Chereads / Demi Reputasi / Chapter 6 - Pertemuan Dua Keluarga

Chapter 6 - Pertemuan Dua Keluarga

"Baiklah, Bapak setuju dengan kesepakatanmu," kata Pak Yayan menatap Guna.

Bu Lilis, Sagara, dan Yunita terperangah mendengar ucapan Pak Yayan sore itu. Rumah besar bak istana mendadak berubah menjadi neraka, tatkala sang kepala keluarga memutuskan untuk menyepakati perjanjian dengan Guna. Tak hanya aset peternakan saja yang Guna inginkan, rumah mewah ayahnya pun menjadi incarannya.

Namun, Pak Yayan tak mau buru-buru mengubah nama pewaris di surat wasiatnya. Ia sudah mengatakan berkali-kali pada Guna, jika gadis itu sesuai dengan ekspektasinya, maka putra sulungnya hanya berhak mendapatkan lima puluh persen dari aset peternakan ayam. Tentu saja Guna setuju, ia tak mau rugi. Bagaimanapun juga, Pak Yayan merupakan ayah yang adil dan bijaksana. Guna tetaplah putranya, yang berhak menerima warisan walaupun sedikit.

Bu Lilis mengelus dada melihat kelakuan Guna. Wanita paruh baya itu sampai pingsan akibat tak kuat mendengar kesepakatan yang dibuat putranya. Secepatnya Sagara membopong ibunya ke kamar, lalu membaringkannya di kasur. Yunita menyusul suami dan ibu mertuanya, khawatir jika sampai penyakit asma Bu Lilis kambuh.

"Kamu lihat itu? Ibumu sampai pingsan melihat keserakahanmu," bentak Pak Yayan kesal.

"Aku tidak peduli, Pak. Pokoknya aku tidak mau rugi." Guna bergegas ke luar rumah. Sebenarnya ia merasa sedih melihat Bu Lilis pingsan, tapi dendamnya pada Sagara lebih besar daripada kasih sayangnya pada sang ibu.

"Kamu mau ke mana?" tanya Pak Yayan berteriak.

Guna berbalik badan, memandang Pak Yayan dari dekat pintu. "Aku akan membeli banyak seserahan. Bukankah tujuan kita ke Cimahi itu untuk melamar anak Pak Darman?"

"Tapi, Guna ... bagaimana kalau anak Pak Darman ...."

"Suka atau tidak, aku akan tetap melamarnya."

Dengan langkah cepat, Guna meninggalkan rumah ayahnya. Tanpa memedulikan ibunya yang masih terkulai lemas, ia berjalan menuju tempat mobilnya parkir. Baginya, perjodohan ini tidak lebih dari urusan bisnis. Tiada cinta di dalamnya, hanya kesepakatan yang menguntungkannya saja.

Sementara itu, setelah satu jam berlalu, kondisi Bu Lilis mulai membaik. Pikirannya kali ini hanya tertuju pada Guna. Pak Yayan yang sejak tadi menungguinya, membujuk sang istri untuk tenang sejenak tanpa perlu memikirkan Guna. Kendati demikian, sebagai seorang ibu, Bu Lilis tetap khawatir jika keinginan Guna justru merusak persaudaraannya dengan Sagara kelak.

"Tak usah banyak pikiran, Bu. Sagara tidak masalah, kok, jika peternakan ayam Bapak diserahkan seluruhnya pada Aa," kata Sagara berusaha menenangkan Bu Lilis.

"T-tidak, Sagara. Bagaimanapun juga kamu berhak mendapatkan sebagian dari peternakan itu. Rumah ini juga seharusnya menjadi hak kamu, mengingat A Guna sudah punya rumah di daerah Rajapolah," ucap Bu Lilis dengan mata berkaca-kaca.

"Bu, rezeki orang tidak akan tertukar. Jika rumah dan peternakan ayam sudah ditakdirkan untuk dimiliki Aa, aku hanya bisa ikhlas," jelas Sagara mengelus punggung ibunya.

Menyadari konflik yang terjadi antara Guna dan keluarganya, Yunita merasa bersalah. Ia melangkah mendekati ibu mertuanya, lalu bersimpuh di bawah kakinya.

"Maafkan aku, Bu. Semua ini salahku. Jika saja dulu aku tidak egois dan memilih Sagara, mungkin persaudaraan antara kedua anakmu akan baik-baik saja," kata Yunita dengan sesenggukkan.

