Sudah hampir tiga jam Ayu tidak keluar kamar. Mendengar persetujuan dua keluarga tentang pernikahannya yang akan digelar dua minggu lagi, membuat gadis itu semakin terpuruk. Sekarang ia sudah resmi terikat dengan Guna. Pasti akan digunjingkan lebih buruk oleh tetangga jika sampai ketahuan berkencan dengan laki-laki lain, pikirnya. Kini, Ayu memutuskan untuk tidak keluar rumah sampai hari pernikahannya tiba. Setidaknya, ia bisa tenang menghindari gosip tentangnya dan tak bertemu dengan Ceu Mae.
Setelah sekian lama termenung, terdengar bunyi nada notifikasi dari ponselnya. Ayu malas membukanya, jika itu pesan dari lelaki buaya yang besar omongannya. Namun, bagaimanapun juga ia penasaran dengan isi dari pesan itu. Diambilnya ponsel yang tergeletak di kasur, lalu membuka pesan Whats App. Rupanya dari Hanafi, anak bungsu dari Pak Haji Rusdi sekaligus keponakannya Ustadz Udin. Ayu tampak senang menerima pesan dari sahabat lamanya itu.
Hanafi : "Yu, apa benar kamu sudah dilamar oleh seorang lelaki?"
Ayu : "Iya, Hanafi. Kamu tahu dari mana?"
Hanafi : "Aku tahu dari Leha."
Ayu : "Oh."
Hanafi : "Selamat, ya. Akhirnya ada juga laki-laki yang mau serius sama kamu. Kamu jadi nggak usah cari-cari pacar lagi yang sesuai sama kriteria kamu."
Ayu : "Iya, makasih."
Hanafi : "Oh, ya. Kamu ada waktu luang nggak? Aku pengin ketemu. Udah lama kita nggak tatap muka kayak dulu."
Ayu : "Hm, gimana, ya? Bukannya nggak mau, tapi tetangga pada ngomongin aku, Fi."
Hanafi : "Sejak kapan kamu jadi peduli sama omongan tetangga? Bukannya kamu bilang, biarin aja mereka ngomong macem-macem?"
Ayu : "Itu dulu, sekarang keadaannya beda lagi, Fi."
Hanafi : "Ah, iya juga. Aku juga denger dari Leha kalau kamu digosipin yang bukan-bukan. Kata tetangganya, kamu rela dimadu karena udah hamil duluan sama orang kaya."
Ayu : "Astagfirullah! Jahat banget mulut mereka. Tuh, kan, aku nggak ngapa-ngapain aja udah diomongin."
Hanafi : "Mau gimana lagi, Yu? Masyarakat kita memang begitu kalau lihat perempuan sering gonta-ganti pacar, apalagi sampai hamil di luar nikah. Itu sanksi sosial yang harus diterima perempuan."
Ayu : "Kalau begitu, sebaiknya kamu jangan temui aku. Nanti tetangga akan lebih sering memfitnah aku."
Hanafi : "Tapi, Yu. Aku pengin ketemu sama kamu. Gimana kalau kita ketemuannya di tempat yang jauh dari rumah kamu? Mungkin orang-orang nggak bakalan tahu kalau kita ngobrol di luaran."
Ayu berpikir sejenak. Mungkin ada benarnya juga saran Hanafi. Jika pergi ke luar dengan alasan membeli sesuatu atau apa pun, mungkin kedua orang tuanya akan percaya bahwa ia tidak akan bertemu dengan seorang lelaki. Secepatnya Ayu membalas pesan Hanafi.
Ayu : "Baiklah, kita ketemuan di mana?"
Hanafi memberikan pesan, bahwa ia akan bertemu dengan Ayu di alun-alun Bandung besok siang. Tentu saja itu tempat yang sangat jauh dari lingkungan keluarga Pak Darman. Ayu pun setuju dan berencana akan berangkat agak siang dari Stasiun Cimindi.
Beberapa kilometer dari kediaman Ayu, di rumah Pak Yayan, Guna mulai menanyakan kesepakatan tentang warisan lagi pada ayahnya. Tentu saja perbuatannya itu membuat Bu Lilis geram saat tiba di rumah. Pun dengan Sagara dan Yunita, yang tak habis pikir melihat kelakuan kakaknya.
Sagara tak tahan lagi, ia menghampiri kakaknya, lalu menuntunnya ke luar rumah. Guna yang kesal, melepaskan genggaman tangan adiknya dengan kasar.
"Apa-apaan, sih, kamu? Kamu itu nggak perlu ikut campur soal kesepakatanku dengan Bapak!" bentak Guna, memelototi adiknya.
"Aa, aku tahu Aa sudah tidak sabar lagi agar Bapak segera mengubah nama pewaris di surat wasiatnya. Tapi lihatlah situasinya, A. Mereka masih capek karena baru pulang dari Cimahi, terus Aa malah tanya-tanya soal warisan. Apa Aa tega kalau sampai penyakit asma Ibu kambuh?"
