Tak terasa waktu pulang sekolah pun tiba. Bagai angin segar kala panas terik di tengah gurun Sahara. Membuat para kaum rebahan segera berlomba-lomba untuk terlebih dulu sampai ke peraduan guna segera mengistirahatkan badan dan otak yang seharian ini sudah di paksa untuk bekerja keras.
Tak terkecuali tiga gadis yang baru saja keluar dari kelas mereka sambil berjalan beriringan di tengah koridor kelas. Siapa lagi jika bukan Ratih, Sani dan Zizi.
"Lo, pulang sama siapa?" Sani bertanya sambil menolehkan kepalanya ke arah Zizi.
"Sama Niko kayaknya, soalnya tadi pagi dia yang jemput. Motor gue kan masih di bengkel, kenapa? Mau bareng?" Tawar Zizi.
"Enggak, deh. Gue nggak mau jadi obat nyamuk orang yang lagi PDKT." ucap Sani.
"Apaan dah? Lo kaya sama siapa aja deh, San! Udahlah, ikut aja. Lagian kan rumah kita juga searah," ucap Zizi.
"Kalo perlu Ratih sekalian. Mau kan, Tih?" tanya Zizi tiba-tiba sambil menolehkan kepalanya ke arah Ratih.
"Eh, nggak usah, gue naik angkot aja. Lo aja sama Sani yang pulang bareng," tolak Ratih halus.
Bersamaan dengan itu mereka telah sampai di Parkiran sekolah, dan terlihat Niko telah menunggu Zizi di samping mobilnya sambil melambaikan tangan ke arah Zizi. Dan tanpa bisa di tolak, Zizi menyeret kedua temannya untuk menghampiri Niko. Setelah berada di depan Niko, Zizi pun meminta tolong pada Niko untuk mengantarkan kedua temannya. Karena kebetulan rumah mereka satu arah dengan rumah Zizi.
"Nik, kalo anterin Sani sama Ratih dulu gak papa kan? Rumahnya searah kok, sama rumah gue," ucap Zizi pada Niko.
"Oh, nggak papa dong. Biar rame juga, sekalian aja," jawab Niko.
"Nggak usah deh Nik, gue sama Ratih naik angkot aja. Nggak enak ngerepotin," ucap Sani tak enak pada Niko. Bukan apa-apa, sebenarnya yang membuat Sani dan Ratih menolak ajakan Zizi dan Niko selain merepotkan Niko, mereka nggak mau jadi pengganggu antara dua orang yang lagi protes PDKT itu.
"Apaan sih San! Lo kaya sama siapa aja deh, santai aja kali. Lagian, rumahnya searah juga kan?" jawab Niko sambil mengibaskan tangannya.
"Lho, kalian belum pulang?" tiba-tiba saja Gani, Angga dan Rafli sudah ada di belakang mereka.
"Belum nih, mereka nggak bawa kendaraan, tapi pas mau gue anterin pulang sekalian pada nggak mau, padahal rumah mereka kan searah," Jelas Niko.
"Oh, yaudah Sani biar pulang sama gue, Ratih biar di antar sama Gani." tawar Angga tiba-tiba
"Eh, tapi-," Tiba-tiba Angga sudah menarik lembut tangan Sani menuju di mana motornya terparkir, tanpa memberikan kesempatan pada Sani untuk menyelesaikan ucapannya. Sementara Sani yang masih terkejut dengan perlakuan Angga yang secara tiba-tiba menariknya pun hanya pasrah tanpa dapat menyelesaikan perkataannya.
"Yaudah, gue duluan" pamit Rafli dengan mengendarai motor matic nya, yang segera disusul oleh Angga dan Niko setelah mennganggukan kepala kearah Gani dan Ratih sebagai tanda perpisahan.
Mereka berdua masih bergeming di tempatnya berdiri. Hingga tiba-tiba Gani menarik tangan Ratih lembut menuju di mana motornya terparkir.
"Ayo, nanti keburu sore," ujar Gani lembut," Sementara Ratih hanya diam merasa canggung.
***
Sepanjang perjalanan pulang tidak ada satu pun dari mereka yang mau membuka percakapan. Mereka asyik dengan pikiran masing-masing.
"Oh, iya Ratih, gue tadi disuruh Pak Basri buat beli bola voli di toko olahraga, Lo mau nggak, temanin gue beli?" tawar Gani.
Ratih tampak berfikir sebentar sebelum akhirnya menerima ajakan Gani untuk menemani membeli bola voli.
"Oke deh. Gue juga nggak ada kegiatan di rumah," ucap Ratih akhirnya.
"Besok pagi bisa nggak? Mumpung besok pulang cepat kan," usul Gani.
"Boleh deh, sekalian gue mau ke toko buku,' jawab Ratih.
"Besok, habis sholat Jumat, gue jemput ya ke rumah lo?" tawar Gani.
Ratih hanya mengangguk sebagai jawaban.
Saat melewati warung makan lesehan, tiba-tiba Gani membelikan setirnya.
"Loh, ngapain Gan? Kok berhenti di sini?" Ratih berujar bingung sambil turun dari motor Gani.
"Makan," Gani berujar cuek. Udah yuk, gue laper," ucap Gani sambil menarik tangan Ratih lembut saat melihat gelagat Ratih yang ingin menolak ajakannya menuju meja yang tersedia.
Tak lama setelah mereka duduk, seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka berdua.
"Permisi, mbak sama masnya mau pesan apa?" tanya seorang pelayan itu ramah.
"Lo, pesan apa?" tanya Gani pada Ratih yang tengah melihat daftar menu.
