Sikap barbar Ayu muncul, ketika harga dirinya dihempas telak oleh perkataan Hendra. Sekuat tenaga ia mendorong mantannya hingga tersungkur. Guna pun tercengang melihat kelakuan calon istrinya yang begitu berani.
"Sialan kamu! Punya mulut teh dijaga, ya! Jangan samain aku kayak si Cici yang ngandelin cowok-cowok berduit cuma buat naikin gengsi!" bentak Ayu bersungut-sumgut.
Hendra berusaha berdiri, kemudian menatap Ayu dengan tajam. "Oh, gitu, ya. Bukannya kamu juga mirip-mirip si Cici, macarin banyak cowok cuma buat ditraktir dan dikasih duit? Kamu itu nggak ada bedanya sama pelacur!"
Ayu menampar Hendra sekerasnya. "Diam! Kalau masih ngomong yang jelek-jelek lagi tentang aku, bakal aku potong lidah kamu! Jadi cowok kok nyinyir kayak nenek-nenek?"
Ketika Hendra hendak membalas ejekan gadis itu, Guna memanggul tubuh Ayu yang posturnya lebih mungil darinya. Ia tak mau ambil pusing dengan ikut-ikutan beradu mulut dengan mereka. Dimasukkannya Ayu ke dalam mobil, lalu mengunci pintunya. Guna menyusulnya masuk, lalu tanpa banyak bicara, ia melajukan mobilnya untuk segera meninggalkan toko emas itu.
Ayu rupanya masih berang. Api kemarahan belum berhenti membakar hatinya. Wajahnya memberengut dengan mulut mengerucut. Sesekali Guna menatap wajah Ayu, lalu terkikik-kikik. Pria itu cukup terhibur dengan paras Ayu yang lebih mirip anak SMP ketimbang remaja berusia sembilan belas tahun.
"Ngapain ketawa? Nggak ada yang lucu! Nggak ada yang lucu!" bentak Ayu sambil megap-megap, berusaha menahan luapan amarahnya.
"Kamu kalau marah lucu. Mirip Dakocan," kata Guna disusul tawa gelinya.
"Malah ngatain, ih!" Ayu memukul lengan Guna. "Kenapa Aa menghentikan perdebatan aku sama si kucing garong itu, sih? Aku belum puas berantemnya."
"Katanya kamu itu cewek cantik. Cewek cantik mah nggak pernah berantem sama cowok. Emang dia siapa, sih? Orang kayak gitu mah nggak usah diladenin."
Wajah Ayu yang semula ditekuk, berubah bingung. "Ng ... a-anu. Itu ... sebenarnya dia mantan aku. Dia pernah kepergok pacaran sama sahabat aku di pinggir kali."
"Oh, gitu. Ya udahlah, nggak usah diladenin. Kamu itu perempuan, harus bisa sabar. Nanti kalau kamu punya anak, terus kamu marah-marah melulu, nanti anaknya tenggar kalongeun loh."
"Iya, iya. Aku bakalan lebih sabar." Ayu mengembuskan napas berat.
Tak terasa waktu semakin sore. Setibanya di rumah Ayu, Guna mengantar gadis itu pada kedua orang tuanya. Pak Darman senang dan bertanya tentang perkenalannya dengan anak gadisnya. Guna hanya tersenyum dan menjawab kalau ia juga senang bisa mengenal Ayu. Tanpa berlama-lama, Guna berpamitan pada keluarga Pak Darman. Ia beralasan karena esok masih banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan menjelang hari pernikahan.
Sepeninggal Guna, Bu Nining mengajak Ayu untuk mengisi nama-nama penerima undangan di depan surat undangan yang sudah rampung. Ayu tidak keberatan, meski masih lelah setelah berdebat dengan Hendra di depan toko emas. Daftar penerima undangan disodorkan Bu Nining pada Ayu, lalu gadis itu menulis nama setiap orang di kertas-kertas label. Beberapa nama kerabat dan tetangga terdekat, ditulisnya dengan baik. Akan tetapi, sejenak ia termenung melihat nama Cici ada dalam daftar penerima tamu undangan.