"Tidak, Yunita. Untuk apa kamu meminta maaf? Semuanya sudah berlalu. Jika mungkin hal buruk menimpa kita, biarlah. Mungkin ini cara Allah menguji keluarga kita," bujuk Pak Yayan, membantu Yunita untuk berdiri.

"Berdoa saja, semoga perjodohan Guna dan anaknya Pak Darman dapat membawa perubahan yang lebih baik pada Guna," timpal Bu Lilis.

***

Hari yang dinanti oleh Pak Darman telah tiba. Wajahnya berseri-seri bagaikan mentari yang terbit di musim semi. Dengan cekatan Pak Darman membereskan rumah, hingga terlihat rapi dan bersih. Pun dengan Bu Nining, yang sibuk memasak makanan untuk menjamu para tamu. Mereka tampak begitu bersemangat akan menyambut tamu istimewa.

Berbanding terbalik dengan Ayu. Betapa kecewanya ia tak menemukan satu pun lelaki yang mau meminangnya cepat-cepat, meski sudah mengirim pesan pada semua mantan dan calon pacarnya. Beberapa di antaranya sudah punya pacar, sedangkan yang lainnya berada di luar kota dan akan segera menikah. Menyadari ada yang aneh pada kehidupannya akhir-akhir ini, gadis itu mendadak teringat pada sumpah serapah Ceu Mae tentang jomlo tujuh turunan. Namun, setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika Ceu Mae memberinya masalah, maka Pak Darman secara tidak langsung telah menemukan solusi untuk Ayu. Mengapa tidak? Perjodohan itu seketika membuat sumpah Ceu Mae tidak bekerja sama sekali.

Waktu bergulir begitu cepat, hingga tak terasa telah menunjukkan pukul sembilan. Pak Darman dan Bu Nining sudah berpakaian rapi saat ini. Akan tetapi, ada yang berbeda dari Pak Darman. Ia tidak memakai parfum favoritnya karena Bu Nining melarang.

Lain lagi dengan Ayu yang sangat tidak menginginkan perjodohan itu. Entah sejak kapan aktivitasnya dilakukan begitu lambat, bahkan siput pun dibuat minder olehnya. Satu jam dihabiskannya di kamar mandi, sisanya digunakan sebagai waktu untuk berdandan. Sebisa mungkin, Ayu berusaha membuat penampilannya norak. Tak lupa, ia juga mengoleskan parfum sang ayah sebanyak mungkin ke badan dan bajunya. Berharap anak juragan ayam tidak tertarik padanya sama sekali dan membatalkan perjodohannya.

Sebuah panggilan masuk muncul di ponsel Pak Darman. Dengan semringah, ia mengangkat telepon dari Pak Yayan. Rupanya Pak Yayan dapat membaca lokasi yang dikirimkan Pak Darman melalui Whats App. Mengetahui mobil Pak Yayan ad di depan gang, maka Pak Darman bergegas menjemput sahabat lamanya itu.

Kabar kedatangan keluarga juragan ayam membuat Ayu semakin gemetar. Tangan dan kakinya terasa dingin, bahkan sedingin es. Untuk mengatasi rasa gugupnya, ia menelepon Leha. Setelah menunggu beberapa menit, telepon pun diangkat.

"Assalamualaikum, Ukhti," kata Leha dari seberang telepon.

"Waalaikum salam, Leha," jawab Ayu dengan napas memburu.

"Ada apa, Ukhti? Kok kamu kayak yang ketakutan gitu?"

"Anak juragan ayam itu, Ha. Dia datang sama keluarganya sekarang."

"Wah, syukurlah! Itu berarti kamu memang sudah ditakdirkan berjodoh dengan dia."

"Berjodoh apaan? Aku nggak mau dijodohin, Leha. Please, bantuin aku!"

"Ya udah, aku bantu pakai doa aja, ya."

Di tengah percakapannya dengan Leha, terdengar suara tawa Pak Darman dan Pak Yayan. Ayu semakin ketakutan dan enggan keluar kamar. Tak lama kemudian, Bu Nining mengetuk pintu kamar anak gadisnya. Ayu yang tidak menyahut dari dalam, membuat Bu Nining khawatir. Segera wanita itu membuka pintu yang kebetulan tidak dikunci oleh Ayu.

