Chereads / BIDUANITA BISU / Chapter 6 - Hal Berharga

Chapter 6 - Hal Berharga

Luis kembali ke restoran namun ia tidak bisa menemukan Antonio dan Adelia yang sepertinya sudah menyelesaikan percakapan mereka.

Luis memilih untuk kembali ke rumah Antonio dan mencari tahu apa kesepakatan yang sudah terjadi antara pemuda itu dan sang biduanita.

Sementara Adelia sendiri masih belum bisa menghubungi Robi. Ia meminta Antonio untuk menurunkannya di rumah sakit.

Ibu Sanusi menyambut putri sulungnya dengan senyum sumringah karena perawat sudah melepas semua mesin penghubung dengan tubuh ayahnya.

"Papa sudah baikan. Kata perawat tadi, detakan jantungnya mulai stabil. Ia juga bilang ini seperti mujizat. Para tim dokter sudah memprediksi kalau sampai besok tidak ada perubahan, maka papa perlu dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap pelayanannya, karena mereka sudah tidak bisa memberikan tindakan apa pun. Semua upaya sudah dikerahkan dan hanya berharap keajaiban yang datang dan papamu sudah mendapatkannya."

"Mama tahu sejak kapan papa mulai baikan?" tanya Lia penasaran.

"Tadi siang sekitar pukul dua. Sebenarnya ada yang aneh tapi mama tidak berani sampaikan pada perawat." Ibunya Lia menariknya ke sudut kamar dan berbicara dengan sangat pelan.

"Apa yang aneh, Ma?" tanya Lia.

"Tadi siang ada yang datang menjenguk papamu. Seorang pria berpakaian serba hitam. Katanya temanmu aktor. Kami saling menyapa dan mama tinggalkan ia di dalam kamar bersama papa sebentar saja, karena mama kembali merasa sedih dan tidak mau menangis di depannya. Lalu mama mendengar bunyi suara mesin dan masuk kembali, tetapi pria itu sudah tidak ada lagi. Padahal, mama yakin ia tidak keluar dari pintu kamar. Mama juga lupa menanyakan namanya. Setelah itulah keadaan papamu mulai berubah."

"Sudahlah tidak usah dipikirkan Ma. Intinya, sekarang papa sudah baikan."

"Iya, papamu masih diberikan obat dan harusnya beberapa jam lagi sudah bisa berbicara, seperti itu tadi pesan dari dokter."

"Kalau begitu, Lia pamit duluan biar bisa menjaga adik-adik."

"Iya Sayang. Apa kamu tidak ada jadwal nyanyi malam ini? Lagi pula, di mana Robi?"

"Lia juga belum bisa menghubunginya sejak pagi. Semoga dia baik-baik saja," sahut Lia membenarkan perkataan ibunya dalam diam.

Mereka berpelukan. Lia mendekati tempat tidur ayahnya dan mendaratkan kecupan di dahinya dengan lirihan, "Cepat sembuh, Pa. Kami semua merindukanmu."

Lia keluar dari ruang VIP lalu menuju pintu keluar dan berjalan di selasar gedung rumah sakit.

Pikirannya melayang pada percakapannya dengan Antonio.

"Aku ingin mengontrak dirimu. Kamu tinggal bersamaku, menyanyi hanya untuk diriku dan semua biaya rumah sakit dan pendidikan adik-adikmu akan aku tanggung sampai mereka kuliah. Tetapi kamu harus pindah ke istanaku secepatnya. Apa pun yang kamu minta akan aku kabulkan jika kamu sudah jadi milikku," ujar Antonio setelah Lia sutuju untuk melakukan perjanjian di antara mereka.

"Aku tidak bisa pergi begitu saja dari rumah tanpa alasan yang masuk akal."

"Salah satu alasan paling masuk akal yang bisa kamu sampaikan yaitu, kamu akan masuk asrama di dekat kampus sehingga kamu tidak perlu pulang setiap malam supaya hemat ongkos. Kamu bisa nginap di rumahmu sekali sebulan atau per dua minggu."

"Lalu aku harus tinggal di rumahmu?"

"Mengapa tidak? Aku menanggung semua biaya pendidikanmu dan adik-adikmu. Aku yakin orangtuamu akan senang kalau kamu bisa memberikan uang untuk mereka."