"Mak, ini Cici yang mana, ya?" tanya Ayu mengerutkan dahi.
"Ya Cici teman kamu lah."
"Ngapain, sih, Emak ngundang mantan sahabat aku? Dia nggak bakalan datang karena malu udah ngerebut pacar orang." Lalu Ayu juga mendapati nama Ceu Mae juga. "Idih! Emak ngapain juga ngundang biang gosip di RT kita? Nanti dia gosipin Ayu yang enggak-enggak pas nikahan."
"Ayu, dengerin Emak. Sejahat-jahatnya mereka, kita nggak boleh berbalik jahat. Apa kamu bisa bayangkan, bagaimana reaksi Ceu Mae dan Cici kalau nggak diundang? Pasti mereka kecewa. Terutama Ceu Mae, dia bakal lebih kejam lagi memfitnah kamu. Kalau kita undang, setidaknya kita udah menghargai keberadaan mereka. Mereka akan datang atau tidak, itu terserah."
"Iya deh, Mak. Emak kalau ngomong emang suka paling bener."
***
Keesokan harinya, undangan pernikahan Ayu disebarkan oleh Mang Tatang--hansip kepercayaan Pak Darman. Semua penduduk di RT dan RW terdekat diundang. Begitu juga teman-teman dekat Ayu, meski berbeda RW. Leha tampak senang menerima undangan dari Ayu. Raut wajahnya berseri-seri, seakan ikut bahagia atas pernikahan sahabatnya. Ia juga bersyukur Ayu mendengarkan nasihatnya.
Beda lagi dengan para tetangga Ayu yang mudah terhasut oleh Ceu Mae. Acara pernikahan yang akan diselenggarakan secepatnya itu, tentu saja menimbulkan banyak kecurigaan di benak penduduk. Kebanyakan dari mereka membenarkan perkataan Mak Ijah soal kehamilan Ayu, sedangkan yang lainnya percaya bahwa Pak Darman terlilit utang sehingga mengorbankan anak gadisnya sebagai ganti pembayarannya.
Di lain tempat, Cici sedang rebahan sambil memainkan ponsel. Pada waktu senggangnya ini, biasanya ia mencurahkan semua imajinasi kotor ke dalam novel dan menerbitkannya di sebuah platform online. Karya-karyanya memang populer sekaligus mampu meraup banyak pembaca dalam satu minggu. Bukan karena rajin promosi atau tulisannya rapi sesuai PUEBI, tapi karena imajinasi kotor dan pengalaman pribadinya yang membuat karyanya menarik. Ketika sedang asyik mengetik, ia terkejut oleh suara ketukan di pintu. Adiknya yang bernama Yati, memanggilnya dari luar dan mengabarkan soal kedatangan surat undangan dari Ayu. Seketika Cici bangkit dari tempat tidurnya, lalu melangkah dan membuka pintu.
"Ada undangan dari Teh Ayu. Ini," kata Yati menyerahkan undangan pada Cici.
Diambilnya surat undangan itu dengan mengernyitkan kening, lalu membuka isinya. Dibacanya nama lengkap calon mempelai, tertulis Ayu Anggita dan Guna Wicaksana. Tanpa berterima kasih pada adiknya, Cici masuk lagi ke kamar dan menutup pintu. Ketika merebahkan diri di kasur, ia teringat pada kabar dari Leha beberapa hari lalu. Ya, Leha mengabarkan padanya bahwa Ayu akan dijodohkan dengan anak juragan ayam.
Cici sempat tertegun dengan Ayu yang setuju dengan perjodohan itu. Ia teringat pada salah satu karyanya yang berjudul 'Dipaksa Menikah dengan Cowok Ganteng'. Merasa penasaran, gadis berkulit gelap yang gemar memakai celana pendek itu melupakan rasa malunya pada Ayu. Segera ia mengirimkan pesan Whats App pada anak gadisnya Pak Darman.
Cici : "Eh, Yu. Beneran kamu setuju buat dinikahi sama orang yang nggak kamu kenal sama sekali?"
