Kumpulan model surat undangan terserak di meja ruang tamu. Bu Nining sedang sibuk memilih desain undangan yang akan disebarkan. Bersama pembuat surat undangan yang bernama Teh Nita, ia beradu pendapat tentang desain yang akan dipakai.
Di tengah kesibukan mereka memilih desain surat undangan, Ayu datang dengan wajah cemberut. Jelas Bu Nining heran dengan sikap putrinya. Setahu wanita itu, anak gadisnya akan refreshing bertemu Renti. Namun, melihat gelagat Ayu yang dongkol, Bu Nining pun tidak tahan untuk bertanya.
"Eh, Neng. Pulang-pulang kok cemberut begitu? Kenapa? Bukannya kamu habis refreshing sama si Renti?"
"Lagi sebel, Mak. Si Renti nggak nepatin janji buat ketemuan," dalihnya berusaha menutupi pertemuannya dengan Hanafi.
"Oh, kalau gitu, sini gabung sama kami! Biar sebel kamu hilang, mending bantuin pilih-pilih desain undangan buat pernikahan kamu," ujar Bu Nining.
"Males ah, Mak. Terserah Emak aja." Sejenak Ayu melihat desain undangan bergambar kartun kesayangannya, lalu menunjuknya. "Nah, Mak. Yang gambar Doraemon lucu juga tuh. Pakai yang itu aja."
Bu Nining mengernyitkan kening ketika melihat surat undangan yang ditunjuk Ayu. "Kamu ini kayak bocah aja. Kita ini lagi milih surat undangan buat pernikahan, bukan buat ulang tahun."
"Emak ini, katanya minta bantuin milih surat undangan, tapi malah ngeyel. Pokoknya aku lebih suka yang gambarnya Doraemon. Titik! Kalau enggak, aku nggak jadi nikah."
"Kamu ngancam Emak, ya?" Bu Nining mulai berang.
"Sudahlah, Bu. Nggak apa-apa kalau si Eneng lebih suka yang ini, nanti saya buatkan," bujuk pembuat surat undangan, menyela.
"Tapi ini bukan buat bercandaan, Teh," kata Bu Nining.
"Aku juga nggak bercanda. Pokoknya yang Doraemon aja."
Melihat reaksi Ayu yang semakin rewel, Bu Nining jadi malas berdebat. Ia menyuruh Teh Nita untuk mencetak undangan pilihan anak gadisnya. Tak lupa, Bu Nining menuliskan nama lengkap Ayu dan Guna, serta waktu dan lokasi pernikahan. Surat undangan akan selesai dicetak dalam tiga hari. Jumlah yang dibutuhkan pun tidak banyak, hanya lima ratus undangan saja.
Sementara itu, Ayu memasuki kamar dan melepas kerudungnya. Rasa penat menyeruak hingga ubun-ubunnya. Ketika hendak berbaring di kasur, nada notifikasi dari ponselnya terus berbunyi. Saat menyalakan layar ponsel, tampak pesan masuk dari Hanafi. Tentu saja Ayu yang masih bad mood itu melempar ponselnya ke kasur, lalu merebahkan diri. Setelah itu, rasa kantuk pun menyerang hingga Ayu terlelap dalam tidurnya.
***
Pembuatan NA sudah selesai, Guna siap menyerahkannya pada keluarga Pak Darman. Sesuai janjinya, seminggu setelah lamaran, ia akan datang kembali ke Cimahi sekalian mengajak Ayu belanja untuk membeli barang seserahan. Satu hari sebelum kepergiannya ke rumah Pak Darman, ia mengabarkan akan datang ke sana.
Kurang lebih tiga jam perjalanan yang harus ditempuh Guna dari Tasikmalaya ke Cimahi. Selama dalam perjalanan, ia berusaha menepis bayang-bayang Yunita. Namun, tetap saja pria itu sulit menyingkirkan rasa cintanya pada sang mantan, meski tinggal menghitung hari tanggal pernikahannya.
Sesampainya di rumah Pak Darman, Guna disambut dengan baik oleh Bu Nining. Sambutan ramah wanita itu membuatnya tenang, terlebih saat melihat senyum di wajah Pak Darman. Untuk sejenak bayang-bayang Yunita lenyap dari pelupuk matanya. Namun, ketika seorang gadis berhijab yang akan dinikahinya membawa tiga cangkir teh di atas nampan, Guna jadi sedikit gusar.
"Diminum teh-nya," ujar Pak Darman.
Guna terhenyak, lalu membalas ujaran Pak Darman dengan senyum simpul dan satu anggukan. Tak mau berbasa-basi, ia membuka tasnya dan mengambil persyaratan untuk pernikahan.
"Ini NA-nya, Pak." Guna menyerahkan berkas pada Pak Darman. "Oh, ya, ngomong-ngomong, penghulunya sudah ada?"