"Aku nggak peduli. Pokoknya, aku harus dapat kepastian sekarang juga."
"Kenapa harus buru-buru, A? Bukankah akan lebih baik jika Aa memikirkan pernikahan dulu ketimbang warisan? Bapak dan Ibu masih ada, A."
"Oh, jadi kamu pengin mengulur-ulur waktu supaya warisan itu tetap jatuh ke tanganmu, begitu? Licik sekali kamu!"
"Enggak, A. Aku ikhlas kalau Aa mau ambil semua warisan Bapak, tapi aku mohon, tolong jangan mendesak kedua orang tua kita untuk memenuhi keinginan Aa."
Saking marahnya, Guna berteriak sekencang-kencangnya, lalu bergegas masuk ke mobil. Dibantingnya pintu mobil, hingga melajukannya secepat mungkin meninggalkan kediaman Pak Yayan. Ia tidak suka, jika adiknya ikhlas menerima penderitaan yang telah diberikan olehnya. Dendam yang membakar hati Guna tidak akan pernah padam, sebelum Sagara benar-benar menderita dan ditinggalkan oleh Yunita.
Mengetahui amarah Guna yang meledak-ledak, Yunita serasa tidak tega melihat kesedihan di wajah mertua dan suaminya. Secepatnya wanita berhijab itu menghampiri Sagara yang masih berdiri kaku di depan gerbang, memandang kosong kepergian kakaknya.
"Aa, Aa!" ujar Yunita memegang tangan Sagara.
"Ada apa?"
"Apa aku boleh minta izin?"
"Izin apa?"
"Menemui kakakmu. Guna."
Terkejut Sagara mendengar ucapan istrinya. Dengan menatap tajam, ia berkata, "Untuk apa menemui A Guna? Apa kamu tidak lihat dia marah-marah begitu?"
"Aku nggak bisa diam saja, A. Kekacauan ini terjadi gara-gara aku. Bagaimanapun juga, permasalahan ini harus diselesaikan, jangan dibiarkan sampai berlarut-larut. Apa Aa tidak lihat keadaan Bapak dan Ibu akhir-akhir ini? Sejak kita menikah, mereka terlihat sedih karena A Guna jarang pulang. Jangankan tiap bulan, setahun sekali pun tak pernah."
"Lantas, kamu mau bicara apa sama A Guna?"
"Antarkan saja aku pada A Guna. Nanti aku akan bicara baik-baik padanya soal ini."
"Tapi bagaimana kalau nanti dia menyakitimu?"
"A Guna tidak mungkin berbuat begitu padaku. Percayalah."
"Tidak, tidak! Kamu tidak boleh menemui A Guna sekarang."
"Tapi, kenapa, A?"
"Ini tidak ada kaitannya denganmu. Kamu tidak perlu ikut campur. Aku dan Bapak pasti mampu menyelesaikan masalah ini." Sagara menepuk pundak Yunita, yang termangu menatap suaminya.
"Apa Aa yakin?"
Sagara mengangguk pasti, lalu mengajak istrinya masuk ke rumah. Kendati demikian, Yunita masih belum puas jika tak bertemu Guna. Masih ada hal yang mengganjal hatinya, hingga otaknya berpikir keras dan kebimbangan pun muncul.
***
Hari telah berganti, mentari kian meninggi. Ayu yang sudah bersiap dari pagi, kembali memutar otak agar kepergiannya ke alun-alun Bandung tidak diketahui tetangga. Ia pun mengubah penampilannya menjadi berbeda dari biasanya. Dipakainya rok plisket berwarna hitam, dengan setelan kaus biru berlengan panjang. Selanjutnya, ia padu-padankan dengan kerudung berwarna hitam. Tak lupa, masker bercorak kartun siap menutup sebagian wajahnya. Setelah semuanya siap, Ayu bergegas mengambil sepatu dan memakainya di teras.
Mengetahui putrinya yang hendak bepergian, Bu Nining segera menghampirinya. Dengan melipat kedua tangan, wanita itu mulai bertanya. "Mau ke mana, Neng? Tumben jam sembilan udah sibuk."
"Mau ketemu temen, Mak."
"Temen atau calon pacar?"
"Ya Allah, Mak. Temen doang. Emak kan tahu, kalau aku udah dilamar orang. Masa mau ketemuan sama cowok?"
"Ya, siapa tahu aja, kan, kamu masih kepincut sama cowok lain. Kurang bening apanya coba, anak Pak Yayan itu? Keterlaluan aja kalau sampai kamu nyari cowok lain."
"Idih, Emak mah nggak percayaan gitu sama anak. Kalau kemaren nggak percaya sama aku, ngapain bujuk-bujuk buat setuju nerima lamaran anak juragan ayam itu?"
