Guna tampak sibuk melihat-lihat laporan pendapatan dan pengeluaran bulan ini. Wajahnya begitu serius sampai-sampai membuat Pak Yayan kesal karena ucapannya seperti tak didengar. Pria pemilik tatapan tajam dan berhidung bangir itu sangat fokus jika bersangkutan dengan perihal pekerjaan.
"Guna, gimana? Kamu mau menikah dengan anak teman Bapak?"
"Hm."
"Mau atau enggak?"
"Hmmm."
Sebenarnya sudah hampir satu jam Pak Yayan berkutat pada pertanyaan yang sama. Sementara jawaban Guna tetap saja tak berubah, tanpa anggukan atau gelengan kepala. Setelah selesai mengecek laporan dari anak buahnya, barulah ia menatap Pak Yayan.
"Barusan Bapak ngomongin apa?"
Demi menjaga kesabarannya, Pak Yayan mengelap muka, lalu mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam. "Jadi, Bapak perlu bicara dari awal lagi?"
Guna mengangguk. "Kenapa enggak?"
Pak Yayan mengangguk sambil tersenyum kecut. "Baiklah."
Dengan raut wajah serius, Guna mulai memerhatikan Pak Yayan dengan saksama. "Coba ceritakan dari awal."
"Begini, kemarin teman Bapak telepon. Katanya pengin menjodohkan anaknya dengan kamu."
"Iya, terus?"
"Kamu setuju atau enggak? Kalau Bapak, sih, terserah kamu. Tapi akan lebih baik kalau kamu setuju, biar hubungan keluarga kita semakin erat."
"Hm, gimana ya?" Guna menatap ke arah langit-langit.
"Nggak apa-apa kalau kamu jawabnya besok atau lusa. Bapak nggak akan memaksa."
"Kalau Bapak sebutkan kelebihan gadis itu, aku akan memberikan jawabannya sekarang juga."
"Kelebihannya ... dia gadis yang baik, cukup berprestasi juga di sekolahnya."
"Oh, jadi dia masih SMA?"
"Terakhir Pak Darman bilang, anaknya sudah kuliah. Jurusan Manajemen Bisnis."
"Baguslah kalau begitu." Guna menatap ayahnya sambil mengangguk. "Kalau begitu, kapan kita akan melamarnya?"
"Jadi, kamu setuju?"
Guna mengangguk. "Tentu saja. Aku butuh wanita cerdas untuk memajukan perusahaan pakan ternakku."
"Baiklah. Gimana kalau hari Minggu saja kita ke sana?"
"Hari apa saja boleh, besok lusa juga oke."
"Syukurlah, akhirnya kamu setuju juga."
"Tapi dengan satu syarat."
"Syarat apa?"
"Kalau gadis itu tidak sesuai dengan ekspektasiku, aku minta semua peternakan ayam Bapak diwariskan padaku. Sagara tidak boleh memiliki aset peternakan itu sama sekali."
"Tamak sekali kamu! Bagaimanapun juga dia itu adikmu."
"Adik? Apa pantas dia disebut seorang adik setelah menikah dengan Yunita beberapa tahun lalu? Aku tak habis pikir, adikku ternyata bisa menusukku dari belakang."
"Sudah Bapak bilang, lupakan semua itu! Tidak ada gunanya kamu menyimpan dendam pada adikmu sendiri! Kalau Ibu dan Bapak tiada, kamu mau berbagi dengan siapa?"
"Aku bisa hidup sendiri, Pak. Apa Bapak tidak lihat usahaku yang maju saat ini?"
"Kamu tidak akan sampai sesukses ini tanpa doa kedua orang tuamu. Ingat itu!"
Guna terdiam sejenak.
"Sudahlah, tidak ada gunanya kamu bertengkar dengan Sagara hanya karena perempuan. Di dunia ini tidak hanya Yunita saja."
"Tapi aku sangat mencintainya, Pak. Sejak dia lebih memilih untuk menikah dengan Sagara, hatiku benar-benar mati. Aku tidak bisa mencintai gadis lain selain dia."
Pak Yayan menampar Guna sekerasnya. Sorot matanya sangat tajam menusuk, sehingga Guna enggan menatap ayahnya itu.
"Cukup, Guna! Tidak ada gunanya kamu terus-terusan begini. Apa pun yang terjadi, Bapak akan membagi dua peternakan ayam itu. Lima puluh persen untukmu, lima puluh persen untuk Sagara."
"Kalau begitu, aku akan menolak perjodohan ini. Lebih baik aku melajang seumur hidup dan mengembangkan perusahaan pakan ternakku hingga ke luar negeri."
"Lalu bagaimana dengan ibumu? Daripada mengutamakan dendam dan keegoisanmu, lebih baik pikirkan tentang ibumu. Dia sudah lama mengharapkan kamu menikah dan memberikannya seorang cucu."
"Cucu? Bukankah Sagara dan Yunita juga bisa memberikannya seorang cucu?"
