Chereads / Destiny of Gani with Ratih / Chapter 9 - Tentang Gani

Chapter 9 - Tentang Gani

Kini mereka berdua berada di mobil Gani untuk menuju ke toko buku, setelah kejadian di toko sepatu tadi tidak ada dari mereka yang membuka obrolan, semua hening, bahkan radio pada mobil Gani pun tidak mereka nyalakan,. Ratih dan Gani terpaku pada pikiran mereka masing-masing.

Gani teringat obrolannya bersama Angga beberapa waktu lalu saat Gani berkunjung ke rumahnya.

flashback

"Lo, suka sama Ratih, Gan?" Tembak Angga langsung saat dilihatnya Gani membuka pintu kamarnya.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" tanya Gani bingung.

"Ya, nggak papa sih, kalo lo suka sama dia, kuat-kuat mental aja," Angga menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari stik PS di depannya.

"Kok gitu, emang Ratih kenapa  anaknya Thanos? sampai gue harus kuat mental segala?" tanya Gani mulai penasaran.

"Kata Sani, Ratih itu lagi suka sama Gilang, lo kan tau Gilang itu bukan cowok kacangan yang bisa lo anggap enteng sebagai saingan, dia cukup punya nama di sekolah, siapa sih yang gak kenal  Gilang Pramudya, ketua OSIS SMA merdeka? Pinter jangan ditanya, dia kan  juara 1 olimpiade fisika nasional tahun lalu, soal tampang? Lo bisa liat sendiri lah muka dia nggak jelek-jelek amat, jabatan? Lo juga tau kan selain menjabat sebagai ketua OSIS, dia juga menjabat sebagai kapten basket yang udah banyak menangin pertandingan. Gue juga pernah nggak sengaja denger waktu dia ngobrol sama Dani, kalo dia mau deketin Ratih." Ucap Angga.

Sementara Gani hanya diam mendengar perkataan Angga, entah mengapa di hatinya tiba-tiba ada perasaan tak rela saat mengetahui kalau Ratih menyukai Gilang, di tambah lagi Gilang yang mempunyai rencana untuk mendekati Ratih, hatinya merasa panas tanpa sebab.

flashback of

"Oh, jadi bener apa kata Angga," ujarnya lirih.

"Kenapa, Gan?" tanya Ratih, rupanya dia mendengar gumaman Gani tadi.

"Oh- eh, nggak papa kok, yuk turun, udah nyampe nih," ujarnya gelagapan.

Lalu mereka berdua masuk ke dalam toko dan berpencar sesuai susunan buku yang ingin mereka beli

***

Saat ini Gani tengah termenung  sendirian di kamarnya. Setelah mengantarkan Ratih pulang, usai membeli buku tadi, Gani langsung masuk ke dalam kamar, sampai saat Gia membuka pintu kamarnya pun dia tak mendengar.

"Doorr!"

"inalillahi! " Gani terkejut sambil mungusap dadanya jengkel akibat perlakuan Gia, sementara tersangka hanya memasang cengirannya tanpa dosa.

"Lagian, Abang ngapain bengong aja sih? Sampe  Gia masuk aja nggak tau. Padahal Gia udah ngetuk pintu kamar Abang dari tadi tau," ucap Gia cemberut.

"Lagi patah hati ya? Mukanya kusut gitu," celetuk Gia bermaksud menggoda Gani.

"Sok tau kamu, kaya udah pernah ngerasain patah hati aja," jawab Gani meledek.

"Ih, gini-gini aku tu suka ngamatin semua temen-temen sekolahku yang lagi patah hati tau, jadi aku tau, muka-muka orang patah hati itu auranya gimana," Jawab Gia tak terima.

"Awkarin naik kopaja, iyain aja," jawab Gani malas jika harus mendebat sang adik.

"Ngomong-ngomong, kamu sama siapa kesini? Besok kan masih sekolah," tanya Gani, dia baru sadar kalau Gia yang biasanya tinggal dengan neneknya kini sudah ada di depannya.

"Aku disuruh pindah sama papa, nenek juga jadi ikut kesini tinggal sama mama, ya meskipun awalnya nenek nggak mau. Cuma papa maksa, kata papa biar lebih bisa merhatiin nenek kalo ada apa-apa, akhirnya nenek setuju untuk pindah ke rumah dan tinggal sama mama papa. Lagian kasihan juga tau Bang, kadang aku sering liat nenek nangis sambil peluk foto papa sama om Hendry, nenek tu sebenarnya kangen sama anak-anaknya. Cuma takut jadi beban papa sama om, Abang kan tau sendiri Om Hendry sibuk sama kerjaannya, jadi jarang bisa jenguk nenek, papa sendiri juga gitu," tutur Gia sedih.

"Jadi itu, alasan kamu lebih memilih tinggal sama nenek daripada sama mama papa?" tanya Gani terharu.

