Malam semakin hening tatkala jam dinding menunjukkan pukul dua belas tepat. Ayu yang sejak tadi kesulitan tidur, berkali-kali mengecek ponselnya. Ditatapnya aplikasi Whats App, menggeser-geser pesan masuk yang tertera di sana.
Setelah kejadian batalnya lamaran dari Kamal dua hari lalu, Ayu jadi sedikit galau. Akan tetapi, gadis itu tak ingin menyerah begitu saja, meski ayahnya sering mengolok-olok bahwa ia tidak becus mencari jodoh. Ayu terus berusaha hingga mengunggah foto selfie-nya di Instagram dengan menuliskan sebuah keterangan.
'Kalau memang jantan, kenapa lelaki merasa ragu untuk melamar pacarnya?' begitu tulisnya di bawah keterangan foto selfie-nya yang sedang menopang dagu sambil manyun.
Tak lama kemudian, muncullah beberapa komentar dari pengikutnya. Kebanyakan dari pengikut perempuan berkomentar buruk terhadap lelaki, tapi tak sedikit pula yang memaparkan realitas bahwa lelaki butuh waktu untuk meyakinkan dirinya dalam meminang seorang gadis. Di sisi lain, pengikut laki-laki juga berkomentar bahwa butuh berpikir berkali-kali untuk menghabiskan separuh usianya, tapi ada juga yang merayu Ayu untuk menikah dengannya.
Di tengah ramainya komentar kiriman Ayu Instagram, muncul Direct Message dari beberapa akun lelaki. Entah akun asli atau palsu, mereka menawarkan diri untuk menjadi calon suami Ayu.
Melihat betapa banyaknya akun yang mengirimkan pesan, Ayu memiliki sebuah ide. Untuk mengetahui kesungguhan mereka, gadis itu mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya tentang pernikahan dadakan. Ada yang setuju dengan pernikahan semacam itu, ada pula yang tidak. Alasannya, bagi lelaki yang setuju menikah dadakan, mereka berpikir bahwa niat baik dan ibadah jangan ditunda-tunda, apalagi kalau sudah benar-benar siap. Sedangkan bagi para lelaki yang tidak setuju, mereka berpikir kalau pernikahan itu membutuhkan rencana sangat matang sehingga dapat menjalin hubungan yang langgeng sampai tua.
Menurut Ayu, opini mereka tidaklah salah. Namun, kali ini Ayu benar-benar membutuhkan seseorang yang dikenalinya dapat meminangnya secepat mungkin, agar perjodohan dengan anak juragan ayam dibatalkan. Begitu tidak sabarnya, Ayu menulis status di Whats App. Hanya dari aplikasi itu saja ia dapat menemukan lelaki yang dikenalnya.
'Kalau kamu serius menjalin hubungan denganku, kenapa nggak langsung datang aja ke rumah? Aku bakal senang sekali menyambut kamu, apalagi kalau tujuannya melamar.'
Dan, satu per satu buaya darat pun muncul ke permukaan. Mulai dari orang yang berawalan huruf A sampai Z, mereka mengirimkan pesan.
Asep : "Wah, kalau melamar kamu, sih, pengin banget, tapi butuh waktu buat sampai ke pelaminan."
Bagus : "Yang sabar, Sayang. Aku masih kerja keras demi bisa melamar kamu."
Cepi : "Melamar kamu nggak butuh waktu kok, cuma duitnya aja yang belum mendukung. Sabar, ya, Sayang. Nanti juga indah pada waktunya."
Dandi : "Maaf, Sayang. Sebenernya aku pengin banget ketemu ayah dan ibu kamu, tapi aku belum minta restu pada kedua orang tuaku."
Eman : "Seandainya jarak dan waktu tidak memisahkan kita, pasti esok kita akan menikah."
Fajar : "Besok lusa aku bakal ke rumah kamu, sambil bawa kedua orang tuaku. Tunggu aja, nanti aku datang."
Sebenarnya masih banyak lagi yang membual pada Ayu tentang keseriusannya menjalin hubungan. Kendati demikian, gadis itu tidak mau mudah percaya, mengingat hal buruk yang terjadi tempo hari. Ia tidak ingin lamaran palsu itu datang lagi dan mempermalukan dirinya di hadapan orang tua.
Tak terasa jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Ayu mulai mengantuk dan tertidur pulas dengan cepat. Pesan-pesan dari pemujanya tak lagi dibalas. Gadis itu lelap dalam mimpinya yang indah.