"Astagfirullah, Neng!" seru Bu Nining dengan mata membelalak sambil membekap hidungnya. Betapa terkejutnya wanita itu saat mendapati putrinya memakai kaus lusuh dan celana jeans belel. Rambutnya yang dikuncir dua serta dandannya yang mirip badut, membuat Bu Nining tidak tahan.

"Ada apa, Mak?" tanya Ayu terkesiap, lalu mengakhiri teleponnya pada Leha.

"Kamu ini mau nyambut tamu, tapi penampilannya kayak Neneng PA. Cepat ganti bajumu sekarang dan hapus dandanan norakmu itu! Ganti parfumnya juga. Kamu pakai parfumnya Bapak, ya?"

Ayu menyengir.

"Pantesan bau mayat." Bu Nining mendelik, lalu membuka lemari dan mengambil gaun merah muda panjang milik Ayu yang biasa dipakai ke kondangan. "Pakai baju ini!"

"Nggak mau, Mak!" Ayu melipat kedua tangan sambil mencebikkan bibir.

"Jangan melawan, kamu! Mau mempermalukan keluarga kita kayak gimana lagi? Kelakuan kamu aja udah jadi beban, masa sekarang mau malu-maluin Emak sama Bapak di depan juragan ayam?"

"Iya deh, iya." Ayu mengambil baju yang dipegang ibunya. "Emak ke luar dulu. Aku mau ganti baju sekarang."

"Emak tungguin lima menit!"

Ayu menuruti perkataan ibunya. Segera ia mengganti baju, membersihkan dandanannya, lalu memakai kerudung berwarna senada dengan gaunnya. Wajahnya yang semula tidak keruan, kini terlihat lebih cantik alami. Namun, hati Ayu masih saja menolak untuk keluar kamar dengan penampilan seperti itu. Maka, ia pun memasang wajah cemberut saat membuka pintu kamar.

"Kenapa muka kamu ditekuk begitu?"

"Kesel, Mak. Hari ini Emak kayak Bapak aja, jadi diktator dadakan."

"Nggak usah ngatain Emak, ya. Sekarang kamu harus senyum, biar tamu pada senang."

Ayu tersenyum hambar, seperti terpaksa. Bu Nining yang tidak puas melihat ekspresi wajah putrinya itu, langsung mendelik. Ayu pun berusaha tersenyum setulus mungkin layaknya resepsionis hotel bintang lima, setelah menyadari ketidaksukaan ibunya.

Keluarga Pak Yayan sudah cukup lama menunggu kehadiran Ayu dan Bu Nining. Kue di dalam toples pun hampir habis setengahnya. Namun, kejenuhan mereka pun berakhir tatkala melihat putri dan istri Pak Darman muncul dari ruangan keluarga. Dengan semringah, Pak Yayan dan Bu Lilis menatap Ayu yang berpenampilan lebih santun.

"Oh, jadi ini anakmu, Man. Cantik sekali," puji Pak Yayan.

"Maklum, dia mirip ibunya, Yan," jawab Pak Darman tersipu-sipu.

Sementara itu, Guna yang sejak tadi membalas pesan dari rekan-rekan bisnisnya, menyimpan ponsel di saku celananya. Ketika memerhatikan putri Pak Darman dari ujung kaki sampai kepala, ia mendadak syok akan dijodohkan dengan seorang bocah. Guna menyenggol pinggang Pak Yayan, hingga ayahnya itu menoleh.

"Itu anaknya Pak Darman?" bisik Guna pada Pak Yayan.

"Iya, itu anaknya, yang mau dijodohkan sama kamu," jelas Pak Yayan.

"Bapak nggak salah, mau menjodohkanku dengan anak sekolahan? Mukanya kayak bocah SMP."

Sedangkan di sisi lain, Ayu tertegun melihat Guna memakai setelan celana katun berwarna hitam dan kemeja biru tua berlengan panjang, yang dilipat sampai sikut. Garis wajah putra sulung Pak Yayan yang terlihat tegas dengan hidung mancungnya, membuat jantung gadis itu semakin berdebar. Tatapannya yang tajam membuat Ayu terpaku sejenak. Saat duduk berhadapan dengan keluarga Pak Yayan, Ayu menepuk bahu ayahnya.

"Bapak! Yang benar saja aku dijodohkan dengan om-om?"