"Sudah. Satu hari setelah Nak Guna datang melamar, saya langsung ngobrol sama penghulu. Beliau setuju, minggu depan akan menikahkan kalian."
"Syukurlah kalau begitu." Pandangan Guna beralih pada Bu Nining. Kembali ia merogoh tasnya, lalu menyerahkan amplop cokelat berisi uang lima puluh juta pada ibunya Ayu. "Ini untuk biaya pernikahan. Tolong Ibu atur sebaik mungkin, ya."
Dengan canggung, Bu Nining menerima amplop itu. "Terima kasih, Nak. Saya harap uang ini dapat memenuhi semua kebutuhan pernikahan."
"Semoga saja, Bu. Jika Ibu merasa kekurangan soal biaya, hubungi saja saya."
"Ah, Nak Guna ini. Tak usah repot-repot. Kami malu jika terus menerus membebani Nak Guna," kata Bu Nining sambil menyengir.
"Tak apa-apa, Bu. Saya, kan, calon menantu kalian. Anggap saja saya anak kalian sendiri."
Ucapan manis Guna membuat kedua orang tua Ayu terkesima. Mereka merasa senang melihat calon menantunya yang santun dan tak perhitungan. Rasa syukur teramat banyak dilimpahkan oleh Pak Darman. Tak salah ia menjodohkan Ayu dengan seorang lelaki yang menurutnya siap menafkahi lahir batin.
Berbeda dengan Ayu yang masih sebal oleh kehadiran Guna. Di balik senyumnya, ia menyimpan rasa frustrasi akan pernikahannya. Kebahagiaan yang meliputi hati calon pengantin, tak dapat dirasakannya sama sekali. Tatapannya kosong, seakan berada di alam mimpi yang tak akan pernah berujung.
"Pak, Bu. Jika tidak keberatan, bolehkah saya mengajak Ayu berbelanja sebentar. Saya ingin, Ayu memilih barang-barang kesukaannya untuk dijadikan seserahan nanti," pinta Guna pada kedua orang tua Ayu.
"Tentu saja, Nak Guna. Bapak senang sekali jika kalian punya waktu berdua buat saling mengenal," kata Pak Darman antusias.
Guna hanya mengangguk dan tersenyum.
"Tapi jaga anak Ibu baik-baik. Jangan sampai dia kenapa-kenapa, ya," timpal Bu Nining memperingatkan.
"Tentu saja, Bu." Guna melirik Ayu yang sejak tadi betah dengan senyum palsunya. "Mari, Ayu! Kita pergi sekarang."
"Sebentar, ya. Aku mau ganti baju dulu." Ayu bangkit dari kursi, lalu bergegas menuju kamarnya. Sementara Guna masih asyik bercakap-cakap dengan kedua calon mertuanya.
Setibanya di kamar, Ayu termangu di depan cermin. Pergi bersama pria yang sebelas tahun lebih tua, membuatnya sedikit minder. Dipilihnya satu per satu baju di lemarinya. Tak ada satu pun pakaian yang mendukungnya untuk mengimbangi penampilan dan usia Guna. Namun, dari sekian banyak baju yang dimilikinya, ada satu pakaian blus tunik monokrom.
"Sepertinya ini cocok," gumam Ayu mengambil baju itu, lalu memakainya. Penampilan adalah segalanya bagi gadis bermata lebar itu. Kendati tak menyukai Guna, ia tetap ingin tampil menawan layaknya selebgram di hadapan publik. Jika konten Instagram-nya mampu menarik perhatian pengikut, maka penampilan di hadapan publik pun seharusnya tak kalah bagus.
Dengan percaya diri, Ayu keluar kamar menuju ruang tamu. Kedua orang tuanya tersenyum lebar tatkala memandang putrinya dapat memantaskan diri dengan penampilan Guna. Sedangkan Guna tampak acuh tak acuh pada Ayu.
"Kita pergi sekarang?" tanya Ayu pada Guna.
"Ayo."
Sembari berpamitan, Ayu mencium tangan kedua orang tuanya. Setelah memakai sepatu selop hitam, ia dan Guna pergi menuju mobil yang terparkir di depan halaman Pak Haji Rusdi.
Dengan tergesa-gesa, Ayu dan Guna melewati gang. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka, dapat mengenali Ayu. Tak sedikit di antara mereka yang menyapa. Ayu pun berusaha untuk bersikap sopan dan ramah, meski sesekali terdengar gunjingan dari tetangga yang munafik itu. Setelah tiba di depan halaman rumah Pak Haji Rusdi, sandiwara mereka pun berakhir.
"Kita mau pergi ke mana?" tanya Ayu.
"Ke tempat yang kamu tahu. Cepat masuk ke mobil! Aku cuma punya waktu sehari saja buat beginian."
"Sama cewek kok kasar," umpat Ayu sembari mendelik ke arah Guna.
"Kamu bilang apa?"
