Justin menoleh kearahnya tersenyum.
"Tenang, Kantor Catatan Sipil sudah tutup. Aku megantarmu pulang. Dimana kau tinggal?"
"Ikuti saja jalan ini," Ujar Cella, menyadari jika kebetulan mereka sudah di arah yang benar. "Di Taman Ratu dua belas, tempatnya," tambah Cella. Justin hanya mengangguk dan menyetir dalam diam.
"Kau tahu, kau boleh menyetel radio-nya," Ujar Justin lagi, membuatnya menoleh.
Mobil berhenti di lampu merah, dan Justin menunujukkannya kepada-Nya tombol-tombol yang dapat ia gunakan. "Pencet disini untuk radio, ini bluetooth, ini untuk GPS, volume di sini, dan pengaturan disini," jelasnya, sebelum lampu berubah hijau, dan mobil kembali berlaju.
Cella mengulurkan tangannya untuk membuka radio, ia mencari saluran acak, dan saat menemukan sebuah radio yang memainkan lagu cukup bagus, ia membesarkan sedikit volume-nya, dan kembali menatap keluar jendela.
langit yang menggelap menampakkan ccahaya kuning-oranye yang indah. Rintik-rintik hujan mulai perlahan turun, dan titik-titik air menghiasi kaca mobil. Namun, Cella. mendapatkan bayangan terbenamnya matahari disanana, dan menghela nafasnya.
"Berhenti disini," Ujar Cella tiba-tiba.
"Apa orang tua-mu di rumah?"
Cella menggeleng, "Entahlah, tapi jangan temui mereka hari ini," pinta Cella. Ia merasa semua terlalu cepat adanya, dan ia tidak yakin apa yang harus ia katakan kepada mereka.
"Baiklah, mana ponselmu?" Tanya Justin, mengulurkan tangannya.
Cella menatap tangannya sesaat, sebelum meraih ponsel nya di dalam tas, dan meletakkannya di tangan Justin yang tampak cukup besar untuk meremukkannya.
Justin menatapnya sesaat, sebelum akhirnya menerima ponsel itu, dan mulai mengetik. Tidak lama, terdengar suara dari kantong Juatin, dan mengembalikan ponsel Cella.
"Ini, masuklah. Aku akan menghubungimu nanti, " ujar Justin.
Cella mengangguk, dan melangkah keluar dari mobil. Ia menatap ke arah Justin untuk sesaat, kemudian melangkah menuju rumah-nya.
Justin memperhatikan-nya sampai ia tiba di rumah, baru kemudian pergi dari tempat itu.
Cella terbaring di kamarnya, lampunya dimatikan, dan sangat pengap. Matanya mengedip memandang kegelapan, tidak yakin jika ia baru terbangun dari mimpi atau tidak.
Tepat pada saat itu, ponselnya berdering, dan Cella menemukan nama yang membuatnya mengedip tidak percaya.
tulisan : 'suamiku' tertera disana, dan panggilan itupun berhenti, digantikan dengan suara pesan baru diterima.
'Jangan lupa makan malam. Aku akan menjemputmu besok jam 10' jelas pesan itu.
Cella menatapnya melongo tidak percaya. Menjemputnya?
Dengan cepat ia mengetikkan balasan :
'Kau ingin bertemu dimana? mari bertemu, jangan datang kesini.'
Tepat saat itu juga ia menerima balasan kembali.
'Kalau kau akan menikahiku, tidakkah orang tua-mu harus mengenali ku?'
Cella hanya dapat menghela nafas, dan bertanya-tanya jika ia melakukan pilihan yang salah.
Keesokkan harinya, Cella kembali melakukan aktivitas nya seperti biasa. Mempersiapkan sarapan dan bekal untuk adik-adiknya, serta merapihkan rumah.
"tidak, aku akan makan dengan teman-temanku," jelas Andre, menolak bekal yang telah Cella siapkan. Cella hanya dapat merendahkan tangannya dalam diam, terbiasa dengan perlakuan Andre yang bahkan menggubris nya.
"Terima kasih," ujar Adrian, mengambil kedua kotak makan. "Aku akan kembali sore hari ini, bekal membantu-ku berhemat, " ujar Adrian, senyum menghiasi wajahnya yang membuat Cella tersenyum juga.
"Belajar dengan serius. Ayo berangkat atau kau akan terlambat," ujar Cella setelah membantu meletakkan kedua kotak makan itu ke tas bekal untuk Adrian bawa.
"Sampai nanti kak," ujar pemuda itu, berlalu keluar dari pintu.
Setelah semua telah selesai, Cella kembali menyediakan sarapan di meja setelah ia kembali dari pasar. Tepat saat itu, ayahnya muncul dan menatap semua makanan di meja.
"Berapa banyak yang kau punya? Bayarlah kartu kredit ibumu, serta kirimkan aku uang. Aku akan mentraktir teman-teman ku hari ini. "
Cella menatapnya terkejut, dan tatapan ayahnya membuatnya terdiam. "Tapi, uang sekolah-"
Cella yang memberanikan dirinya berbicara malah mendapati piring kembali terlempar kearahnya. "Hah, apa kau sedang melawan sekarang? Apa peduliku? Kau yang harus memikirkan uang sekolah mereka!"
Tubuh Cella kaku, dan matanya terpejam. Suara lemparan terus terdengar, dan sesekali ia terlonjak. Ia bisa merasakan Ayah-nya muncul di hadapannya, dan menghirup aroma alkohol disaat bersamaan kepalanya tertarik kebelakang.
"Dengar dengan baik, aku tidak peduli apa yang kau lakukan, sebaiknya kau lakukan tugasmu sebagai anak, dan berhenti omong kosong ini. Tugasmu-"
Tiba-tiba saja, Cella merasakan seseorang menarik sang ayah menjauh darinya. Matanya terbuka dengan terkejut, ingin mengetahui jika sang mama akhirnya melindungi nya. Namun yang ia lihat malah sosok pria muda yang berdiri diantaranya dan sang ayah, seolah melindungi nya.
"Apakah sebagai seorang ayah kau seharusnya mengangkat tangan pada Puteri mu sendiri?" Tanya Justin dengan keras, Cella mempertanyakan jika benar Amarah adalah apa yang ia dengar dari Justin. Pria itu marah... untuk nya?
"Apa yang aku lakukan pada Putri ku adalah sepenuhnya kebebasan ku. Apa hubungannya dengan mu? Siapa kau? " tanya sang ayah, tidak kalah keras.
"Omong kosong. Kau memanggil dirimu seorang ayah dengan perlakuanmu? Kau bahkan tidak layak dipanggil seorang pria! "
"Siapa kau pikir dirimu, berani-beraninya kau datang dan mencampuri urusan rumahku-"
Cella tidak lagi terdiam. Ia melangkah maju dan mencoba menarik Justin menjauh dari sang ayah. Tangan Justin sudah terkepal, siap melemar bogem. Tatapan matanya tajam, dan Cella sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Akan konyol jika ia yang menjadi korban pada akhirnya.
"Just-"
Namun sebelum sebuah kata terbentuk di mulutnya, suara Justin kembali terdengar menggema di sepnjuru rumahnya. Cella hanya dapat berdiri dengan terkejut dan tidak percaya.
"Saya adalah suami Cella. Jauhi tanganmu darinya," Ujar Justin tajam.
131220