***
Fajar menyingsing dari ufuk timur. Seusai salat subuh, Bu Nining sudah sibuk membuat sarapan. Sementara itu, Ayu belum kunjung bangun. Tidak biasanya gadis itu ketinggalan melaksanakan salat wajib lima waktu. Jika sudah begini, Bu Nining bergegas membawa segayung air ke kamar putri semata wayangnya.
Bergegas wanita setengah baya itu masuk ke kamar Ayu tanpa mengetuk pintu. Percuma juga ia berteriak nyaring seperti alarm, toh anak gadisnya tetap budeg kalau sudah tidur terlalu nyenyak. Tanpa basa-basi, Bu Nining mengguyur Ayu yang masih tidur sambil mangap dan ngiler. Dengan terkejut, seketika gadis itu bangun juga dari mimpi indahnya.
"Ah, Emak ini apa-apaan, sih? Aku lagi enak-enak pacaran sama pangeran ganteng di bawah pohon beringin," kata Ayu sambil mengelap mukanya.
"Oh, pantesan kamu mimpi pacaran sama dedemit, makanya salat subuh juga kesiangan."
"Ih, Emak mah! Bukan dedemit, Mak, Pangeran Ganteng!"
"Terserah kamu, deh. Cepat ke kamar mandi dan ambil wudhu. Nanti kalau udah salat, bantuin Emak masak."
"Iya, iya."
Ayu beranjak dari tempat tidurnya, lalu pergi ke kamar mandi. Sementara itu, Bu Nining yang ikut keluar kamar, terhenti sejenak oleh suara notifikasi di ponsel Ayu. Merasa penasaran, Bu Nining mencoba mencari tahu pesan yang masuk di ponsel putrinya. Dibukanya aplikasi Whats App, lalu membuka pesan dari beberapa teman lelaki Ayu.
Wendi : "Sayang, nanti aku ke rumah kamu buat melamar, tapi tunggu sebulan lagi, ya."
Xena : "Sabar dulu ya, Sayang. Kalau aku udah putus dari Norma, nanti aku melamar kamu."
Yongki : "Kalau aja hari Minggu lalu kamu nggak mutusin aku, pasti sekarang aku udah melamar kamu."
Zaenudin : "Maaf, Ukhti. Bukannya ana nggak mau melamar Ukhti. Abi sudah meminangkan seorang akhwat buat ana."
Bu Nining mengerutkan dahi sembari bergidik. Di luar dugaannya, ternyata banyak sekali buaya darat yang merayu putrinya. Saking terlalu asyik melihat-lihat isi pesan lelaki di ponsel anaknya, Bu Nining tidak menyadari kalau Ayu sudah selesai wudhu.
"Emak ini apa-apaan, sih?!" sungut Ayu merebut ponsel dari tangan ibunya. "Ini privasi aku, Mak. Mentang-mentang aku lupa nggak pakai kunci pola, Emak seenaknya aja buka Whats App aku."
"Bukan begitu, Neng. Emak cuma ...."
"Nanti aja jelasinnya. Aku mau salat dulu."
Bu Nining segera keluar dari kamar Ayu, lalu berjalan ke dapur. Menyadari perilaku anak gadisnya, ia semakin khawatir akan masa depannya. Namun, ketika teringat pada keputusan suaminya menjodohkan Ayu dengan anak juragan ayam, hatinya menjadi sedikit lega. Wanita itu berharap, putrinya dapat berubah menjadi lebih baik setelah menikah.
Tak lama kemudian, Ayu datang ke dapur, membantu ibunya memotong sayuran. Berulang kali Bu Nining menanyakan tentang pesan Whats App dari beberapa lelaki di ponsel, tapi Ayu enggan menjawab. Ia kadung kesal dengan perilaku sang ibu yang telah mengacak-acak privasinya.
Saat sarapan siap dihidangkan, Pak Darman buru-buru menghampiri meja makan setelah selesai memakai seragam lengkap. Penampilannya sangatlah rapi, layaknya lurah sejati. Bau badannya sangat wangi, diolesi parfum non-alkohol seharga lima ribuan. Ketika duduk di meja makan untuk sarapan bersama, Bu Nining dan Ayu dibuat pening oleh aroma parfum yang dipakai Pak Darman.
"Astagfirullah! Bapak pakai minyak nyongnyong merk apa?" tanya Ayu membekap hidung dengan kedua tangannya.