"Ada kecoak terbang," ucap Ayu dengan ketus, memasuki mobil Guna.
Guna duduk di sebelah Ayu, lalu menyetir mobilnya. Tak lupa, ia juga mengingatkan calon istrinya itu untuk menggunakan sabuk pengaman. Ketika mobil sudah melaju jauh, mereka saling diam. Ayu yang mulai jenuh dan bosan, tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Sikapnya yang apa adanya dan tak suka mendramatisir keadaan pun mulai muncul. Gadis itu melirik Guna dengan sinis.
"Kita ke Bandung aja, di sana banyak tempat belanja."
"Iya."
"Dih, singkat gitu ngejawabnya."
"Habis mau ngobrol apaan sama bocah kayak kamu?"
"Bocah? Om sebut aku bocah?! Aku ini udah gede, Om. Om aja yang ketuaan!"
"Sembarangan kamu nyebut aku 'Om'! Panggil 'Aa' aja."
"Idih, udah kepala tiga masih pengin dipanggil 'Aa' sama abege. Nggak cocok ah."
"Kamu ini ngeyel melulu! Aku pengin kamu manggil 'Aa' supaya gampang akrab gitu."
"Ya udah, deh. Susah debat sama orang tua mah. Bukannya nyadar umur, malah lebih gila dari yang muda."
Guna tak menghiraukan perkataan Ayu, dan kembali fokus ke jalan raya.
"Ngomong-ngomong, kenapa, sih, Aa pengin nikahin aku cepat-cepat? Kayak bus antarkota aja. Patas."
"Umur segini emang udah pantas nikah, bukan waktunya buat main-main."
"Kalau gitu, kenapa nggak nyari yang seumuran aja? Seenggaknya Aa bisa milih sendiri, bahagia sama orang yang dicintai. Bukan mau aja dijodohin sama cewek cantik yang Aa anggap masih bocah. Emangnya Aa nggak punya cewek yang disukai?"
Kuping Guna terasa panas mendengar ocehan Ayu. Suaranya yang lumayan cempreng membuat Guna geli mendengarnya. Belum lagi pertanyaan terakhir dari Ayu. Tentu saja ia enggan berbicara jujur tentang hal itu, terlebih jika Ayu mengetahui bahwa dirinya mencintai istri dari adiknya.
Tak ada sepatah kata keluar dari mulut Guna setelah Ayu banyak bertanya. Pria itu sudah kadung kesal terhadap sikap dan ucapan calon istrinya. Setibanya di salah satu mal, mereka berhenti. Segera Guna parkirkan mobilnya, lalu mengikuti Ayu yang sudah berjalan mendahuluinya. Suasana mal yang ramai membuat Guna ingin cepat pulang. Namun, membeli seserahan yang sesuai dengan keinginan Ayu merupakan hal wajib untuk diberikan di hari pernikahan nanti.
Satu per satu toko mereka kunjungi. Setiap pelayan yang berada di sana menyapa Guna dengan sebutan Pak dan menganggap Ayu sebagai keponakan dari pria itu. Kendati demikian, Guna malas membela harga dirinya, mengingat keberadaannya di sana hanya sebentar. Beberapa setel baju sudah dikantongi, begitu juga seperangkat alat salat yang wajib didapatkan. Tas yang dipilih Ayu pun sangat bagus dan mahal. Tak lupa, peralatan make-up dibeli Ayu sebagai penunjang penampilannya setelah menikah nanti. Untuk saat ini, Guna tak perhitungan dengan uang yang dikeluarkannya. Yang terpenting, sebagai formalitas mendapatkan warisan dari Pak Yayan, ia harus tetap berusaha dan bersabar menghadapi pernikahan ini hingga waktunya tiba.
Setelah selesai membeli banyak pakaian, selanjutnya mereka pergi ke toko emas. Berbagai perhiasan cantik membuat mata Ayu berbinar-binar. Ia membeli gelang yang terbuat dari emas putih, dihiasi dengan beberapa berlian. Dua pasang cincin pun dipilihnya, lalu mencocokkan ukuran jari manisnya dengan salah satu cincin itu. Guna setuju, kemudian membayar gelang dan cincin yang dipilih Ayu.
Urusan beli membeli barang seserahan sudah rampung. Mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman toko emas. Ketika hendak memasuki mobil, tak disangka, Hendra menghampiri mereka.
"Hai, Ayu!" sapa Hendra mengagetkan gadis berkulit sawo matang itu.
Seketika kedua mata Ayu membelalak mendapati mantan kekasihnya berdiri di hadapannya. "Lagi apa kamu di sini?"
"Aku lagi jalan-jalan, mau beliin kalung buat Cici," jelasnya, lalu melirik sebentar pada Guna dan menyeringai. "Tumben jalan sama om-om. Dia Sugar Daddy-nya kamu, ya?"
Ayu naik pitam, wajahnya memerah menahan amarah yang bergejolak.