Butuh waktu cukup lama untuk Cici menunggu balasan dari Ayu, hingga sebuah nada notifikasi berbunyi di ponselnya.
Ayu : "Ya iya lah aku setuju. Kan si Hendra udah kamu rebut."
Cici : "Maaf, Yu. Bukannya aku bermaksud buat merebut. Kamu tahu, kan, Yu? Aku gonta-ganti pacar itu buat bahan bikin novel, sekaligus riset biar pembaca nggak bengong."
Ayu : "Ah, alesan aja kamu mah. Bilang aja butuh duitnya si Hendra buat beli hape baru."
Cici : "Terserah kamu deh, mau percaya atau enggak. Aku mah gini orangnya."
Ayu : "Terus kamu nge-chat aku mau apa?"
Cici : "Aku pengin tahu rasanya dijodohin kayak gitu. Soalnya aku ngebayanginnya so sweet banget, apalagi kayak tokoh utama cewek yang ada di novel buatan aku, dijodohin sama CEO ganteng."
Ayu : "Idih! So sweet dari mananya? Emangnya hidup ini seindah novel buatan kamu, apa? Mau cowoknya ganteng atau burik, yang namanya dijodohin mah tetep aja nggak enak."
Cici : "Oh, gitu, ya. Kirain kamu bahagia dijodohin kayak gitu."
Ayu : "Daripada berkhayal buat dijodohin sama cowok ganteng kayak tokoh utama cewek di novel kamu, mending aku baca novel Siti Nurbaya aja sekalian. Jujur aja, kamu gagal bikin novel perjodohan!"
Cici : "Ya maaf. Habisnya pembaca pada doyan kalau isinya romantis dan happy semua."
Ayu : "Tapi pembaca suka novel yang bikin mewek juga. Lagian, kamu mah bikin novel teh bukan banyak adegan romantisnya, tapi malah dibanyakin adegan dewasanya. Belom lagi dikasih rate 21+, padahal kamu sendiri masih sembilan belas tahun."
Cici : "Kamu mah nggak tahu. Itu trik buat narik pembaca. Seenggaknya aku dapat duit dikit-dikit buat bantu Mama nyukupin kebutuhan hidup dari nulis novel dewasa."
Ayu : "Terserah kamu itu mah. Aku paham, kamu cuma punya satu orang tua sampai-sampai harus bantuin ekonomi keluarga, walaupun dengan cara yang salah. Eh, ngomong-ngomong, nanti hari Minggu kamu mau datang ke nikahan aku nggak?"
Cici : "Ya mau dong. Biarpun sempet berantem sama kamu, aku masih ngerasa jadi sahabat kamu."
Ayu : "Syukur deh kalau gitu. Datangnya barengan sama si Leha, ya. Jangan sama si Hendra!"
Cici : "Loh, kok, gitu?"
Ayu : "Dia jadi doyan ngerusuh kalau ketemu sama aku. Males kalau debat sama dia di acara nikahan nanti"
Cici : "Oke, deh. Sesuai kemauan kamu. Aku nggak bakal ngajak si Hendra."
Ayu : "Bagus."
Cici tak membalas lagi pesan dari Ayu. Ia menghela napas berat, berusaha untuk menahan diri mengabarkan hal ini pada Hendra. Pacarnya Cici sangat tidak suka melihat Ayu bahagia. Itulah sebabnya, Hendra selalu menjelek-jelekkan Ayu di depan semua orang, terutama lelaki baru yang dikencaninya.
Sementara itu, rumah Pak Darman mulai didatangi oleh penerima undangan. Mereka memberikan amplop lebih awal karena kemungkinan tidak akan bisa datang pada hari pernikahan Ayu. Beruntung, Bu Nining sudah menyiapkan berkat untuk dibawa pulang oleh para undangan yang datang beberapa hari sebelum acara pernikahan putrinya digelar. Isinya tidak lain empat bungkus mi instan, satu teh kemasan botol, dan satu bungkus biskuit.