"Lalu bagaimana dengan bayaran atas kesembuhan ayahku? Menukarnya dengan tiga hal paling berharga yang aku miliki?"

"Ya, hal pertama yang aku pilih adalah dirimu, karena kamu berharga. Hal kedua yang aku inginkan darimu adalah waktu dan kehadiranmu. Aku ingin kamu melayaniku seumur hidupmu. Hal ketiganya silakan kamu tentukan."

Lamunan Adelia terhenti begitu ia sudah sampai halte di dekat rumah sakit dan ia harus segera mencari bis umum untuk pulang ke rumahnya.

'Hal berharga yang aku miliki adalah suaraku. Tanpa suaraku, aku tidak mungkin bisa membiayai kuliahku selama dua tahun ini,' batin Adelia sambil menatap jalanan di depannya.

Tanpa sepengetahuan Adelia, seorang suruhan dari Antonio sedang mengawasinya dari jauh. Pengawal pribadi Adelia itu diperintah langsung oleh majikannya, untuk memastikan Lia sudah pulang ke rumah barulah ia bisa beristirahat.

Keheningan di halte terusik oleh dering ponsel seseorang yang ternyata adalah milik Lia. Ia melirik layar ponsel dan itu adalah nomor baru membuatnya enggan untuk menjawab.

Dalam kebimbangan akhirnya Adelia menjawab juga panggilan yang terus berdering tersebut.

Adelia hanya mendengar suara di seberang, tanpa sempat membalas dengan satu kata pun. Beberapa detik kemudian air mata sudah menetes dari netra indahnya.

Adelia langsung berdiri sambil menyisipkan kembali ponselnya ke dalam laci tasnya.

Ia menahan taksi kosong yang sedang lewat dan menaikinya.

Lia menyebutkan sebuah alamat dan dua puluh menit kemudian, ia sudah sampai di tempat tujuan.

Rumah yang ia tuju terlihat terang benderang dan banyak orang sedang berkumpul mendoakan jenasah yang sedang terbaring kaku di tengah-tengah ruang tamu. Tubuh kaku dari Robi, sahabat serta manejernya.

Lia menangis berurai air mata mendekati orangtua dari Robi. Ia memeluk mereka sesaat sebelum kembali fokus pada wajah sahabatnya yang sudah terbujur tanpa ekspresi dan terasa dingin.

Lia tersungkur di samping tempat tidur jenasah, "Rob, mengapa kamu pergi begitu cepat? Aku bahkan belum selesai kuliah. Bukankah kita bermimpi untuk membangun studio sendiri sehingga kamu tidak perlu berlelah-lelah mencarikan panggung bagi diriku? Kamu jahat, bahkan kamu tidak sempat meninggalkan pesan, nasihat atau pun kata-kata perpisahan."

Ayah dari Robi lalu menyodorkan sesuatu pada Lia dan gadis itu meraihnya masih dengan air mata yang berlinangan.

Sebuah benda kecil yang disimpan dalam plastik. Dengan perlahan Lia membukanya untuk mengetahui apa isinya. Ternyata ponsel dari Robi yang masih utuh.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada Robi Om?" tanya Lia menatap mata dari ayah temannya untuk mendapatkan jawaban yang jujur.

"Tak ada satu saksi pun yang nampak tadi malam. Kami baru mendapat kabar sekitar jam sepuluh pagi. Mobil Robi dilindas sebuah truk barang. Truk itu benar-benar di atas mobil Robi yang gepeng di bawahnya."

"Ya, Tuhan. Aku dan Robi semalam masih bersama dan aku tiba di rumah terlebih dahulu. Pasti kejadiannya terjadi dalam perjalanan pulang ke sini."

"Relakan Nak Lia. Kami juga sudah ikhlas agar arwah Robi bisa menemukan tempat yang terbaik di sana."

"Amminn Om! Maafkan Lia yang masih tidak bisa memahami semua yang telah terjadi."

Lia masih ikut mendoakan jenasah Robi sampai pukul sepuluh malam. Ia juga menanyakan tentang rencana pemakaman.

Ia menelepon Bu Tejo untuk menyampaikan tentang keterlambatannya karena masih melayat sahabat terbaiknya yang telah terlebih dahulu meninggalkan dirinya.

*Bersambung*