Yunita berusaha untuk luput dari perhatian Sagara. Guru dari sebuah Madrasah Tsanawiyah swasta itu berupaya agar bisa bertemu dengan Guna. Hari itu, ia memang berangkat ke sekolah diantar oleh suaminya. Namun, setibanya di sana ia justru meminta izin pada kepala sekolah untuk tidak mengajar dengan dalih ada kepentingan khusus. Setelah mendapatkan izin dan memastikan suaminya telah pergi, ia bergegas naik angkutan umum menuju kantornya Guna.
Perlu beberapa kali ia naik turun angkutan umum, tapi tak pernah sekali pun mengeluh. Demi menyelamatkan keutuhan keluarga suaminya, Yunita rela menempuh jarak yang cukup jauh. Kendati terjebak macet beberapa kali, wanita berhijab itu tetap sabar sampai tiba di sebuah kantor dekat alun-alun.
Secepatnya ia menuju tempat Guna bekerja, setelah membayar ongkos angkot. Gedungnya tidak begitu tinggi, halamannya pun tak terlalu luas. Saat memasuki lobi, ia bertanya pada resepsionis tentang kehadiran Guna. Beruntung, orang yang dicarinya sedang ada. Yunita mengatakan pada resepsionis bahwa ia ingin menemui pemilik usaha pakan ternak sekarang juga. Awalnya, resepsionis menolak karena Yunita tak memiliki janji sebelumnya, tapi setelah menelepon si empunya perusahaan, wanita berhijab itu akhirnya diizinkan masuk ke ruangan Guna.
Setibanya di ruangan Guna, Yunita mengetuk pintu. Terdengar sahutan mantan kekasihnya dari dalam yang menyuruhnya masuk. Dibukanya pintu itu, lalu berjalan perlahan memasuki ruangan. Terlihat Guna yang sedang sibuk di depan laptop, mengalihkan pandangannya pada Yunita. Untuk sesaat, waktu serasa terhenti tatkala dua orang yang pernah memadu kasih, saling bertukar tatap.
Perlahan Guna mendekati Yunita dan berkata, "Kau di sini?"
Yunita yang tergugu, hanya bisa mengangguk dan menghindari tatapan Guna.
"Silakan duduk," ujar Guna menunjuk pada sofa yang teratat rapi di depan meja kerjanya.
Sembari menyapu pandangan ke sekelilingnya, Yunita berusaha menyingkirkan rasa gugup. Sudah lama sekali sejak pernikahannya dengan Sagara, ia tak bertatap muka, bahkan bercakap-cakap langsung dengan Guna. Wanita itu tampak canggung, menatap wajah mantan kekasih yang masih tampan di matanya.
"Ada perlu apa kamu datang kemari?" tanya Guna, duduk di sebelah Yunita.
Mengetahui jarak antara Guna dan dirinya cukup dekat, Yunita bergeser hingga sedikit menjauh dari lawan bicaranya. Ia tahu betul batasan yang diperlukan saat ini, mengingat sudah menjadi istri sah dari Sagara. Kendati demikian, Yunita juga cukup heran dengan sikap Guna padanya. Keangkuhan dan kekasaran Guna terhadap Pak Yayan dan Sagara, seolah tak tampak saat berhadapan dengannya.
Menyadari sikap Yunita yang canggung, Guna berkata, "Baiklah, sekarang katakan maksud kedatanganmu kemari."
"B-begini, A. Aku mau bicara soal warisan yang Aa bahas sama Bapak."
"Iya, terus?"
"Aku mohon, A. Jangan keterlaluan. Bagaimanapun juga, Aa dan A Sagara sama-sama anak Bapak. Kalian berdua berhak mendapatkan warisan itu, masing-masing lima puluh persen. Rasanya tidak adil jika perjodohan Aa dijadikan alasan untuk mendapatkan keseluruhan harta warisan Bapak, sampai A Sagara nggak kebagian."
"Oh, jadi kamu ke sini hanya untuk membela Sagara? Munafik sekali anak itu sampai mengirim istrinya untuk memohon kebijakan dariku."
"Enggak, A. Suamiku tidak tahu sama sekali aku datang ke sini."
Guna mengernyitkan kening. "Lalu, tujuanmu ke sini hanya untuk meminta kebijakan dariku saja, begitu?"