"Iya deh, terserah kamu, Neng. Ngomong-ngomong, kamu mau pergi ke mana?"
"Ke alun-alun Bandung, Mak. Itung-itung refreshing sebelum pernikahan."
Bu Nining mengangguk. "Kalau begitu, hati-hati di jalan. Awas kalau kamu sampai kepergok jalan bareng cowok! Emak nggak bakalan ngizinin kamu keluar rumah lagi."
Sejenak Ayu tercenung. Di benaknya terselip rasa khawatir kalau-kalau tetangga mengetahui tujuannya pergi ke Bandung. Namun, secepat mungkin gadis berkulit sawo matang itu menepis segala hal buruk yang akan menimpanya jika ketiban sial. Ditatapnya sang ibu yang masih terlihat sinis.
"Ya ampun, Mak! Santai aja kali. Aku cuma mau ketemu temen cewek, nggak bakalan macem-macem kok. Mak tahu si Resti, kan, yang mukanya banyak jerawatnya itu? Nah, sekarang dia jualan di Pasar Baru. Aku mau ketemu sama dia, gitu." Ayu berkata dengan santai, lalu mencium tangan ibunya seraya berpamitan.
"Iya, Emak tahu kok. Hati-hati di jalan, ya."
Ayu mengangguk, lalu berangkat meninggalkan ibunya. Beruntung, selama melewati belokan gang, tak ada tetangga yang menyadari bahwa Ayu sudah berpapasan dengan mereka. Ceu Mae pun luput dari penyamarannya.
Setelah keluar dari gang rumahnya, Ayu bertemu dengan ojek online yang dipesannya sejak pagi. Butuh beberapa menit untuk sampai ke Stasiun Cimindi. Begitu sampai di stasiun, tak berapa lama setelah membeli tiket, kereta pun datang. Cepat-cepat Ayu menaiki kerta, meski harus berdesakan dengan penumpang lain.
Di alun-alun Bandung, Hanafi mencari-cari Ayu dari sekian banyaknya orang yang melintas. Hampir satu jam ia menunggu gadis itu di depan Masjid Raya Bandung, sambil melihat pesan dalam ponselnya. Sesekali ia melirik jam tangan, rupanya hampir setengah sepuluh. Rasa jenuh menghinggapinya, tapi bagaimanapun juga, kerinduannya pada Ayu lebih besar dari apa pun. Tak lama kemudian, dari gapura masjid sebelah selatan, terlihat seorang perempuan berhijab melepaskan maskernya. Hanafi pun langsung mengenali, bahwa gadis itu tidak lain adalah Ayu. Secepatnya Hanafi melambaikan tangan ke arah gadis itu sampai menyadari kehadirannya. Ayu berlari kecil menghampiri Hanafi, dengan membawa senyum simpul di bibirnya.
Melihat senyuman Ayu, Hanafi terpaku sejenak. Lelaki berkacamata itu sangat menikmati kecantikan sahabatnya yang sudah sebulan ini tidak ditemuinya. Ayu yang melihat sesuatu aneh pada Hanafi, melambaikan tangan di depan wajah lelaki itu.
"Han, Hanafi?"
Hanafi terhenyak. "Eh, Ayu."
"Kok bengong gitu?"
"Eng-enggak. Aku heran aja, kenapa kamu makin cantik, ya?"
Ayu tersipu-sipu dan menepuk lengan Hanafi. "Ah, kamu ini. Mulai jago ngegombal, nih?"
"Aku jujur loh! Enggak cuma ngegombal doang."
"Iya, deh. Ngomong-ngomong, sekarang kita mau ke mana?"
"Ikut aku."
Hanafi menuntun Ayu menuju motornya yang terparkir di area mesjid yang lain. Setelah keduanya menaiki motor dan memakai helm, Hanafi melajukan kendaraannya. Sambil menikmati suasana Kota Bandung, keduanya bercakap-cakap. Saling menanyakan kabar dan pengalaman. Hanafi mengatakan bahwa sebentar lagi ia mulai menyusun skripsi untuk kuliahnya di Jurusan Pendidikan Agama Islam. Ayu yang di DO dari kampusnya, merasa minder dengan penuturan sahabatnya. Kendati demikian, Hanafi tidak besar kepala. Ia berkata, mungkin Ayu akan lebih bahagia jika diizinkan kuliah lagi oleh suaminya.
Ketika melintas di Taman Balai Kota, Hanafi menghentikan motornya. Ia mengajak Ayu untuk istirahat sejenak di salah satu tempat yang teduh, sambil melihat-lihat pemandangan hijau. Betapa damai hati Ayu tatkala singgah di sana. Setidaknya untuk seharian ini, ia dapat merasakan ketenangan bersama Hanafi.
