Melihat reaksi keras dari putri semata wayangnya, Pak Darman berusaha untuk tetap tenang. "Ini bukan soal utang piutang. Bapak hanya ingin nama baikmu terjaga. Anaknya Pak Yayan punya usaha sendiri, sudah mapan dan punya rumah," jelasnya.
"Tapi sekarang bukan zamannya Siti Nurbaya, Pak. Aku nggak kenal sama orang itu. Mending kalau ganteng permanen, muda, dan nggak pelit, tapi kalau seumuran Bapak, lebih baik balikan lagi aja sama mantan-mantan aku daripada nikah sama dia. Lagian, yang kaya itu bukan dia, tapi bapaknya. CEO bukan, presdir bukan. Pasti beda jauh dari tokoh utama di novel-novel online yang aku baca," ceroscos Ayu tak terima.
"Dia juga CEO, Neng. CEO pakan ayam," kata Bu Nining.
Ayu mengerucutkan bibirnya. "Dih! Apaan CEO pakan ayam?"
"Sudahlah, nggak ada gunanya kamu memberontak. Suka atau tidak, Bapak akan tetap menjodohkanmu dengan anaknya Pak Yayan," kata Pak Darman kesal.
"Dan aku bakalan nyari cara lain buat membatalkan perjodohan ini." Ayu bergegas menuju kamar yang letaknya di samping ruangan keluarga. Sekencang mungkin Ayu membanting pintu, meluapkan kemarahannya malam itu.
Pak Darman dan Bu Nining saling bertatapan. Mereka tak menyangka, anaknya akan tumbuh menjadi pemberontak yang keras kepala. Bu Nining berpikir, bahwa putrinya terbawa pergaulan buruk dari Cici dan Leha. Dua gadis itu memang terkenal bandel dan suka keluyuran, apalagi Cici. Anak sulung penjual lotek itu sering bergonta-ganti pasangan dan pamer barang-barang mewah pemberian pacarnya.
Namun, tiba-tiba Bu Nining teringat pada insiden perselingkuhan Cici dan Hendra. Kejadian di pinggir kali itu membuat persahabatan Cici dan Ayu menjadi renggang. Bu Nining berharap, putrinya tidak nakal lagi setelah menjauh dari anak penjual lotek itu.
***
Pagi menjelang siang, Ayu baru bangun. Kebiasaannya tidur setelah salat subuh tidak bisa dihilangkan. Bu Nining yang kewalahan membuat sarapan untuk Pak Darman, terkadang menyiapkan segayung air untuk membangunkan putri bandelnya itu. Ya, Ayu susah dibangunkan kalau sudah tidur lelap, bahkan suara nyaring ibunya tak bisa didengar meski tepat di telinganya. Akan tetapi, berhubung ini hari Minggu dan Pak Darman sedang libur, Bu Nining tidak mengguyur Ayu.
Dengan lesu, Ayu duduk di ruang keluarga, lalu menyalakan televisi. Dicarinya siaran favoritnya tiap minggu, tapi kali ini ia tak menemukannya. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh, tentu saja kartun kesayangannya sudah berakhir.
"Maaak! Kenapa nggak bangunin aku, sih? Aku jadi ketinggalan nonton Doraemon, nih," teriak Ayu pada ibunya yang sedang memasak di dapur.
"Makanya bangun pagi-pagi. Lagian, udah gede, gonta-ganti pacar melulu, masih aja nonton Doraemon," sahut Bu Nining sembari keluar dari dapur menghampiri Ayu.
Ayu yang sedang merebahkan tubuh di kursi sambil mencari siaran lain, menoleh ke arah ibunya. "Mau ngapain, Mak? Lagi posisi enak, nih."
Bu Nining menyodorkan uang dua ribu pada putrinya sembari berkata, "Belikan merica dua bungkus ke warung Ceu Romlah."
Ayu menerima uang itu dengan mengerutkan dahi. "Dua ribu mah cuma buat beli merica doang, Mak. Ongkirnya mana?"
"Cuma jalan kaki beberapa langkah ke warung aja minta ongkir. Memangnya kamu ke warung mau naik ojek online?"
"Ih, Emak mah gitu. Aku juga butuh jajan, Mak."
"Pakai aja uang dari pacar-pacarmu itu."
Tanpa membalas perkataan ibunya, Ayu mendengus, lalu beranjak dari tempatnya merebahkan diri. Dengan tergesa-gesa, ia pergi ke warung. Walaupun hanya beberapa langkah jarak antara rumah dan warung Ceu Romlah, gadis itu kerap berpapasan dengan tetangga-tetangganya yang super julid. Terutama Ceu Mae, yang gemar bergosip ria dengan penduduk lain. Ia biang kerok dari segala fitnah dan gosip tanpa beralasan. Namun, gosip yang ditujukan pada Ayu tidak pernah meleset dari fakta yang ada, apalagi menyangkut dengan kebiasaannya bergonta-ganti pacar.