"Iya, A. Aku harap, Aa dapat berbesar hati dan tidak mengungkit keputusan Bapak dalam membagi warisannya. Pernikahan dan warisan itu dua urusan yang berbeda. Kasihan sama calon istri Aa, yang cuma jadi alat buat mewujudkan keserakahan saja. Lagi pula, apa gunanya harta banyak-banyak jika tidak bermanfaat?"
"Kamu tidak akan mengerti, Yunita. Sebenarnya aku tidak semata-mata mengincar harta itu karena serakah."
"Lalu untuk apa?"
Guna menoleh pada Yunita, seraya menatap tajam ke arahnya. Wajahnya yang tegas seolah menyiratkan kesungguhan dalam menggapai ambisinya.
"Katakan, A!"
"Untuk mendapatkan kamu kembali."
Yunita terperangah dan membekap mulut dengan kedua tangannya.
"Aku nggak akan membiarkan Sagara sukses, apalagi mendapatkan warisan Bapak. Sagara harus jatuh miskin sampai kamu meninggalkannya demi aku."
"Apa?!" Mata Yunita membelalak, tatkala mendengar pernyataan kakak iparnya. Segera ia berdiri, menatap tajam ke arah Guna. "Dengarkan aku baik-baik! Sampai kapan pun aku nggak bakal pernah meninggalkan suamiku. Dalam keadaan apa pun, aku akan tetap mencintainya sampai akhir hayat."
"Munafik! Bukankah semua perempuan itu menyukai lelaki kaya dengan alasan realistis? Lagi pula, apa istimewanya, sih, Sagara? Dia cuma supir truk, yang mengantar ayam pesanan dari pembeli di luar kota."
"Meskipun pekerjaan suamiku tidak ada apa-apanya di matamu, setidaknya dia mencintaiku dengan tulus. Nggak seperti Aa, perjodohan malah dijadikan kesepakatan!"
"Cukup! Jangan bandingkan ketulusan cintaku dengan Sagara!" Guna bangkit dari sofa, sambil memelototi Yunita.
"Aa memang nggak pernah tulus mencintaiku. Aa selalu saja berusaha memilikiku hanya demi mendapatkan reputasi sebagai menantu dari juragan sayuran. Apa Aa tidak malu, mendapatkan reputasi dengan cara menumpang dari nama baik orang lain?"
"Berhenti, Yunita! Aku tidak sehina itu! Aku juga bisa usaha sendiri," bentak Guna, tidak tahan meluapkan kekesalannya.
Yunita yang sudah tidak nyaman berada di kantor Guna, bergegas meninggalkan ruangan itu. Ia tidak menyangka, bahwa alasan Guna berbuat serakah adalah dirinya. Kendati tak mendapatkan hasil yang baik, setidaknya wanita berhijab itu tahu alasan mantan kekasihnya berbuat buruk pada keluarganya sendiri.
Guna tidak mau membiarkan Yunita pergi begitu saja. Baginya, ini kesempatan bagus untuk merebutnya kembali dari Sagara. Secepatnya ia menggenggam tangan Yunita yang hendak membuka pintu.
"Yunita," kata Guna memelankan nada bicaranya. Yunita pun menoleh, terkejut melihat pria itu menahannya untuk pergi. "Apa tidak ada kesempatan lagi untukku? Aku akan berusaha berubah lebih baik buatmu, dan tak akan menuntut warisan dari Bapak lagi. Kamu saja sudah cukup, bahkan lebih berharga dari semua harta yang ada di dunia ini."
Dengan kasar Yunita melepas genggaman Guna, lalu berkata, "Aku tidak akan pernah menerimamu lagi! Ingat, A! Aa sebentar lagi akan menikah. Sebaiknya belajarlah mencintai gadis lain dan lupakan aku!"
Tatapan Guna menjadi kosong, saat Yunita berjalan cepat meninggalkan ruangannya. Kekecewaan membalut hatinya, hingga rasa hampa kembali mengisi kekosongan hatinya. Dengan langkah gontai, ia duduk di meja kerjanya. Diremasnya rambut hitamnya, lalu berteriak kencang sambil memukul meja.
Lain Guna, lain pula Hanafi. Lelaki berkacamata itu masih harap-harap cemas menanti jawaban dari Ayu yang masih termenung sejak tadi. Saking tidak sabarnya, Hanafi menepuk paha Ayu hingga gadis itu terhenyak.
"Gimana, Yu? Kamu mau membatalkan lamaran laki-laki itu, kan?"
Ayu menggaruk kepala dan menyengir. "Hm, gimana, ya?"
