Dari teras rumah di ujung gang, terlihat seorang gadis berhijab syar'i berwarna biru, sedang menyapu lantai. Ia tidak lain adalah Zulaikha Khairunnisa. Biasa dipanggil Leha karena namanya terlalu bagus, susah diingat, bahkan nama panggilannya yang dulu kadang-kadang tertukar dengan anak RT sebelah, Zulkifli. Sebenarnya ia tidak kalah nakal dari Cici dan Ayu, hanya saja sejak ibunya yang bernama Siti Fatonah menikah lagi dengan Ustadz Udin, perilaku Leha berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu gadis berhijab itu juga dikenal sering gonta-ganti pacar dengan kedok ta'aruf. Namun, setelah mendengar ceramah ayah tirinya yang menenangkan, ia sadar bahwa mendekati zina adalah sebuah perbuatan keji.
Ketika hendak menyimpan sapu ke dalam rumah, Leha memandang jauh sejenak. Terlihat seorang perempuan dengan rok panjang, berjaket denim, dan berkerudung hitam sedang menghampirinya. Setelah diperhatikan baik-baik, Leha dapat mengenalnya.
"Eh, Ayu. Ada apa kamu ke sini?" tanya Leha saat Ayu memasuki teras rumahnya.
"Aku pengin ngobrol sama kamu. Penting," jawab Ayu memegang tangan Leha.
"Mari masuk!" ajak sang tuan rumah.
Segera mereka masuk ke rumah. Leha menyimpan sapu ke dapur, lalu menyiapkan teh manis untuk Ayu. Sebagai tuan rumah, Leha tahu betul caranya memuliakan tamu. Terlebih ajaran dari Ustadz Udin sangat berpengaruh pada perubahannya saat ini.
Ayu sudah tidak sabar lagi ingin curhat. Saat melihat Leha datang dari dapur sembari membawa segelas teh, Ayu menepuk-nepuk tempat duduk di sisinya. Sementara Leha yang melihat ketidaksabaran di wajah Ayu, segera menaruh teh di meja dan duduk di sebelah sahabatnya.
"Apa? Ada apa?"
"Bapakku, Leha. Bapakku mau menjodohkan aku sama anak juragan ayam," jelas Ayu dengan wajah memelas.
"Wah, bagus dong kalau begitu! Artinya sebentar lagi kamu menikah. Aku ikut senang."
"Aku tidak menginginkan perjodohan itu, Leha. Mendingan aku balikan lagi sama mantan-mantanku daripada dinikahkan pada orang asing. Bapak bilang, kalau dalam seminggu tidak menemukan laki-laki yang mau melamarku, dia bakalan tetap menjodohkan aku dengan anak juragan ayam itu."
"Coba kamu bicarakan baik-baik dulu sama bapakmu. Bilangin, kalau kamu nggak suka dengan perjodohan itu."
"Sudah, Leha. Tapi bapakku keukeuh pengin menjodohkan aku dengan orang itu. Aku nggak ngerti, sejak kapan bapak jadi diktator kayak begitu. Kayaknya Kim Jong Un juga kalah kalau dibandingin sama bapak."
"Hm ... kalau begitu, coba kamu ikhtiar dulu nyari cowok yang mau diajak menikah secepatnya. Mudah-mudahan, sih, ada."
"Kalau nggak ada, gimana?"
"Pakai cara terakhir."
"Apa? Kabur? Bunuh diri?"
"Bukan. Itu cara yang salah. Mending kamu kenali dulu seperti apa orang yang dijodohkan sama kamu."
"Yaaah ... itu mah sama aja aku nyerah sama perjodohan."
"Jangan pesimis dulu, Ukhti. Kita nggak tahu apa yang Allah berikan buat makhluk-Nya. Siapa tahu aja, orang yang dijodohkan buat kamu ternyata orang terbaik pilihan Allah."
"Malah ceramah."