Mengingat hal itu, Pak Yayan merasa sedih. Yunita yang mandul benar-benar membuat Pak Yayan dan istrinya kecewa.
"Kenapa, Pak?" Guna tertawa sejenak. "Sudah kuduga, pasti kutukan dariku terkabul."
"Tidak cukupkah kamu membuat Sagara menderita karena tak bisa punya anak? Jika kamu masih punya nurani, biarkan sebagian peternakan ayam itu dimiliki oleh adikmu. Setidaknya kesedihan mereka dapat terobati dengan mengembangkan bisnis peternakan ayam."
"Aku tidak peduli, Pak. Pokoknya jodohkan aku secepatnya dengan gadis itu. Aku ingin kehadirannya bisa memajukan usahaku. Kalaupun tidak sesuai dengan harapanku, setidaknya aku tidak rugi sudah menikahinya."
"Kamu ini, masih saja menghubungkan segala hal dengan bisnis."
Dengan membawa segenggam kekecewaan di dadanya, Pak Yayan meninggalkan kantor Guna. Seumur hidup, ia tak menyangka bahwa putra sulungnya akan berubah setamak itu. Padahal, sejak kecil Guna dikenal dermawan dan senang bergaul. Adiknya yang usianya berbeda lima tahun, dikasihinya dengan baik. Pernah suatu ketika, Sagara tidak mendapatkan uang jajan dari Pak Yayan karena sudah bertengkar dengan anak tetangga. Guna yang merasa kasihan pada sang adik, diam-diam memberikan sebagian uang jajannya. Namun, ia juga memberi syarat agar Sagara meminta maaf terlebih dahulu pada anak yang telah dipukulnya. Dari situlah kedekatan antara kakak beradik itu semakin intens, bahkan Sagara sangat patuh pada Guna ketimbang ayah dan ibunya.
Seiring waktu berlalu, Yunita datang ke dalam kehidupan Guna. Kecerdasan dan sopan santun dari putri Haji Imron itu, telah memikat Guna sejak di bangku kuliah. Perbedaan usia yang cukup jauh, tak jadi halangan. Kala itu Yunita berusia delapan belas, sedangkan Guna dua puluh empat. Hubungan mereka berjalan baik sampai Guna membawa Yunita bertemu dengan keluarganya. Awalnya ia cukup senang tatkala melihat Yunita mudah akrab dengan kedua orang tuanya dan Sagara, tapi semakin lama hubungan di antara mereka justru merenggang. Penyebabnya tidak lain adalah Sagara, yang diam-diam menjalin hubungan asmara dengan Yunita di belakang Guna.
Guna selalu berusaha untuk memisahkan mereka. Berulang kali ia menyuruh Sagara untuk memutuskan Yunita, tapi ikatan cinta yang sangat kuat di antara mereka, membuatnya kesulitan. Sagara tidak lagi menjadi adik yang penurut, sedangkan Yunita sudah tidak mencintai Guna. Tak ada jalan lain untuk mengikhlaskannya. Guna pun dengan berat hati melepaskan cintanya. Hatinya yang semula lembut dan penuh kasih sayang, berubah menjadi sedingin es.
Pak Yayan masih tidak habis pikir dengan sosok Guna yang sekarang. Alih-alih memahami putra sulungnya, ia kesulitan mengenali pola pikirnya. Dengan langkah gontai, Pak Yayan memasuki rumah. Terlihat istrinya, Bu Lilis, sedang duduk di ruang tamu dengan wajah cemas. Saat menyadari Pak Yayan sudah pulang, Bu Lilis menghampiri suaminya itu.
"Pak, gimana? Apa Guna mau dijodohkan dengan anaknya Pak Darman?" tanya Bu Lilis tak sabar.
"Bapak bingung, Bu."
"Loh, kok? Kenapa jadi Bapak yang bingung?"
"Guna, Bu. Dia kayak bukan anak kita lagi."
"Maksudnya?"
"Dia setuju dijodohkan dengan anaknya Pak Darman."
"Itu bagus, Pak. Lalu, masalahnya apa?"
"Dia ngasih syarat. Kalau anaknya Pak Darman tidak sesuai ekspektasinya, Guna pengin peternakan kita diwariskan seluruhnya pada dia."
"Loh, kok begitu, Pak?"
"Bapak juga miris mendengar perkataan Guna. Demi dendamnya pada Sagara, dia tidak ingin usaha Bapak diwariskan pada adiknya walau cuma sedikit."
"Terus, sekarang mau gimana, Pak? Apa Bapak akan tetap menjodohkannya dengan anak Pak Darman?"
"Bapak harap anaknya Pak Darman sesuai dengan ekspektasinya."
"Kalau tidak, apa Bapak akan memberikan seluruh peternakan ayam pada Guna?"
"Itu akan Bapak pikirkan nanti. Mudah-mudahan setelah menikah, pemikiran Guna akan berubah." Pak Yayan memandang jauh sambil menganggukkan kepala. "Ah, kalau saja kedua anak kita tidak mencintai gadis yang sama, mungkin tidak akan seperti ini."