"Gue, pesen ikan Gurame saus asam manis pedas aja deh. Minumnya es jeruk aja," kata Ratih setelah beberapa saat bingung memilih menu
"Gurame saus asam manis pedas dua, es jeruk dua ya mbak," kata Gani pada pelayan tadi
"Baik, tunggu sebentar ya. Pesanan kalian akan segera di antar. Kalau begitu saya permisi." Ucap pelayanan tersebut sopan sambil berlalu. Sementara Gani dan Ratih hanya tersenyum.
"Lo sering makan di sini?" tanya Ratih membuka obrolan.
"Belum, baru sekali ini sih. Sebenarnya udah dari kapan hari gue pengen nyoba makan di sini. Soalnya gue penasaran, habis rame banget yang beli, tapi belum sempat-sempat dan baru sempat sekarang," Jawab Gani.
Ratih hanya mengangguk tanda mengerti
"Oh, iya gue boleh minta nomor lo nggak?" tanya Gani.
"Nomor gue? Buat apa?" tanya Ratih
"Ya, buat hubungin lo besok. Tapi kalo nggak boleh juga nggak papa sih," Ucap Gani akhirnya, karena merasa Ratih keberatan dengan permintaannya.
"Boleh kok, mana ponsel lo?" kata Ratih.
Gani pun segera memberikan ponselnya kepada Ratih.
"Udah." Kata Ratih sambil mengembalikan ponsel Gani. Bersamaan dengan itu makanan mereka tiba.
"Silahkan di nikmati," ucap pelayanan tersebut.
"Terimakasih," ucap Ratih sambil tersenyum.
Lalu mereka berdua makan dengan diam. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang menatap mereka dengan tajam dan tangan terkepal erat kemudian pergi dengan wajah memerah menahan amarah.
"Yuk? Udah selesai kan makannya?" ajak Gani setelah mereka selesai makan.
Ratih hanya mengangguk sebagai jawaban sambil mengambil ranselnya dan membersihkan bibirnya menggunakan tisu.
"Lo, duluan ke parkiran gue bayar makanan dulu, nggak papa kan?" tanya Gani.
"Bareng aja, gue kan juga mau bayar makanan gue." jawab Ratih.
"Eh! Nggak usah, kan gue yang ngajak lo makan, jadi harusnya gue juga yang bayar," ucap Gani.
"Loh, nggak bisa gitu, ini makanannya kan gue yang makan. Jadi, gue yang harusnya bayar," ucap Ratih kekeh.
"Udah, gue yang bayar, itung-itung gue traktir temen baru. Dan gue nggak terima penolakan," ucap Gani dengan nada yang tak ingin di bantah.
Sementara Ratih hanya mengangguk sambil menghela nafas pasrah.
"Ok, thanks," ucap Ratih akhirnya.
Akhirnya mereka sama-sama pergi ke kasir untuk membayar makanan mereka berdua.
***
Setelah mengantarkan Ratih, Gani tidak langsung pulang menuju rumahnya, melainkan menuju rumah Angga setelah sebelumnya bertanya, Angga berada di rumahnya atau tidak. Mengingat Angga tadi pulang bersama Sani.
"Halo Ngga, lo di rumah?
"...."
"Yaudah, gue ke rumah lo sekarang," putus Gani.
Kemudian segera melakukan kendaraannya menuju kediaman Angga.
Setelah sampai di depan rumah Angga, tanpa mengetuk pintu Gani langsung masuk dan menuju kamar di mana Angga berada setelah pulang sekolah. Gani dan teman-temannya memang sudah sering ke rumah Angga. Jadi baik kedua orang tua Angga maupun pembantu di rumah Angga pun sudah tak asing lagi dengan Gani dan teman-teman Angga yang lain.
"Eh, ada mas Gani. Nyari Den Angga ya mas?" tanya bi Surti, pembantu di rumah Angga.
"Eh, ada Bibi, iya nih Angganya ada, kan?" Tanya Gani pada bi Surti sambil mengambil sebelah tangan Bi Surti untuk cium tangan.
"Ada, mas langsung ke kamar Den Angga aja. Mas Gani mau minum apa? Biar bibi ambilkan," tawar bi Surti.
"Nggak usah Bi, nanti Gani biar ambil sendiri. Bi Surti sama Mang Tatang gimana kabarnya, sehat?" Tanya Gani.
"Alhamdulillah, bibi sama Mang Tatang sehat. Mas Gani gimana? Sehat kan? Sekolahnya lancar?" Bi Surti kembali bertanya kepada Gani.
"Gani sehat Bi, tiga bulan lagi Gani mau tanding voli, bibi doain supaya Gani menang ya," Gani berujar sambil nyengir.
"Pasti lah! Bibi pasti doain mudah-mudahan mas Gani sama den Angga bisa menang," ucap Bu Surti diiringi senyum.
Gani memang tergolong pemuda yang sopan. Dia selalu mencium tangan orang yang lebih tua sebagai bentuk kesopanan.
Gani bilang "Sama orang yang lebih tua itu harus sopan, nggak boleh pandang kedudukan dan jabatan, mau orang itu petani kek, pembantu kek, tukang kebun kek, semuanya harus di hormati," Begitu kata Gani ketika ada salah satu temannya bertanya kenapa setiap ke rumah Angga jika dia bertemu Bi Surti Gani selalu cium tangan. Gani juga tak segan atau risih untuk mengobrol dengan Mang Tatang, tukang kebun di rumah Angga.
"Yaudah, Gani ke Angga dulu ya Bi. Mari Bi Surti," Pamit Gani.
Sementara bi Surti hanya mengangguk dan tersenyum sambil memandang punggung Gani yang mulai menghilang di balik pintu kamar Angga.
"Calon mantu idaman," ujar Bi Surti sambil berlalu dari tempatnya berdiri untuk melanjutkan pekerjaannya.