"Aku cuma nggak mau kamu salah jalan." Leha menepuk pundak Ayu. "Kamu itu sahabatku, mana mungkin aku menjerumuskanmu pada hal yang buruk. Begini, coba kamu pikirin baik-baik. Tujuan kamu pacaran itu apa, sih? Kalau memang untuk saling mengenal, kenapa nggak cukup berteman saja? Tapi kalau tujuannya untuk menikah dan menghabiskan sisa hidup bersama pasanganmu, lalu kenapa terus-terusan putus? Biasanya, orang pacaran itu memang ingin saling mengenal dulu satu sama lain untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, tapi tidak sedikit juga orang-orang memanfaatkannya hanya untuk pelampiasan nafsu belaka. Apa kamu masih ingat si Agus? Dia putusin hubungan kalian cuma gara-gara kamu nggak mau diajak berhubungan intim, kan?"
Ayu tertegun, mengingat lagi tentang kisah asmaranya bersama tukang kuli bangunan itu. Menurutnya, perkataan Leha ada benarnya juga. Ia menyesal telah mengenal si Agus. Namun di sisi lain, gadis manis bermata lebar itu dapat pelajaran, bahwa tidak semua lelaki yang memiliki hubungan asmara dengannya dapat mencintai dengan tulus.
"Sekarang terserah kamu, deh. Kalau menurutku, sih, mungkin ini cara Allah menyelamatkan harga dirimu dari perbuatan keji."
"Tapi aku tetap nggak mau dijodohkan, Leha. Aku nggak kenal sama orang itu. Nanti kalau dia jahat, suka main pukul, dan nggak tanggung jawab, gimana?"
"Jangan suudzon dulu. Bukankah sebelum berpacaran dengan mantan-mantanmu, mereka semua adalah orang asing?"
"Jangan mendebatku, Leha! Itu lain lagi ceritanya."
"Hm ... ya udah, deh. Mending diminum dulu teh manisnya, biar pikiran kamu tenang," kata Leha mengambil secangkir teh dari meja, lalu menyodorkannya pada Ayu.
Ayu menerima teh manis dari tangan Leha, kemudian meminumnya. Setelah mencurahkan segala uneg-uneg yang mengganggu hati dan pikirannya pada Leha, Ayu merasa sedikit tenang. Gadis berhijab syar'i itu memang pandai berkata-kata hingga membuat hati lawan bicaranya luluh.
Setelah selesai dengan urusannya, Ayu berpamitan pada Leha. Tak lupa, ia menyampaikan terima kasih pada sahabatnya itu. Namun, ketika beranjak beberapa langkah dari rumah Leha, ia berpapasan dengan Ceu Mae.
"Tumben kerudungan. Mendadak taubat gara-gara disumpahin, ya?" cibir Ceu Mae dengan sinis.
"Pake kerudung atau enggak, itu bukan urusan Eceu!" sanggah Ayu sambil mendelik.
Ceu Mae memang tidak tahu kebiasaan Ayu memakai hijab setiap datang ke rumah Leha. Ia malu jika datang ke rumah tokoh agama dengan pakaian sedikit terbuka. Bagaimanapun juga, Ayu menaruh rasa hormat pada orang yang layak disegani.
"Udah ah, aku males meladeni Ceu Mae melulu. Hidup udah mumet, dibikin ribet sama orang julid pula. Pusing!" celetuk Ayu, bergegas pergi meninggalkan lawan bicaranya.
***
Malam semakin tua. Ayu masih terjaga, menatap layar ponsel. Dipilihnya laki-laki yang sudah mengantre untuk menjadi pacarnya. Ia hafalkan satu per satu latar belakang mereka, mulai dari Abay sampai Zaenudin. Kendati demikian, tetap saja hati dan pikirannya selalu bertolak belakang dalam memilih pasangan. Jika hatinya berkata A, maka hatinya menjawab Z. Terus saja begitu sampai mendapatkan orang yang salah.
Di tengah kebingungannya mencari pasangan, muncul pesan masuk ke aplikasi WA. Segera Ayu membuka pesan itu dan membacanya. Ternyata dari Kamal, pegawai bengkel dekat kelurahan.
Kamal : "Malam, Sayang. Tumben belum tidur."
Ayu : "Belum, nih. Lagi banyak pikiran."
