"Pe-penawaran?"
Justin dengan santai menikmati kopinya sebelum melanjutkan, "Ya, penawaran."
Tangannya meraih kedalam jas yang dikenakannya, dan ia mengeluarkan satu amplop kecil, kemudian meletakkannya di meja. "Kalau kau setuju, hari ini kau boleh membawa pulang ini."
Cella membuka amplop itu dan menemukan sebuah cek didalamnya dengan nominal yang sama sekali tidak kecil, dan hanya bisa merutukinya dalam hati. Kenapa pria ini tidak bisa bicara langsung ke intinya, dan membuatnya berdebar seperti ini?
"Aku akan membiayai segala kebutuhanmu. Kau tidak perlu bekerja, bahkan kau dapat melanjutkan kuliah jika kau mau. Aku akan memastikan biaya sekolah adikmu sampai mereka lulus, dan akan memberi dana untuk orangtua-mu.
"Penawaranku adalah agar kau menikahiku."
Namun saat ia akhirnya menyatakannya, Cella menyesali ucapannya sebelumnya.
"Apa? Menikah?"
Justin mengangguk. "Aku tidak akan memaksamu untuk melakukan apapun, selain berlaku sebagai pasangan sebagaimana seharusnya di depan umum. Kau akan diperkenalkan ke keluarga, dan rekan kerjaku. Selebihnya, aku akan membantumu."
Cella terlalu syok untuk memikirkan kenapa Justin ingin menikahinya. Dengan tampangnya yang rupawan, tidak akan sulit untuknya untuk mendapatkan pasangan yang akan menikahi nya. Kenapa diri-nya?
"Kau tidak perlu tahu banyak," Ujarnya, seolah bisa membaca pikiran Cella. "Hanya itu ketentuanku. Jika kau setuju, aku akan langsung mengurus yang lainnya. "
Cella hanya dapat duduk dengan terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tetapi yang pasti, sama sekali tidak terpikir untuknya bahwa ia akan menikah. Dengan hidupnya hanya berporos pada mengerjakan tugas, belajar, dan berada di rumah, Cella bahkan memiliki teman di sekolah. Dirinya terlalu kaku untuk bersosialisasi.
"Tidakkah aku bisa membuat penawaran juga?" Tanya Cella spontan.
Bibir Justin tertarik ke keatas. "Aku mendengarkan," ujarnya, sambil bersandar dan menegak minumannya dengan santai.
Mulut Cella terbuka dan tertutup, namun tidak ada suara yang keluar. Cella menyesali spontanitasnya. Sekarang, apa yang ia dapat katakan?
"Baiklah," hela-nya. "Aku tidak tahu aku bisa menawarkan apa. Aku baru lulus, dan tidak memiliki kompetensi, harus aku akui."
Justin tiba-tiba mengangkat badannya, dan mencondongkannya ke arah Cella yang juga tercondong ke depan. Wajah mereka mendekat, dan Justin tersenyum kepadanya.
"Kalau begitu, tidakkah kau pikir tawaranku menggiurkan?" ujarnya, kemudian kembali bersandar di kursinya.
Tubuh Cella kembali kaku, dan ia hanya berkedip menatap Justin untuk beberapa saat. Mendapati jika Justin terkekeh melihat reaksinya.
Cella merasakan wajahnya memerah, dan ia mengalihkan wajahnya, menegak minumnya dengan pelan dan berdeham, mencoba menormalkan dirinya.
"Apa yang bisa kukatakan pada keluargaku?"
Justin mengankat bahunya, matanya menatap Cella intens, dan Cella merasa wajahnya kembali memanas.
"Mungkin kau bisa katakan jika kita sudah berhubungan lama sejak kau masih bersekolah. Apapun itu, " ujarnya santai, sedangkan Cella merasa panik didalam hatinya. Bisakah ia berbohong? Tapi, ia tidak pernah berbohong sebelumnya. Tidak ada yang pernah menanyakan tentang pr teman-temannya, sehingga ia tidak pernah berbohong pula mengenai itu.
"A-Aku tidak yakin," ujar Cella pelan, membuatnya menatap gadis itu tertarik.
"Katakan, apa yang biasa kau bicarakan dengan teman lelaki di kelasmu?"
Cella menatapnya bingung, namun tetap menjawab pertanyaan-nya walau dengan ragu. "Mengenai tugas dan um, PR."
"Kau memberi mereka contekan?"
"Ah itu," Cella tidak yakin jika ia harus mengatakannya. Sampai saat ini, ia tidak pernah mengira akan ada yang bertanya mengenai ini, dan memikirkan apa yang akan Justin pikirkan tentang ini. Bagaimana ia akan memandang-nya setelah ini? Teman-temannya berlaku seolah itu normal, namun secara bersamaan dengan tidak normal, karena para guru tidak seharusnya mengetahui mengenai hal ini. Jadi haruskah ia mengatakannya?
"Aku membantu tugas mereka dan mereka membayarku. Lebih jika aku mengerjakan tugas khusus, atau harus membantu menyalin jawaban," Ujarnya pelan membuat Justin terkekeh.
"Kau tidak mencoba menyalurkan jasamu ke adik-adik kelasmu?" kekeh Justin, yang sama sekali tidak Cella duga. Hal itu sama sekali tidak terpikir oleh-nya. Kenapa ia tidak memikirkan nya?
"Tentu saja, saranku, kau jangan melakukannya di semester-semester akhir kuliah. Jika kau mengerjakan skripsi teman-teman mu, tidakkah kau membantu mereka lulus secara cuma-cuma?
" Akan tetapi, akupun tidak akan merekomendasikan kau melakukannya," ujar Justin pelan. "Aku ingin agar kau fokus dengan kuliahmu, dan kau juga akan perlu menemaniku di saat-saat tertentu."
"Ah," ujar Cella kemudianterdiam akan itu. Ia tidak menduga jika Justin akan mengatakan itu. Sesuatu di hatinya terasa lucu, dan ia mencoba mencegah dirinya dari kembali memerah.
"Jadi," Justin kembali tersenyum padanya, dan Cella melihatnya mengulurkan tangan-nya kepadanya. "Maukah kau menikahi ku?"
Cella menerima uluran tangannya dan tiba-tiba, Justin menunduk dan mengecup belakang tangannya, mengejutkannya.
Justin melepas genggamanya pada tangan Cella dan meraih kedomptnya, kembali meletakan selembar uang, dan menyimpannya di meja. "Ayo," ujarnya, kembali meraih tangan Cella, dan membawanya keluar dari kafe.
Cella hanya mengikutinya dalam diam, mengikutinya seolah anak ayam yang kebingungan. Justin menyerahkan tiket kepada seorang petugaa, dan petugaa itu kembali dengan mobilnya. Mobil ber pintu empat berwarna perak yang tampak mengkilau.
Justin membiarkannya masuk ke dalam kursi penumpang, dan berputar menuju kursi pengemudi. Cella hanya bisa memadang interior mobil itu dengan terpukau. Tampak sangat berbeda dengan taxi yang biasa di naikinya.
"Kemana kita?" tanya Cella akhirnya saat mobil itu melaju.
"Kantor catatan sipil."
131220