Cella keluar dari kamar mandi dengan ragu, hanya handuk menutupi tubuhnya. Saat ia melihat Justin yang membuka pintu kamar, dengan cepat ia kembali masuk ke kamar mandi dan mencoba mencari alternatif lain karena ia tidak tahu bagaimana caranya agar Justin tidak melihatnya dalam handuk.
Justin yang menyadari apa yang sedang terjadi duduk di kasurnya dengan santai, memainkan ponselnya. "Apa kau ingin aku mengambilkan pakaianmu?"
"Tidak!" teriak Cella langsung. Tidak mungkin ia meminta Justin mengambilkan baju untuknya. Apa dia terlalu gila untuk kembali membiarkan Justin melihat pakaian dalamnya? Wajahnya kembali memerah.
Justin yang kembali dilanda dengan keheningan menghela nafasnya. Mengetahui Cella masih sungkan meminta bantuannya, akhirnya ia menawarkan, "Atau kau boleh mengambil pakaianku terlebih dahulu, kau tahu."
Cella menatap kearah lemari pakaian Justin, dan dengan wajah yang masih memerah, akhirnya ia menghela nafasnya untuk yang kedua kalinya. Tampaknya ia tidak memiliki pilihan lain.
Cella mengambil satu pasang piyama milik Justin dan setelah mengenakannya, dengan cepat ia berlari keluar dari kamar mandi.
"Kau boleh menggunakan kamar tepat bersebrangan kamar ini, untuk sementara," ujar Justin tepat saat Cella berhenti di depan pintu, tidak tahu kemana dia akan berlari.
"Aku menyuruhmu mandi disini karena dikamar mandi luar tidak ada sabun, maupun handuk. Besok aku akan membawamu membeli perlengkapan yang lain," ujar Justin, sebelum berjalan kearah teras yang tidak Cella sadari sebelumnya, mengangkat telepon yang tampaknya cukup serius.
Cella memandangnya menghilang di balik pintu dan kemudian merutuki dirinya sendiri saat ia sadar ia masih di kamar Justin, dan mengenakan pakaian pria itu. Kenapa ia bisa melupakan jika ia sedang berada di tengah rasa malu?
Keesokan harinya, Cella terbangun dengan waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Cella meringis dan dengan cepat keluar dari kamarnya. Sebelumnya, apapun kondisinya ia selalu terbangun di jam enam pagi, namun hari ini ia baru bangun di jam sembilan.
Cella memandang kesekeliling, tidak yakin kemana arah yang ia tuju sampai ia akhirnya menemukan ruang tamu, yang ternyata sedang kedatangan tamu.
Dengan cepat Cella berbalik, mencoba untuk tidak ketahuan olah tamu Justin namun pria itu mengangkat kepalanya dari ponselnya di waktu bersamaan, dan melihatnya terlebih dahulu.
"Hei!"
Cella terdiam, dan perlahan memutar, berbalik untuk melihat pria yang tampaknya sedang memanggilnya itu.
"Kau sudah bangun rupanya," suara Justin tiba-tiba terdengar dari tangga yang berada di ruang tamu. "Sarapan ada disana," tunjuk Justin ke sebuah arah, dan dengan cepat Cella berjalan ke arah sana, menghindari pria yang memandannya dengan pandangan tertarik.
"Menarik, kau bahkan memberitahunya lokasi dapur?"
Justin mengangkat alisnya. "Dia tunanganku. Siapa yang membiarkanmu masuk?"
Pria itu menatap kearah jemari Cella dan memicingkan matanya, "Aku tidak melihat cincin, dan kenapa kau tidak senang sekali melihatku? Aku-" Ia terdiam dan menatap Justin tidak percaya. "Apa kau baru saja mengatakan tunangan?"
Justin mengabaikannya, dan mengikuti Cella ke arah dapur. Di meja sudah tersedia dua piring pankuk, dan satu botol jus segar. Cella yang awalnya menikmati sarapannya berhenti saat ia melihat Justin ikut masuk ke dapur, diikuti pria di ruang tamu tadi.
"Wah, Pan-" Ia baru saja akan menarik piring itu kearahnya, namun Justin menariknya terlebih dahulu, dan duduk di hadapan Cella.
"Kau tidak di undang. Ini bukan jatahmu."
Ia menatap Justin tidak percaya. "Apa kau serius? Itu pankuk buatan Stacey! Aku-"
Justin menatapnya tajam, dan ucapannya terhenti. Cella yang awalnya masih mengunyah juga terdiam saat mendengar nama tersebut. Siapa Stacey?
"Tidak."
"Itu tidak adil, Aku-"
"Tidak-"
"Kalian."
Sebuah suara memotong mereka, membuat ketiga kepala di ruangan itu menoleh. Cella menemuka seorang wanita yang melangkah memasuki dapur. Wajahnya cukup muda dan rupawan. Walaupun mengenai pakaian yang longgar, tetap terlihat jelas bahwa ia memiliki tubuh yang bagus.
"Berhenti bertengkar. Berapa umur kalian?"
Ia menatap ke arah pria itu dan memicingkan matanya.
"Frangky, kau diusir kakek dari rumah, dan datang ke rumah sepupumu untuk mengajaknya bertengkar?" Ujar wanita itu tajam, membuat Frangky menatapnya dengan tatapan terluka.
"Tidak adil, aku hanya ingin pankuk, Stace. Bukankah kau membuatkannya untukku?" gumalnya, tidak lupa melemparkan Justin tatapan tajam untuk sesaat yang diabaikannya.
"Justin malah memberikanya kepada tunangannya, dan mengambil jatahku. Menyebalkan sekali," Lanjut Frangky, masih memperjuangkan hak-nya untuk tiga buntelan pankuk. Enak saja seenaknya mengambil jatahnya, sebagai saudara tidakkah seharusnya Justin tahu bahwa dia sangat mencintai pankuk!
"Tenanglah aku bisa membuatkanmu yang-" ucapan wanita itu terhenti saat ia menyadari apa yang Frangky baru saja katakan. Matanya akhirnya menemukan seorang sosok yang sedari tadi tidak ia sadari keberadaannya. Gadis itu terduduk diam, dan matanya menatap ke piring, kaku.
Stacey yang sedari tadi hanya memandang ke arah Frangky, menatap Justin secara sekilas, dan memandang ponselnya hampir melewatkan jika ada satu orang lagi diantara mereka.
"Apa kau baru saja katakan tunangan?" Tanyanya, memandang Justin sekilas sebelum memandang ke arah Cella kembali dengan tidak percaya.