"Oh, ya, Yu. Gimana dong nasib semua laki-laki yang mengejarmu kalau kamu menikah nanti? Kasihan kalau dianggurin," kata Hanafi membuka percakapan.
"Biarin aja lah. Lagi pula, mereka nggak ada nyali buat melamar. Kamu tahu? Seminggu ini aku ngadain sayembara buat laki-laki yang mau cepetan ngelamar aku. Eh, malah pada kabur."
"Coba aja kalau waktu itu kamu ngirim pesan WA ke aku, pasti aku tanggapin. Nggak perlu nunggu seminggu, tiga hari aja aku bakalan bawa keluarga aku ke rumah kamu," ucap Hanafi memandang jauh.
"Maksudmu? Emang kamu siap melamar aku dan bawa bapak kamu ke rumah? Pak Haji Rusdi kan galak."
"Kenapa enggak? Tujuanku baik, loh, Yu."
"Ah, jangan bercanda. Paling kamu nggak jauh beda sama buaya darat yang aku piara di kontak hape."
"Ya udah, deh, kalau kamu nggak percaya." Hanafi menghela napas berat. Beban hati yang mengganjal bertahun-tahun lamanya, tak bisa ditahannya lagi. Hanya ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan segala yang dirasakannya pada Ayu selama ini.
"Aku kecewa banget. Ngapain coba macarin banyak cowok tapi nggak ada yang serius? Aku ini cuma pengin dapet yang baik dan setia. Terus giliran aku minta dilamar, dia itu gentleman, gitu. Ah, dunia ini emang ajaib. Kenapa Allah nyiptain fuckboy segala kalau nggak berfaedah?"
"Itu bukan salah Allah atau salah mereka. Mungkin karena kamunya aja yang kebingungan nyari cowok."
"Loh, kok kamu ngomongnya gitu?"
"Kamu pikir yang aku lakuin buat kamu selama ini apa, Yu? Katanya kamu nyari yang baik dan setia. Aku setia sama kamu, kok, bahkan rela nggak punya pacar cuma demi ngebahagiain kamu."
"Kamu mah beda lagi, Fi. Kamu cuma sahabat di mata aku. Kalau kamu pengin punya pacar, silakan aja. Aku nggak ngelarang, kok."
"Cuma sahabat, ya? Baiklah." Hanafi mengangguk, lalu tertunduk lesu. "Asal kamu tahu, Yu. Selama ini aku mata-matain setiap calon pacar kamu supaya kamu selamat dari hal buruk. Kamu masih inget si Bryan, anak motor yang keparat itu? Dulu dia ngerencanain buat menculik kamu, terus melecehkan kamu di depan teman-temannya. Kalau bukan karena dikasih tahu sama aku, kamu nggak bakalan kayak sekarang. Aku nggak mau kalau kamu sampai kayak si Meli, yang diperkosa sampai gila."
Ayu termenung sejenak, mengingat kebaikan Hanafi selama ini. Jika diingat kembali, lelaki berkaca mata itu memang berperan besar dalam keselamatannya selama menjelajah cinta setiap lelaki. Ia selalu memastikan sahabatnya tidak disentuh oleh lelaki bajingan.
"Aku berterima kasih banget sama kamu, Fi. Aku beneran nggak bisa balas semua kebaikan kamu satu per satu."
"Seandainya aja aku punya nyali bilang ke Bapak buat ngelamar kamu, aku nggak bakal biarin kamu pacaran sama banyak cowok."
Kedua mata Ayu membelalak. "M-maksud kamu? Kamu ...."
"Iya, Yu. Sejak masuk SMA, aku udah jatuh cinta sama kamu, tapi kamunya kayak yang nggak peduli gitu. Aku terus berusaha buat dapetin hati kamu, terus sabar dalam ngebahagiain kamu, bahkan sampai rela lihat kamu pacaran sama cowok lain, cuma gara-gara aku terlalu cinta sama kamu."
Ayu masih tertegun.
"Setiap hari aku selalu berharap bakal ada kesempatan buat ngisi hati kamu, tapi sekarang ... ah, mungkin cuma sekarang waktu yang tepat."
Hanafi memegang kedua tangan Ayu dan menatapnya lekat. Ayu yang masih kebingungan, balas menatap Hanafi. Ia seakan tak percaya dengan semua yang didengarnya saat ini. Di sisi lain, Hanafi tidak sabar lagi ingin mencurahkan isi hatinya pada Ayu. Semakin erat ia memegang tangan Ayu, lalu tersenyum simpul.
"Ayu, kamu mau, kan, jadi istri aku? Aku udah lama banget mengharapkan ini dari kamu. Aku mohon, batalin lamaran dari cowok yang ketemu sama keluarga kamu hari Minggu lalu. Aku janji, secepatnya bakal bawa kedua orang tuaku ke rumahmu buat melangsungkan acara lamaran."