Kamal : "Banyak pikiran? Pasti kamu lagi mikirin aku."
Ayu : "Siapa yang mikirin kamu? Dih, GR!"
Kamal : "Emang kamu lagi mikirin apa?"
Ayu : "Mikirin calon imam yang mau melamar aku dalam seminggu."
Kamal : "Dalam seminggu? Aku bisa kok melamar kamu besok."
Ayu : "Wah, serius?! Aku tunggu kamu dan keluargamu besok di rumah, ya."
Kamal : "Iya, siapin aja makanan yang banyak."
Ayu tampak kegirangan setelah berbalas pesan dengan Kamal. Optimismenya bangkit setelah cukup lama berkutat memilih-milih lelaki sampai kepalanya pening. Saking senangnya, Ayu mengirim pesan pada Leha.
Ayu : "Leha, aku punya berita bagus, loh!"
Leha : "Berita apa?"
Ayu : "Perjodohannya dibatalkan."
Leha : "Wah? Kenapa bisa gitu? Bapakmu udah ngerti kalau kamu nggak mau dijodohin?"
Ayu : "Bukan. Cowok yang mau ngelamar aku udah ketemu."
Leha : "Siapa emang?"
Ayu : "Kamal, tukang bengkel di dekat kelurahan itu loh."
Leha : "Kamu yakin dia mau ngelamar kamu besok?"
Ayu : "Kok kamu nanyanya gitu?"
Leha : "Bukan kenapa-kenapa, aku cuma pernah dengar sekilas kalau dia itu kebanyakan bohongnya."
Ayu : "Ih, kamu mah sama temen kayak nggak mendukung gitu. Katanya mending nyari cowok yang mau ngelamar aku biar nggak dijodohin."
Leha : "Iya, tapi kamu harus tahu dulu orangnya kayak gimana."
Ayu : "Udahlah! Males chat-an sama kamu mah."
Ayu mematikan ponsel, lalu menaruhnya di nakas dekat kasur. Kata-kata Leha membuatnya kesal, hingga Ayu berkacak pinggang. Dilihatnya jam dinding, menunjukkan pukul sebelas. Lekas Ayu berbaring menarik selimut. Kendati perkataan Leha membuatnya ragu pada niat baik Kamal, ia yakin bahwa lelaki yang akan melamarnya, pasti datang.
***
Pagi-pagi sekali Ayu membeli banyak camilan. Diisinya toples-toples dan ditata rapi di meja ruang tamu. Tentu saja Pak Darman heran melihat tingkah Ayu yang begitu bersemangat. Saking penasarannya, ia menghampiri putrinya yang bergegas menuju kamar mandi.
"Tumben, Neng, pagi-pagi udah sibuk," kata Pak Darman menyunggingkan senyum.
"Hari ini ada yang mau datang ke rumah kita, Pak. Ada yang mau ngelamar aku."
Pak Darman tercengang mendengar kabar dari putri semata wayangnya. Namun, ia tidak serta-merta percaya, bahwa lelaki itu berani datang melamar tanpa persiapan. Kendati demikian, tidak ada yang tak mungkin di dunia ini, termasuk pernikahan dadakan.
Sementara itu, Bu Nining yang baru beres memasak, menghampiri suaminya. Ia juga ikut heran dengan sikap Ayu hari ini. Pak Darman menjelaskan bahwa akan ada lelaki yang melamar putrinya hari ini.
"Ah, masa, Pak? Gimana caranya dia dapat lelaki yang mau melamarnya secepat itu?" tanya Bu Nining mengernyitkan kening. Ia juga tak menyangka akan ada orang yang melamar putrinya lebih dulu dari perjodohan Pak Darman.
"Entahlah, Mak. Mungkin salah satu mantannya mau datang melamar."
"Tapi kalau secepat itu dan tanpa persiapan apa pun, rasanya tidak mungkin, Pak. Bapak aja dulu mau ngelamar Emak harus mikir berkali-kali. Ditungguin berminggu-minggu, malah ngelamarnya tahun depan."