Ibu-ibu yang datang memberi amplop, berbincang-bincang dengan Bu Nining. Mereka memanjatkan doa, supaya kehidupan rumah tangga Ayu langgeng hingga akhir hayat. Beberapa di antaranya ikut bahagia dengan menikahnya Ayu. Namun, di tengah-tengah perbincangan mereka, ada satu wanita yang membahas tentang gosip yang beredar saat ini.
"Bu Nining, apa benar Ayu dinikahkan dengan orang kaya karena ada masalah?" tanya Teh Fani, yang pernah mendengar desas-desus dari Ceu Mae.
"Masalah? Kami nggak punya masalah apa pun, kok. Kenapa kamu bertanya begitu?" tanya Bu Nining sambil mengernyitkan kening.
"Enggak. Cuma, kami sekarang sering mendengar gosip, kalau Pak Darman sedang dililit utang. Makanya Ayu dinikahkan dengan orang kaya," jelas Mbak Yuli bantu menjawab.
Bu Nining tercengang mendengar penjelasan Mbak Yuli. "Ah, masa? Itu gosip yang tidak benar, Ibu-ibu. Nggak perlu ditanggapi."
"Oh, begitu, ya. Syukurlah." Teh Fani mengembuskan napas lega. "Kalau begitu, kami pamit. Masih banyak pekerjaan di rumah."
"Iya."
Bu Nining mengantar tamunya hingga depan pintu. Ketika hendak masuk ke ruang tamu, tidak sengaja ia mendengar gunjingan ibu-ibu yang berkunjung beberapa menit lalu itu. Mereka berbisik-bisik, bahwa Bu Nining tidak akan berkata jujur karena terlanjur malu pada masalah yang diperbuat oleh Ayu. Bahkan, salah satu dari mereka ada yang membahas kehamilan Ayu.
Mendengar hal itu, Bu Nining menghela napas berat sambil mengelus dada. Wanita itu tidak menyangka, fitnah tetangga yang ditujukan pada putrinya sangatlah kejam. Kecemasan menyeruak hatinya, hingga memaksanya untuk mendatangi kamar Ayu.
Saat membuka pintu, tampak Ayu sedang mendengarkan musik dari ponselnya dengan menggunakan earphone. Bu Nining melepaskan earphone Ayu, lalu menatap mata putrinya lekat-lekat. Kecemasan yang tergambar di wajah Bu Nining tak bisa disembunyikan lagi, hingga Ayu bertanya-tanya akan sesuatu yang dipikirkan ibunya.
"Ada apa, Mak?"
Bu Nining termenung sejenak. Di tengah keresahannya, ia teringat pada ucapan Guna. "Neng, Emak baru ingat, kemarin pas kamu sedang ganti baju di kamar, Guna mengatakan akan membawamu ke Tasik setelah menikah nanti. Kamu mau, kan?"
Ayu terkesiap, lalu menatap ibunya dengan mata membelalak. "Apa, Mak? Kenapa Emak baru bilang sekarang? Tahu begini, aku nggak bakal mau dinikahi sama orang itu."
"Neng, takdir setiap perempuan memang begitu, harus mau ikut tinggal bersama suaminya. Guna sudah punya rumah sendiri di sana, setidaknya kamu bisa tenang tinggal bersama suamimu."
"Tapi aku belum siap meninggalkan Bapak dan Emak. Kalau aku pergi, nanti Bapak sama Emak gimana?"
"Kami nggak apa-apa kok ditinggalkan sama kamu. Justru kami senang, sudah ada lelaki yang mau bertanggung jawab atas dirimu."
"Aku tetap nggak mau, Mak. Aku pengin tetap tinggal di sini."
Bu Nining mendesah, lalu memegang kedua tangan putrinya. "Neng, kalau kamu tetap tinggal di sini, apa kamu kuat digunjingkan terus oleh tetangga? Emak sendiri nggak sanggup mendengarkan gosip buruk tentangmu dari mulut mereka. Kalau kamu pergi ke Tasik dan tinggal bersama Guna, setidaknya beban di pundak kedua orang tuamu ini berkurang. Kamu juga akan merasa tenang."
Kedua mata Ayu berkaca-kaca. Kebingungan mulai mengendap di hatinya.