"Kamu ini nggak ada sopan-sopannya sama orang tua. Bapak pakai minyak wangi merk Malaikat Subuh."
"Hm, pantesan." Ayu mencebik.
"Sudah, sudah. Sekarang, ayo kita makan!" ujar Bu Nining.
Dimulai dengan membaca doa bersama, mereka mengharapkan berkah dari setiap suap makanannya. Setelah memakan sayur beberapa suap, tiba-tiba Ayu teringat sesuatu.
"Pak, kenapa Bapak nggak sekalian aja ngadain sayembara buat Ayu gitu? Kan keren tuh kayak putri-putri zaman dulu, kayak Putri Drupadi yang dimenangkan oleh Arjuna," ucap Ayu sambil mengunyah makanannya.
"Sebenarnya bisa, sih, tapi memangnya kamu mau nikah sama laki-laki yang nggak kamu kenal? Kan sayembara itu ngedatengin pangeran-pangeran dari seluruh negeri, yang sebelumnya nggak dikenali oleh sang putri," jawab Pak Darman dengan santai. "Lagi pula, ngapain juga Bapak ngadain acara sayembara segala, kalau kamu bisa gonta-ganti pacar seminggu sekali. Yang ada kamu malah dituduh macam-macam sama tetangga, apalagi sama Ceu Mae."
"Dituduh macam-macam gimana, Pak? Ayu nggak ngapa-ngapain kok."
"Kamu ini kayak nggak ngerti masyarakat kita aja." Bu Nining menyela. "Kalau ngadain sayembara, nanti para tetangga menuduh pacarmu nggak tanggung jawab gara-gara udah menghamili kamu."
"Kok gitu, sih, Mak? Jahat banget pikiran mereka."
"Kamu nggak bakalan bisa mengendalikan pikiran mereka. Kebanyakan, manusia itu hanya menilai perilaku seseorang berdasarkan dengan apa yang mereka lihat. Jadi, percuma saja kamu membela diri, kalau kelakuan kamu sesuai dengan apa yang mereka pikirin," kata Bu Nining terdengar bijak.
"Emak, kamu benar," bela Pak Darman.
"Terus, aku harus gimana dong? Ini udah hari Kamis," kata Ayu dengan wajah memelas.
"Memangnya kenapa kalau hari Kamis?" tanya Bu Nining mengernyitkan kening.
Pak Darman hanya tersenyum-senyum, melihat kegagalan Ayu yang sebentar lagi akan terjadi. Di balik senyumnya itu, ia sudah memiliki rencana lain. Jika minggu depan putrinya tidak mendapatkan lelaki yang mau meminangnya, maka Pak Darman akan menelepon Pak Yayan untuk segera datang ke rumah.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ponsel Pak Darman tiba-tiba berdering. Saat melihat ponsel, muncul nama Pak Yayan di layarnya. Dengan wajah semringah, Pak Darman mengangkat telepon dan menjawab panggilan Pak Yayan dengan suara nyaring.
"Assalamualaikum, Yan. Gimana kabarnya?"
Mendengar nama Pak Yayan disebut, hati Ayu mendadak gentar. Sebuah firasat buruk mulai menyerang seisi otaknya. Segera Ayu menyelesaikan sarapannya, lalu menaruh piring ke wastafel. Dengan terburu-buru ia memasuki kamar, seolah enggan mendengar percakapan ayahnya dengan Pak Yayan di telepon. Tak mau kalah cepat dari Pak Darman, Ayu mengambil ponsel, lalu mengirimkan pesan pada setiap lelaki yang dikenalnya.
Di meja makan, Pak Darman asyik berbasa-basi dengan Pak Yayan, sedangkan Bu Nining sibuk membereskan piring bekas makan. Sambil mencuci piring, sesekali Bu Nining memerhatikan suaminya.
"Ngomong-ngomong, gimana jawaban anakmu setelah mendengar perjodohan ini?" tanya Pak Yayan tidak sabar.
"Dia senang sekali, Man. Kemarin dia juga bilang, mending dipercepat saja."
"Wah, bagus kalau begitu! Kira-kira, kapan kamu sekeluarga akan datang kemari?"
"Insya Allah hari Minggu ini, Man."
"Baik, kalau begitu nanti aku persiapkan semuanya."
"Nggak usah repot-repot. Lagi pula, kami ke sana cuma mau berkunjung sebentar."
"Jangan begitu. Namanya juga tuan rumah, wajar kalau ingin memuliakan tamunya."