Adelia berusaha menelepon Robi tapi ponselnya tidak diangkat, sudah sejak satu jam yang lalu.
Ia masih belum tahu apakah ia punya janji pentas hari ini karena semua jadwal diatur oleh manejernya.
Ia berdiri di depan pintu rumahnya menanti taksi karena Robi tidak bisa dihubungi. Biasanya pria itu yang menemaninya setiap saat.
Adiknya yang paling bungsu kembali ia titipkan ke Bu Tejo tetangganya.
Adelia juga sudah meninggalkan uang lauk pauk sehingga adik-adiknya bisa makan di sana kalau ia terlambat pulang dari kampus.
Bu Tejo awalnya menolak, tetapi Adelia sampaikan mereka sekeluarga sering sekali merepotkan dirinya sehingga mereka tidak ingin juga membebani ibu yang baik hati itu.
Adelia selesai kuliah pukul satu siang dan begitu ia ingin melangkah melewati pelataran samping aula fakultasnya, dua orang dengan baju hitam-hitam sudah menghalanginya di depan.
Adelia menghentikan langkahnya dan memandang sekeliling. Ternyata, ia sudah berada di tengah-tengah empat orang laki-laki yang berdiri siaga di empat penjuru.
Lalu aroma parfum pria seketika menyengat indera penciuman Lia dan seseorang yang berpakaian serba putih berkaca mata hitam sudah berdiri di sampingnya.
"Selamat siang Nona Adelia. Saya yakin Nona pasti sudah lapar. Kebetulan, saya ingin membahas kontrak kerja sama dengan Nona. Bagaimana kalau kita melakukannya sambil makan siang?"
"Siang, Tuan. Tetapi saya butuh kehadiran manejer saya untuk membahas masalah ikatan kerjasama atau kontrak pekerjaan."
"Terkadang kita butuh improvisasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Ingat, kesempatan hanya datang satu kali sehingga sudah saatnya Nona membuat pilihan."
Adelia sempat bimbang namun ia akhirnya mengangguk dan berkata, "Baiklah, kita bisa pergi sekarang."
"Pilihan yang bijaksana," balas Antonio tersenyum lalu melangkah diikuti Adelia dan empat orang pengawal Antonio.
Sementara Luis memakai kesempatan yang ada saat ia bisa dilihat untuk berperilaku layaknya manusia.
Ia mencari rumah baru untuk bisa dipakai nanti bersama pengantinnya.
Luis memilih sebuah rumah sederhana berwarna hijau keabuan. Ia ingin terlihat seperti manusia normal yang memiliki keluarga. Ada rasa hangat saat berada di bumi, sangat berbeda jika ia harus tertidur dalam ruang lembab tanpa kebisingan.
Luis menyelesaikan transaksi pembayaran dan berlalu dari kantor agen properti.
Ia melangkah menuju jalanan yang agak sepi lalu berhenti dan memejamkan matanya.
Beberapa detik kemudian Luis sudah berada di tempat parkir restoran tak jauh dari mobilnya Antonio.
Ia merapikan kacamatanya lalu masuk melalui pintu depan menuju meja di mana Antonio dan Adelia berada. Keduanya terlihat serius memperbincangkan sesuatu.
Luis mengambil tempat diduk di belakang Adelia, berhadapan dengan Antonio. Jika pria itu bisa melihat Luis, namun Adelia tidak menyadari kehadiran dari raja iblis itu.
Antonio mengabaikan Luis. Ia tidak mengundangnya duduk satu meja bersama mereka karena Antonio tidak ingin Adelia berjumpa dan berkenalan dengan Luis. Biar bagaimana pun, Luis itu cukup tampan untuk bisa menarik perhatian wanita sehingga Antonio merasa posisinya terancam jika ada Luis di antara mereka.
Luis sendiri tidak masalah diabaikan. Ia hanya ingin mengetahui apa rencana Antonio untuk mendapatkan gadis manis ini.
"Bagaimana tawaran aku semalam? Apakah kamu sepakat?"
"Apakah benar jika aku setuju dengan perjanjian kita maka hari ini juga ayahku akan sembuh?"
Antonio melirik Luis yang juga sedang menatapnya sambil menganggukkan kepalanya.