"Tidak usah menyalahkan masa lalu, Pak. Masalah hati memang sulit, tapi Ibu yakin, waktu bisa menyembuhkan luka Guna."
"Insya Allah, Bu. Insya Allah."
Di tempat lain, Guna baru selesai dengan urusan pekerjaannya. Dalam perjalanan pulang, ia mampir dulu sebentar ke sebuah warung di pinggir jalan. Tak disangka, Sagara menuju ke tempat yang sama untuk membeli kopi.
Pertemuan tak disengaja itu membuat Sagara canggung. Saat Guna menoleh ke arahnya, Sagara mencoba untuk tersenyum dan berusaha menyapa kakaknya. Akan tetapi, reaksi yang diberikan Guna seolah tak lagi mengenal adiknya itu. Ia dengan ketus melangkah meninggalkan warung.
"Aa!" panggil Sagara sambil berlari menghampiri kakaknya.
Guna menoleh sejenak, lalu melenggang menuju mobilnya.
"Aa, tunggu sebentar!" Sagara memegang tangan Guna.
Dengan kasar Guna melepas genggaman adiknya. "Mau apa kamu?"
"Apa kabar, A? Sudah lama kita nggak ketemu."
"Baik."
"A, mampir dulu ke rumah, yuk!"
"Buat apa? Kamu mau menggosokkan garam di lukaku?"
"Bukan begitu, A. Tapi ... aku pengin ngobrol sama Aa, kayak dulu."
"Jangan harap kejadian di masa lalu bisa terulang kembali. Sudahlah, aku mau pulang. Capek ngurusin pekerjaan di kantor."
"Tunggu dulu, A!"
"Apa lagi?"
"Apa benar Aa bakal dijodohkan dengan anaknya Pak Darman?"
"Kamu tahu dari mana?"
"Kemarin Bapak bilang sama orang-orang di rumah. Katanya, Pak Darman ingin menjodohkan anaknya dengan Aa."
"Terus urusan kamu apa kalau Aa dijodohkan dengan anak Pak Darman?"
"Aku ikut senang, A."
"Ya, kamu memang seharusnya senang karena semua aset bisnis ayam Bapak akan jatuh ke tanganku."
Sagara tercenung, saat Guna dengan angkuhnya pergi memasuki mobilnya. Dilajukannya mobil sedan kesayangannya, tanpa memedulikan sang adik yang memandang kosong di pinggir jalan. Sambil menyunggingkan senyum di sudut kiri bibirnya, Guna sangat puas melihat penderitaan di wajah Sagara.
Setibanya di rumah, Guna memasukkan mobilnya ke bagasi. Setelah itu, ia menuju ke ruang tamu dan memerhatikan sekitarnya. Dengan menghela napas berat, pria berbadan tinggi tegap itu merebahkan diri di sofa. Rumah seluas itu, dengan ruang tamu, dua kamar, ruangan keluarga dan dapur yang cukup luas, juga satu kamar mandi, terasa sangat hening bagi Guna. Setiap kali pulang ke rumah, hatinya terasa sepi dan hampa layaknya rumah yang dihuninya. Tak ada lagi orang lain yang menghuni rumah itu. Baginya, menyewa seorang pembantu sama saja menghamburkan uang. Selagi masih bisa membereskan rumah seorang diri, Guna tak butuh bantuan orang lain.
Di tengah rasa penatnya, Guna beranjak dari sofa, lalu menuju kamar ke dua yang letaknya di sebelah kanan ruangan keluarga. Saat lampu dinyalakan, tampak seluruh dindingnya dihiasi dengan foto-foto masa indah bersama Yunita. Kenangan manis itu tak pernah Guna lepaskan sedetik pun, bahkan setiap menjelang tidur, bayangan Yunita selalu melekat hingga alam mimpinya. Inilah alasan Guna memilih untuk tak serumah lagi dengan orang tua dan adiknya. Ia ingin menikmati fatamorgana cinta masa lalunya, tanpa terganggu oleh realitas yang menyakitkan.
Perlahan, Guna mendekati salah satu foto Yunita yang berukuran cukup besar. Ditatapnya lekat-lekat wajah manis Yunita, sambil tersenyum lebar. Jemarinya meraba-raba potret gadis pujaannya, seolah sedang menyentuh pipi sang kekasih dengan lembut.
"Yunita, seandainya kamu tidak menikah dengan adikku, mungkin rumah ini terasa hangat oleh kehadiranmu. Setiap hari hidupku akan terasa lebih indah, apalagi jika diberikan anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Kita akan tertawa bersama seperti dulu, dan mungkin bertengkar sekali-kali. Itu lebih baik daripada kenyataan yang terjadi hari ini dan esok. Kalau saja kamu masih mencintaiku, akan aku serahkan seluruh hidupku demi membahagiakanmu, Yunita." Guna menatap lekat-lekat potret gadis di hadapannya, hingga tak terasa air mata jatuh ke pipinya.