Chereads / BIDUANITA BISU / Chapter 2 - Kenyataan

Chapter 2 - Kenyataan

Robi dan Adelia mempercepat langkah kaki mereka begitu deretan pintu ruang VIP yang mereka tuju sudah terlihat.

Lia mendapati ibunya sedang menangis sesenggukan di teras depan kamar ayahnya.

Tak jauh dari tempat mereka berada, orang suruhan Antonio juga tetap berjaga agar tidak kehilangan jejak dari target yang diikutinya.

"Ma, di mana Papa?" tanya Adelia langsung merengkuh bahu ibunya dan memeluknya.

"Maafkan mama, bajumu nanti basah karena tangisan ini. Papa ada di dalam," jawab ibunya terbata, sambil mencoba mengeringkan air matanya dengan tisu.

Lia berdiri dan mendorong pintu kamar.

Ia melangkah masuk mendekati tempat tidur dan mendapati ayahnya terbaring, dengan banyak selang pada tubuhnya yang terhubung pada sebuah mesin.

Wajah ayahnya pucat pasi dan matanya tertutup rapat. Bunyi detakan pada mesin, dengan layar monitor menunjukkan garis membentuk grafik yang Lia tidak pahami.

Airmatanya ikut menetes melihat keadaan laki-laki yang berbaring tak berdaya itu, menyembunyikan binar mata indahnya.

Lia keluar dari kamar rawat inap itu dan duduk di samping ibunya.

"Kenapa Mama tidak menunggu di dalam?"

"Mama tidak sanggup untuk melihat papamu dalam keadaan seperti itu. Mama tidak bisa menahan rasa sedih mama dan tidak ingin papa mendengar tangisan mama."

"Memangnya apa yang terjadi pada papa, Ma?"

"Papamu mengalami kecelakaan kerja. Penutup wajah yang ia pakai tiba-tiba saja rusak sehingga ia menghirup cairan kimia buatan yang sedang mereka uji coba.

Cairan itu mampu menyerang sistem saraf pusat, merusak komunikasi antar otak, organ utama dan otot-otot tubuh. Reaksinya sangat cepat dan kalau terlambat ditangani bisa membuat lumpuh dan gagal jantung hingga kematian. Kalau pun bisa sembuh, ada kemungkinan papamu akan menjadi buta dan lumpuh pada waktu yang bersamaan."

Adelia menjadi lemas dan hampir jatuh dari tempat duduknya mendengar perkataan ibunya.

Seketika mata Lia berkunang-kunang dan kepalanya menjadi pening.

"Lia Sayang. Kamu kenapa?" tanya ibunya.

"Jangan seperti ini Lia. Kamu harus kuat," ucap Robi sudah duduk merapat menahan tubuh Lia yang sudah miring.

Lia tahu kalau berita keadaan ayahnya ini akan menjadi sangat berat untuk keluarga mereka, karena Lia rupanya mempunyai tiga orang adik yang masih kecil, salah satu diantaranya usia bayi belum juga genap satu tahun.

Kehidupan mereka bergantung penuh pada pekerjaan ayahnya.

Pria tangguh itu ahli kimia yang bekerja pada laboratorium yang biasanya melakukan penelitian dan percobaan untuk uji coba cairan kimia, yang bisa digunakan sebagai penangkal penyakit atau pun kepentingan lainnya sesuai dengan proyek yang mereka kerjakan.

Lia tidak tahu kalau salah satu kerja ayahnya juga termasuk menemukan racun dan penangkalnya.

Lia pernah mendengar kalau ada satu di antara resiko lainnya, dari pekerjaan ayahnya yaitu jika ada produk-produk penelitian yang gagal, lalu tidak di perlakukan atau disimpan dengan hati-hati sekali, bisa melukai para pekerjanya.

Setelah terdiam beberapa saat, Lia berhasil menguasai dirinya kembali.

"Dari mana Mama tahu kalau papa akan mengalami gangguan saraf yang berakibat pada mata dan kakinya?"

"Itu yang tadi disampaikan oleh teman kerja papa waktu mereka mengantar ke sini, karena ini bukan kali pertama, sudah ada kejadian yang sama yang terjadi dua tahun yang lalu."

Lia menghempaskan nafasnya membuang ketegangannya.

"Lalu apakah perusahaan Ayah memberikan bantuan bulanan untuk keluarga kita selama ia tidak bisa bekerja lagi?"

"Mama belum tahu Sayang. Hal itu yang nanti akan kita tanyakan. Untuk sekarang Mama benar-benar bingung, bagaimana merawat adik-adikmu, jika papamu tidak bekerja lagi. Kita juga tidak tahu berapa besar santunan bulanan yang akan kita terima."

"Lia juga tidak tahu, Ma. Hasil dari Lia manggung pun tidak selalu cukup untuk biaya kuliah Lia. Mama sendiri kan tahu tentang hal itu."