"Ayahmu akan segera pulang dan bisa langsung bekerja. Dia hanya akan seperti tertidur saja saat ini."
Suara ponsel Adelia berbunyi menyela percakapan mereka.
"Maaf, saya angkat dulu."
"Silakan!" sahut Antonio.
"Halo!" ucap Lia seraya menyimak apa yang disampaikan oleh suara di seberangnya.
Adelia menatap nanar pada satu titik dan matanya mulai berkaca-kaca.
Ia menutup gawainya, menunduk sebentar lalu mengangkat wajahnya dan menatap Antonio.
"Apa yang harus aku lakukan?" timpal Adelia tak sabar lagi. Ia sudah lelah memikirkan akan seperti apa keluarganya nanti kalau ayahnya tidak juga sembuh. Ibunya baru saja memberi kabar kalau dokter telah selesai memeriksa ayahnya dan perawat menyampaikan kalau detak jantung Pak Sanusi semakin melemah.
"Kamu harus menukarnya dengan tiga hal yang paling berharga dalam dirimu sebagai ganti dari nyawa ayahmu."
"Baiklah, aku setuju! Tolong sembuhkan ayahku saat ini juga."
Luis dengan sekejab menghilang seperti menguap dari tempatnya duduk. Tujuannya satu yaitu rumah sakit di mana ayah Adelia dirawat.
"Aku yang menentukan dua di antara tiga hal yang berharga tersebut, dan kamu hanya mengusulkan satu dari yang tersisa."
"Apakah aku harus menyampaikannya sekarang atau kehilangan salah satu di antaranya saat ini juga?"
"Kamu bisa memikirkan pilihanmu, tetapi aku sudah tahu satu hal yang berharga dari dirimu," balas Antonio.
Adelia tertegun menatap Antonio. Sampai titik ini, ia baru sadar kalau ia telah membuat suatu perjanjian tanpa berpikir dampak jangka panjangnya.
"Aku butuh waku untuk berpikir sebentar. Kapan aku harus menyampaikan jawabanku dan ke mana."
"Berikan ponselmu!"
Dengan patuh Adelia menyodorkan ponselnya yang layar depannya telah terbuka.
Antonio memasukkan beberapa angka lalu melakukan panggilan singkat pada nomor kontaknya sendiri sebelum mengembalikan ponsel dari Adelia.
Sementara di rumah sakit, Luis sudah tiba di deretan kamar VIP dan sedang melihat satu per satu kamar yang ada. Ia mencari bilik yang ditempati oleh ayah dari Adelia.
Luis memperkenalkan diri sebagai teman aktor dari putrinya Adelia, dan belum sempat menjenguk saat tahu ayah Lia sakit.
Ibu dari Lia menyampaikan keadaan suaminya sambil menyeka air mata yang menetes satu per satu.
Istri Sanusi itu pamit menanti di teras sementara Luis mendekati ranjang pasien.
Luis menyentuh dahi pasien, membuat tanda tambah di bagian dada, lengan, tungkai kaki, kedua telapak kaki dan tangannya.
Di saat yang bersamaan, semua tanda garis di mesin yang terhubung ke tubuh Sanusi, menunjukkan grafik yang bergerak dengan cepat naik dan turun bukan lagi hanya garis bergelombang nyaris datar.
Ibunya Lia yang masih di luar, mendengar bunyi dari mesin pembantu tubuh suaminya di dalam kamar. Ia bergegas masuk dan mendapati layar monitor terlihat menunjukkan garis naik turun yang stabil, tidak lemah seperti dari semalam sampai barusan dokter dan perawat memeriksa suaminya.
Ada rasa lega melihat kondisi suaminya namun ibu Sanusi terlihat bingung karena tamunya tadi sudah tak terlihat lagi di dalam kamar.
Kurang puas, ia memeriksa toilet dan juga teras kamar tersebut namun hasilnya tetap nihil.
"Aneh," gumam mamanya Adelia.
"Apa mungkin aku tadi berhalusinasi? Aku juga terlanjur terpana sehingga tidak sempat meminta perkenalan dengannya. Kalau tadi memang ada yang datang maka ia pergi tanpa aku tahu siapa namanya."
Ibu Sanusi berbicara dengan dirinya sendiri.
*Bersambung*