"Iya, sebenernya aku juga sedih tau Bang nggak bisa kumpul sama kalian semua, nggak bisa makan bareng dalam satu meja, tapi aku juga nggak mau ninggalin nenek sendirian. Abang kan tau kalo nenek punya tekanan darah tinggi, aku takut kalau pas sakitnya nenek kambuh, dan nggak ada satu pun dari kita yang ada di sisi nenek, lagian kalo aku lebih milih ikut nenek papa sama mama kan masih ada kak Gina sama Abang yang nemenin, jadi mama sama papa nggak bakal kesepian kaya nenek," tutur Gia dewasa.

Sementara Gani sangat takjub dengan pemikiran dewasa adik bungsunya itu, akhirnya Gani memeluk Gia yang tiba-tiba saja sudah berlinangan air mata karena menceritakan neneknya.

"Gia memang cucu nenek yang paling baik, jadi kapan Gia mulai sekolah di sini?" tanya Gani mengalihkan pembicaraan.

"Mama papa udah ngurus surat pindah, nenek mungkin besok baru berangkat dari sana bareng sama papa mama, aku tadi kesini di antar sama kak Kevin," kata Gia.

" Kak Kevin kesini? Kok nggak mampir dulu?" tanya Gani sedikit kesal karena sepupunya itu tidak pernah lama jika berkunjung ke rumahnya.

" Nggak mampir memang, ada proyek pembangunan yang harus kak Kevin tangani katanya," ujar Gia.

"Om Hendry tau kalo nenek tinggal sana kita?" tanya Gani.

"Tau, awalnya om Hendry juga mau kalo nenek tinggal sama beliau, tapi nenek nggak mau, alasannya katanya kesepian kalo nanti tinggal sama om Hendry sama Tante Sania kerja. Abang kan tau om Hendry sama Tante Sania itu sibuk banget, kak Kevin juga nggak kalah sibuknya. Bisa Abang bayangin nanti nasib nenek gimana kalo ikut om Hendry kan?" kata Gia.

Gani hanya mengangguk.

"Ya udah, yuk turun makan," ajak Gia sambil menarik tangan Gani untuk segera menuju meja makan.

***

Mulai hari ini hingga 3 bulan ke depan, Gani dan teman-temannya sudah mulai untuk berlatih voli secara rutin guna mengikuti turnamen voli yang akan di adakan pemprov. Alhasil mulai hari ini dan seterusnya, Gani akan sering pulang sore, begitu juga dengan Ratih, Sani dan Zizi. Mereka juga terpaksa harus pulang lebih sore dari biasanya di karenakan kesibukan latihan persiapan turnamen bulutangkis tingkat provinsi itu.

***

Di sisi lain Gani dan Rosita sedang berdiri saling berhadapan di belakang sekolah, dengan kondisi Rosita yang terisak dan Gani dengan ekspresi bersalahnya.

"Jadi, gue bener-bener udah nggak punya kesempatan lagi, Gan?" tanya Rosita.

"Maaf Ros, gue nggak bisa, gue nggak punya perasaan apapun sama lo, kalau pun gue paksa buat terima elo,  itu juga nggak bakal berhasil. Karena sesuatu yang nggak dari hati, hasilnya pun nggak bakalan bisa baik kan? Lo bakal lebih sakit lagi dari ini,' ucap Gani lirih.

"Apa ini karena Ratih? Lo udah suka sama Ratih?" tanya Rosita sambil berlinang air mata.

"Ini nggak ada hubungannya sama Ratih, ada atau nggak ada Ratih, perasaan gue ke elo juga nggak akan ada yang berubah Ros, gue cuma anggap elo temen, nggak lebih," ucap Gani.

Tapi kenapa sama Ratih lo bisa lembut banget Gan? Bahkan sama dia lo bisa senyum, tapi ke gue lo nggak pernah nunjukin semua itu," Rosita masih bersikukuh.

"Kalau gue bersikap kaya gitu ke elo, emang bakal ada jaminan kalo lo nggak salah faham sama perlakuan gue? Gue cuma nggak mau lo semakin ngegantungin  harapan ke gue, lo bakal lebih berharap gue nerima perasaan lo Ros, padahal itu nggak mungkin," ucap Gani.

Rosita semakin terisak hebat, antara malu, putus asa sakit dan frustasi secara bersamaan, karena Gani tak kunjung membalas perasaan yang dia punya.

"Udah ya, gue mau ke temen-temen gue dulu, lo cewek yang baik, gue yakin lo bisa dapetin laki-laki yang lebih dari gue, tapi maaf laki-laki itu bukan gue Ros. Lo cuma perlu buka hati lo perlahan buat orang lain. Jangan terus terpaku sama gue," ucap Gani sambil menepuk pundak Rosita dua kali lalu pergi menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu ke kantin.

Rosita menatap nanar punggung Gani yang kian menjauh dan buram karena air mata yang menumpuk di pelupuk matanya.

"Tapi gue cuma mau elo Gan, gue nggak mau yang lain," lirih Rosita pilu.