Mengetahui Ceu Mae sedang ngerumpi dengan ibu-ibu lain di depan warung, Ayu mendelik sebentar dan memesan dua bungkus merica pada Ceu Romlah. Ceu Mae yang menyadari kehadiran Ayu, langsung mengerahkan seluruh kekuatan julid-nya.
"Tumben itu anak mau disuruh emaknya. Biasanya kalau nggak mau disuruh, langsung keluyuran sama cowok," ujar Ceu Mae pada kedua teman ngobrolnya, Mak Ijah dan Mbak Yuli.
"Mungkin dia udah bosen main sama cowok, makanya mau disuruh sama emaknya beli merica," jawab Mbak Yuli dengan logat Jawa yang medok.
"Uyuhan ih, keluyuran melulu sama laki-laki. Untung nggak sampai bunting," kata Mak Ijah sembari mendelik ke arah Ayu. "Zaman saya dulu mah, boro-boro keluyuran sama laki-laki, pergi ke mana-mana juga terus diawasi sama orang tua."
Merasa panas mendengar ocehan ibu-ibu yang menggunjing dirinya, Ayu segera menerima merica dan berbalik badan menghadap ketiga orang itu. Dengan mata melotot, Ayu menatap tajam ke arah Ceu Mae.
"Eh, Ceu. Kalau mau bergosip, jangan di deket orangnya dong," sungut Ayu berang.
"Deket orangnya gimana? Lagian, kami nggak ngomongin kamu," dalih Ceu Mae melipat kedua tangan.
"Alah, bilang aja takut ngehadepin orang yang lagi diomongin," kata Ayu, dengan nada tinggi.
"Takut? Eceu nggak takut, kok. Lagi pula, orang yang langsung ngambek pas digosipin, berarti dia merasa tersindir," ucap Ceu Mae, membela diri.
"Tapi aku nggak kayak yang kalian omongin," ketus Ayu semakin jengkel. "Dan, Mak Ijah, dengerin baik-baik! Biarpun gonta-ganti pacar, seenggaknya aku bisa jaga diri. Nggak kayak cucumu itu. Nikah baru empat bulan, tahu-tahu udah lahiran aja. Inget umur, Mak! Udah bau tanah, masih aja ngomongin orang."
"Kamu itu, sama orang yang lebih tua nggak ada sopan-sopannya. Katanya anak lurah, tapi kelakuannya kayak anak setan," cibir Ceu Mae.
Ayu semakin tak sabar lagi meluapkan amarahnya. Tanpa diduga, ia menjambak Ceu Mae hingga ikatan rambutnya lepas. Ceu Mae pun tak mau kalah. Ia balas menjambak rambut Ayu dengan keras. Situasi di depan warung semakin kacau. Mbak Yuli dan Mak Ijah berusaha untuk melerai mereka. Tak lupa, pemilik warung pun ikut menghentikan pertengkaran itu.
Pada akhirnya, Mak ijah dan Mbak Yuli berhasil menarik lengan Ceu Mae dari rambut Ayu. Sementara Ceu Romlah memegangi tangan Ayu sekuat tenaga.
"Sudah, Ayu. Jangan dengarkan mereka! Mendingan kamu pulang, nggak baik berantem sama orang yang lebih tua," bujuk Ceu Romlah.
"Lepasin aku, Ceu! Seharusnya mulut Ceu Mae udah dilakban dari tadi," teriak Ayu memberontak.
"Berani-beraninya kamu ngajak berantem! Lihatin aja, kamu pasti kualat nanti. Eceu sumpahin kamu jomlo tujuh turunan!" bentak Ceu Mae, masih berang.
Ayu melepas genggaman Ceu Romlah dengan kasar, lalu mendelik pada Ceu Mae. "Percuma nyumpahi aku, kalau Ceu Mae aja masih banyak dosa. Toh sampai sekarang masih banyak yang ngantri jadi pacar aku. Udah ah, nggak ada gunanya berantem sama orang julid."
Bergegas Ayu meninggalkan warung tanpa memedulikan ucapan-ucapan buruk Ceu Mae di belakangnya. Rambutnya yang acak-acakan menjadi perhatian bagi setiap orang yang berpapasan dengannya. Rasa kesal di hati Ayu belum padam.
Setibanya di rumah, terlihat Pak Darman sedang menelepon seseorang sambil memberi makan burung Lovebird kesayangannya. Ayu tidak memedulikannya, lalu berjalan menuju dapur untuk menemui ibunya. Saat tiba di dapur, Bu Nining terkejut melihat penampilan putrinya yang acak-acakan.
"Astagfirullah! Habis ngapain aja kamu di warung? Kok rambut kamu acak-acakan begitu?" tanya Bu Nining dengan mata membelalak.