"Hehe ... Bapak kan ngumpulin uang dulu buat ngelamar Emak. Menikah itu butuh persiapan yang matang."
"Iya juga, sih. Eh, ngomong-ngomong, gimana sama Pak Yayan? Dia setuju dengan perjodohan Ayu dengan anaknya?"
"Bukan cuma setuju, Pak Yayan senang sekali kalau anaknya menikah dengan anak kita."
"Aduh, kalau begitu mah jadi dilema, Pak. Gimana kalau orang yang mau ngelamar Ayu beneran datang hari ini? Kita mau bilang apa nanti sama Pak Yayan?" tanya Bu Nining cemas.
"Tenang saja, Mak. Firasat Bapak mengatakan, orang itu nggak bakalan datang."
"Bapak yakin?"
Pak Darman mengangguk. "Coba Emak pikir, kapan Ayu menjalin hubungan serius dengan satu lelaki? Nggak pernah, kan? Pacar-pacar Ayu itu semuanya pembual dan nggak ada yang sampai berani datang ke rumah."
"Benar juga, ya. Tapi Emak tetap khawatir, Pak."
Pak Darman tersenyum kecut, lalu pergi ke dapur mengambil sarapan. Sementara itu, Bu Nining termenung di ruang tamu sambil menatapi toples yang telah ditata rapi. Wanita itu memang pemikir keras dan gampang baper. Pantas jika kabar mengejutkan itu membuatnya stres.
Seiring matahari semakin meninggi, Pak Darman sudah berseragam lengkap untuk bersiap-siap pergi ke kelurahan. Banyak sekali KK dan KTP baru warganya yang datang hari ini. Sebagai kepala kelurahan yang disiplin, Pak Darman berusaha untuk datang sedikit lebih pagi dari pegawainya. Ketika sedang memakai sepatu hitam mengkilat kesayangannya, Ayu datang dengan wajah ditekuk.
"Bapak mau ke kelurahan? Nggak mau menyambut calon suami aku, Pak?" tanya Ayu yang sudah sangat cantik dengan gaun merah tua dan dandanan yang menarik.
"Buat apa menyambut calon suami kamu? Mereka nggak akan datang," jawab Pak Darman singkat.
"Ih, Bapak mah! Mentang-mentang aku udah nemu orang yang mau ngelamar, Bapak kayak nggak mau terima begitu."
"Bukannya nggak mau terima, hari ini Bapak lagi banyak kerjaan. Nanti kabarin aja kalau mereka sudah datang," kata Pak Darman, beranjak menaiki motor vespa jadulnya, lalu melajukannya dengan cepat.
Ayu memandang ayahnya pergi hingga sosoknya hilang di belokan gang. Jauh di dalam hatinya, ia memendam rasa khawatir atas segalanya. Atas sumpah Ceu Mae, atas hilangnya restu Pak Darman, atas perkataan Leha yang menyebut Kamal kebanyakan bohong. Bu Nining pun belum tentu yakin pada keputusan Ayu.
Jarum jam dinding terus berputar hingga menunjukkan pukul empat sore. Akan tetapi, orang yang dinantikan tak kunjung datang. Harap-harap cemas, Ayu berusaha menghubungi Kamal. Sialnya, nomor ponselnya tidak aktif setelah beberapa kali ditelepon. Bu Nining yang gelisah akan kedatangan sang pelamar, berkali-kali menanyakan kabarnya pada Ayu. Gadis itu tetap menggeleng kepala, tapi berusaha untuk tetap menunggunya.
Sementara itu, di tempat lain motor vespa Pak Darman mendadak mogok. Dengan sabar ia menuntun kendaraannya menuju bengkel dekat kantor kelurahan. Di sana, Pak Darman disambut oleh seorang pemuda yang wajahnya lusuh berlumuran oli. Ia tidak lain adalah Kamal, orang yang dinanti Ayu sejak pagi.
"Dek, tolong servis sampai bagus, ya. Kalau bisa secepatnya," kata Pak Darman.
"Baik, Pak," jawab Kamal menuntun motor Pak Darman ke tempatnya memperbaiki kendaraan.