Mereka berdua tidak sadar, bahwa sedari awal pembicaraan mereka ada orang lain yang mendengarnya di balik pohon dengan tangan terkepal kuat.

Sampai di kantin, Gani langsung menuju meja tempat teman-temannya berada, di tambah 3 gadis cantik lainnya. Siapa lagi kalo bukan tiga serangkai Ratih, Sani dan Zizi.

"Dari mana Gan? Lama bener," tanya Niko sambil melahap mi ayamnya.

"Ada urusan tadi, Rafli mana? Kok nggak ada," tanya Gani, karena tak melihat Rafli.

"Tadi nggak lama lo keluar kelas dia juga keluar, katanya nanti dia nyusul, tapi sampe sekarang belum nongol juga kaca matanya Baginda" jawab Niko lagi.

"Kaca mata Baginda?" tanya Ratih bingung.

"Iya, lo liat sendiri kan, di antara kita berempat cuma Rafli yang pake kacamata, dan itu jadi panggilan sayang dari kita buat dia," kali ini Gani yang menjawab sambil tersenyum.

"Jijik gue sama Bahasa lo, Gan, panggilan sayang, sejak kapan juga kita manggil Refli kacamata Baginda," ujar Angga sambil bergidik.

"Sejak hari ini, gue yang buat ultimatum," jawab Gani.

"Emangnya elo siapa bisa buat ultimatum? Ketauan Rafli nggak di kasih contekan pas ulangan baru tau rasa, lo," kata Angga.

"Yaahh, jangan gitu dong, gue bisa remedial nanti kalo nggak di kasih contekan Rafli, apalagi Bahasa Inggris, gue cuma tau, yes or no, you and me, I love you sama I Miss you doang ini," ucap Gani memelas

"Sementara yang lain hanya tertawa.

"Lo, habis ngomongin gue ya? Dari tadi nyebut- nyebut kacamata." Entah kapan datangnya Rafli, tiba-tiba dia sudah ada di belakang Gani.

"Lo kaya jalangkung aja, sih, Raf, tau-tau datang nggak ada suaranya," ucap Niko.

"Ampun, paduka, kita cuma ngomongin kaca mata paduka saja kok, bukan ngomongin paduka," Gani menimpali dengan gaya menghormat pada raja. Dengan kepala menunduk dan dua tangan di depan dada persis gaya seorang dayang kerajaan.

"Cowok kok suka ghibah, nggak gue kasih contekan bahasa Inggris baru tau, lo," ancam Rafli bercanda.

"Yah, yah, Raf jangan gitu, dong, nanti jam kedua ada ulangan ini, gue nggak mau disuruh ngaapalin verb lagi Raf, otak gue berasap rasanya," ucap Gani panik, yang membuat semua yang ada di meja itu tertawa melihat rengekan Gani, tak terkecuali Ratih yang baru saja melihat sisi lain dari Gani.

Sementara Rafli tak menanggapi rengekan Gani, dia malah asik menyuap batagornya tanpa melirik Gani sedikit pun.

"Rasain, lo Gan, alamat disuruh ngapalin verb lagi sama Bu Syifa," ucap Niko yang malah tambah membuat Gani kelimpungan.

"Gue beliin komik Detektif Conan deh, gimana? Yang penting gue nggak disuruh ngapalin verb sama Bu Syifa," Gani memberikan tawaran.

"Oke,gue kasih lo contekan, dan lo beliin gue komik Detektif Conan," ucap Rafli senang.

"Dasar matre, giliran di tawarin Detektif Conan baru mau lo," ucap Gani bersungut dan merasa lega secara bersamaan.

"Di dunia ini nggak ada yang gratis Gan, lo kencing aja bayar 2000, apalagi jawaban ulangan," jawab Rafli cuek.

Sementara Gani hanya mendengkus sebagai respon.

Alamat berkurang ini jatah uang jajan gue, hiks. Gani membatin.

"Kamu tega mas! Kamu tega sama aku! Kamu jahat!" ucap Gani dramatis sambil memasang wajah terluka yang di buat-buat.

"Nggak usah aneh-aneh Gan, gue jijik," ucap Rafli bergidik sambil mendorong Gani menjauh.

"Ketauan banget di rumah suka nonton sinetron azab bareng kak Gina sama Tante Risa ini pasti," ucap Angga geleng-geleng.

"Emang iya, habis mereka nggak mau ngalah," ucap Gani membenarkan ucapan Angga.

"Astagaa! Elo beneran suka nonton sinetron azab, Gan?" Sani terkejut mendengar jawaban Gani, tapi dia juga ingin tertawa secara bersamaan.

"Iya, ucap Gani sambil nyengir tanpa merasa malu.

Kontan saja semua yang ada di meja itu tertawa mendengar jawaban Gani. Bagaimana tidak, seorang Ardan Saugani, kapten voli dengan postur tubuhnya yang tinggi tontonan nya sinetron azab.

.