"Iya Sayang, mama mengerti. Justru itu sekarang mama benar-benar bingung apa yang harus kita lakukan?"

"Bagaimana dengan biaya pengobatan papa sekarang?"

"Syukurlah kita tidak harus memikirkan hal itu, karena perusahaan papa akan menanggung semuanya sampai papa keluar. Hanya saja, mama tidak tahu apakah perawatan selanjutnya juga masih ditanggung oleh perusahaan ataukah kita yang harus membiayai sendiri."

Ibu dari Adelia kembali menitikkan airmata karena membayangkan kesulitan yang menanti di depannya.

"Sudah Ma. Jangan nangis lagi. Kita pasti akan dapatkan jalan keluar dan ayah pasti akan sembuh," ucap Lia sambil mengusap punggung ibunya.

"Dari jam berapa Mama di sini, terus adik-adik dengan siapa?"

"Mama titipkan mereka pada tetangga kita Bu Tejo. Mama minta tolong untuk bisa tunggu di rumah sebentar sampai salah satu dari kita kembali pulang."

"Kalau begitu, biar Lia yang pulang, mama masih bisa menemani papa di sini. Ada yang Mama butuhkan? Lia bisa titipkan pada Robi untuk diantar kemari dalam perjalanan pulang." Lia menatap sahabatnya yang membalas dengan anggukan.

"Sebaiknya kalian jalan dahulu. Mama tidak bisa berpikir sekarang. Kalau mama sudah ingat, mama akan kontak kalian. Sebagian baju papamu sudah mama bawa tadi."

"Baiklah Ma. Kami pergi dulu. Mama jaga kesehatan, jangan sampai ikutan sakit."

Lia mengecup pipi ibunya sebelum meninggalkan rumah sakit.

Orang suruhan Antonio tetap mengikuti mobil Lia dan Robi.

Ia tak lupa menelepon bosnya untuk melaporkan apa yang terjadi dalam satu jam ini.

Tak lama kemudian kendaraan yang dibawa Robi sudah sampai di rumahnya Lia.

Gadis itu menyiapkan beberapa barang yang sudah mamanya minta melalui pesan singkat, dan dititipkan pada Robi.

"Maafkan aku yang selalu merepotkanmu. Ini barang-barang yang mama butuhkan."

"Sudah tugasku, membantu dan melindungimu. Sebelum aku pergi, bagaimana dengan jadwal pentas

untuk besok atau dalam minggu ini, apakah kamu akan membatalkannya?"

"Kamu atur yang baik, Robi. Kalaupun tidak bisa kubatalkan, setidaknya buatlah sehingga aku hanya perlu tampil setelah itu aku harus segera pulang, dan tidak perlu hadir dalam jamuan makan apa pun."

"Baiklah Sayang, kamu memang bijaksana. Ingat, kamu juga butuh uang karena sekarang ayahmu dalam keadaan sakit. Kita tidak akan bisa berharap banyak pada pihak lain. Kamu tidak bisa berhenti bernyanyi."

"Aku tahu Robi."

"Oh, ini kartu nama dari pria yang mencegatmu tadi." Robi mengeluarkan sebuah kartu dari saku celananya dan menatap sesaat kartu di tangannya.

"Ya, ampun, Adelia!" seru Robi dengan mata yang membesar.

"Apa? Kamu membuatku kaget," seru Lia ikut tegang menatap wajah Robi.

"Pemuda tadi itu, anak dari penguasa kota ini. Ia mengundangmu untuk bernyanyi di acara ulang tahunnya besok malam. Kita tidak boleh melewatkan kesempatan ini."

"Pastikan saja jamnya. Jangan lupa jemput aku untuk ke salon terlebih dahulu."

"Baiklah Sayang, aku pergi dulu."

Keesokan malamnya, Robi dan Adelia tiba di kediaman Antonio lima menit sebelum waktu undangan.

Luis begitu senang melihat korban incarannya mulai masuk dalam perangkapnya.

Ia terus memberikan pikiran-pikiran menggoda pada Antonio untuk cepat memikat Adelia.

Tanpa sengaja model dan warna kostum yang dipakai Lia, senada dengan baju dari tuan rumah yang berulang tahun. Jika mereka berdiri berdekatan akan tampak seperti pasangan.

Semuanya hasil pikiran Luis, setelah Antonio mendapat laporan dari pengawal, yang bertugas mengawasi setiap pergerakan Adelia.

"Selamat datang, Nona Adelia terlihat sangat memukau malam ini!" puji Antonia sambil mengulurkan tangan kirinya untuk disambut oleh sang tamu.

Adelia melirik kepada Robi yang mengangguk dan membiarkan Antonio menggandeng Adelia, yang membimbingnya menuju tempat yang sudah disediakan khusus bagi biduanita itu.

*Bersambung*