aku, malah bikin tambah down," sungut Gani.
"Ya abisnya yang mama bilang bener Bang," ucap Risa tak mau kalah.
"Nggak papa Gan, biar jabatan dia cucu presiden kalo perempuan itu nantinya jodoh kamu mereka mau apa?" ucap nenek Gani.
"Emang udah pasti perempuan itu jodoh Gani?" ucap Risa menggoda Gani.
"Ya nggak tau, makanya kamu minta sama tuhan, biar kamu nanti di jodohkan sama perempuan itu, kalo jodoh kamu bukan dia, minta lagi sama tuhan biar kamu tetap di jodohkan sama dia, kalo dia jodohnya orang lain suruh ganti sama kamu aja jodohnya," ucap neneknya sambil tertawa.
"Kesannya maksa banget minta jodohnya Bu," sahut Risa terkikik.
Sementara Gani hanya tersenyum menanggapi ucapan sang nenek.
"Emang siapa namanya Bang? Tanya Risa penasaran.
"Namanya Ratih ma, cuman beda kelas sama Abang," jawab Gani.
"Kapan-kapan ajak ke rumah, mama pengen kenalan," pinta Risa.
"Siap ma, tunggu official dulu tapi," cengir Gani.
Sementara Risa hanya menggelengkan kepalanya.