"Itu ... Ceu Mae sama Mak Ijah. Sembarangan aja nuduh aku yang enggak-enggak, terutama Ceu Mae. Mentang-mentang lebih tua, seenaknya aja ngatain aku anak setan," jelas Ayu sembari memberikan merica bubuk pada ibunya.
"Memangnya kamu bilang apa sampai Ceu Mae berani ngatain kamu begitu? Makanya kalau bicara itu dijaga, jangan asal ceplos aja."
"Abis aku kesel, Mak. Mak Ijah bilang 'uyuhan ih, keluyuran melulu sama cowok, untung nggak sampai bunting' di belakang aku. Ya aku nggak terima dong. Memangnya aku ini si Mimin, cucu Mak Ijah yang baru nikah empat bulan langsung lahiran?" Ayu mendengus sebal. "Udah gitu, Ceu Mae malah ngebelain nenek-nenek bau tanah itu. Bukannya dibikin sadar, malah sama gilanya. Dia sampai nyumpahin aku jomlo tujuh turunan pula."
"Nah, kan. Makanya kalau orang tua ngomong itu dengerin! Nggak ada gunanya kamu berantem sama mereka, yang ada malah nambah dosa."
"Ah, Emak mah sama aja," kata Ayu, melangkah keluar dapur.
Sementara itu, Pak Darman masih asyik bicara dengan Pak Yayan dari telepon. Sewindu tak pulang kampung, membuatnya rindu pada sahabat karibnya. Sesekali mereka bernostalgia tentang masa kecil yang indah. Pak Darman masih ingat betul, cerita tentang Pak Yayan yang sempat diseruduk kerbau saat hendak membajak sawah sewaktu kecil.
Setelah banyak berbasa-basi, Pak Darman tak sabar lagi ingin menyampaikan maksudnya. "Eh, Yan. Gimana kabar anakmu? Dia masih bikin pakan ayam, kan?"
"Masih, bahkan kemarin pesanannya dari luar kota banyak sekali," jawab Pak Yayan dari seberang telepon.
"Sykurlah kalau begitu," kata Pak Darman tersenyum simpul. "Ngomong-ngomong, dia udah punya calon istri belum? Bukankah tahun ini dia berusia tiga puluh?"
"Kalau soal itu mah belum, Man. Dia terlalu sibuk kerja sampai lupa sama kehidupan pribadinya. Ibunya selalu meminta untuk segera menikah, tapi reaksinya malah acuh tak acuh."
"Oh, begitu." Pak Darman mengangguk. "Begini, Yan. Kalau kamu mengizinkan, aku ingin menjodohkan putriku dengan putramu."
"Wah, itu ide yang bagus sekali, Man! Aku juga sempat kepikiran begitu, tapi setelah ingat anakmu masih di bawah umur, jadi ragu. Emang sekarang anakmu umurnya berapa?"
"Sembilan belas, Yan. Udah cukup lah buat nikah mah."
"Ah, iya, iya. Ngomong-ngomong, kapan aku bisa ke sana, nganterin anakku melamar."
"Kapan saja boleh, tapi bukankah niat baik seharusnya dilakukan secepatnya?"
"Baiklah. Nanti aku kabari lagi. Mudah-mudahan anakku mau dijodohkan dengan anakmu."
"Semoga begitu."
"Eh, Man. Udah dulu, ya. Ayam-ayamku belum dicek."
"Oh, iya, nggak apa-apa. Salam buat keluargamu di kampung. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Pak Darman menutup teleponnya, lalu menaruh sangkar burung di halaman rumah. Rupanya, obrolan mereka diam-diam didengar oleh Ayu. Gadis itu bergegas keluar, menghampiri ayahnya.
"Oh, jadi Bapak tetap bersikeras menjodohkanku dengan anak juragan ayam itu?!"
"Ini demi kebaikanmu, Yu."
"Kebaikan apanya? Pokoknya aku tetap akan menolak perjodohan itu. Lihat aja, nanti akan ada laki-laki yang Ayu kenal datang ke rumah buat melamar."
"Oh, oke. Kalau misalkan dalam seminggu ucapan kamu nggak terjadi, kamu harus mau nikah dengan anaknya Pak Yayan."
Tanpa mengiyakan, Ayu masuk ke kamarnya, lalu mengganti baju. Pakaiannya yang semula terbuka, menjadi lebih tertutup. Tak lupa ia memakai kerudung seperti akan pergi ke pengajian. Setelah berpakaian rapi, Ayu keluar kamar dengan tergesa-gesa.
Pak Darman yang melihat tingkah aneh Ayu, seketika mengerutkan dahi. Tidak biasanya gadis itu memakai hijab seperti wanita salehah. Saking penasarannya, Pak Darman pun menghampiri Ayu.
"Mau ke mana kamu?"
"Nyari ilham."
"Astagfirullah! Si Ilham udah nikah, Yu. Jangan ganggu rumah tangga orang!"
Tanpa menghiraukan perkataan ayahnya, Ayu melangkah cepat meninggalkan rumahnya.