"Aku butuh jawaban kamu sekarang. Kalau kamu setuju, besok aku bakalan bujuk bapakku buat datang melamarmu."
"Kalau kamu beneran mau melamarku, kenapa nggak dilakukan dari minggu kemarin? Padahal aku udah bikin status di story Whats App, loh. Kamu nggak baca itu?"
Seketika keyakinan di mata Hanafi lenyap. Ia justru kebingungan menjawab pertanyaan Ayu. Akan tetapi, pada kenyataannya ia memang tidak membaca status Whats App itu, dan begaimanapun juga, ia harus memberi alasan yang jujur pada gadis pujaannya itu.
"Ng ... itu. A-anu ...."
"Apa?"
"Hari itu kuota internet aku habis, makanya aku nggak baca status Whats App kamu."
"Ah, alasan. Kuota internet aja nggak kebeli, apalagi nafkahin aku seumur hidup. Udah, ah, aku mau pulang," cibir Ayu beranjak dari tempatnya duduk, lalu bergegas menuju trotoar.
"Tunggu dulu, Yu. Biarpun kuota internetku habis, aku bakalan berusaha buat bahagiain kamu," cegah Hanafi memegang tangan gadis berkulit sawo matang itu.
"Aku nggak mau buang-buang waktu, Fi. Emak dan Bapakku udah setuju dengan keputusan lelaki yang mau menikahiku dua minggu ke depan. Kalau kamu cuma mau main-main dan mengulur waktu, mau bilang apa aku sama kedua orang tuaku nanti? Yang ada mereka bakal lebih kecewa."
"Tapi, Yu, aku bakal ...."
"Udah, ah. Cukup sampai di sini aja peetemuan kita. Maaf, aku nggak bisa jadi seseorang yang lebih dari sahabat buat kamu," pungkas Ayu, kemudian melambaikan tangan pada angkot yang hendak melintas. Selanjutnya ia pun menaiki angkot itu tanpa memedulikan Hanafi yang sedang terpaku memandangi kepergiannya.
Sambil membawa kekecewaan di hati, Ayu merutuk kesal. Sekarang sudah terlambat untuk segalanya. Anak juragan ayam itu akan segera menjadi suaminya, dan Ayu tak akan bisa lagi memilih lelaki dengan sesuka hati. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya, hingga tak sadar telah diperhatikan diam-diam oleh penumpang lain.
Di depan gapura menuju Stasiun Bandung, Ayu turun dari angkot. Butuh beberapa menit saja untuk berjalan kaki sampai tiba di tempat pembelian tiket. Tak disangka, setibanya Ayu di sana, kereta menuju Cimindi akan segera tiba. Cepat-cepat ia membeli tiket, lalu memasuki gerbang menuju tempat kereta berada.
Tak disangka, Hanafi menyusulnya sampai stasiun. Ayu yang sedang termenung menunggu kereta api datang, terkesiap melihat lelaki berkacamata itu mendesak petugas stasiun untuk memasuki gerbang. Melihat tingkah konyol Hanafi, Ayu acuh tak acuh. Ia merasa malu tatkala mendapati calon penumpang lain yang sama-sama sedang menunggu kereta, memusatkan pandangan ke arahnya.
"Ayu! Jangan pergi dulu, Yu. Aku bisa jelasin semuanya. Aku mohon, jangan gara-gara aku nggak punya kuota, kamu tega ninggalin aku," pinta Hanafi dengan wajah memelas.
Semua calon penumpang di sana, tertawa lepas tatkala mendengar perkataan Hanafi. Petugas yang menahannya pun sampai cekikikan mendengarnya. Ayu semakin merasa malu melihat kelakuan Hanafi. Ia memakai kembali maskernya, lalu menutup muka dengan satu tangannya. Saat kereta datang, Ayu merasa lega. Tanpa menunggu lama, ia menaiki kereta itu.
Hanafi tak mengejar Ayu. Ia hanya duduk di kursi tunggu, sambil termenung. Sesekali lelaki itu melepas kacamatanya dan menyeka tetes demi tetes air mata yang jatuh ke pipinya. Sungguh malang nasib dua lelaki yang sama-sama mengejar cinta itu. Di satu sisi, Hanafi terlambat mendapatkan Ayu karena sudah dilamar orang. Di sisi lain, Guna merasa kesal setelah gagal merebut Yunita yang sudah diperistri oleh adiknya.