Chereads / Menikahinya untuk perlindungan / Chapter 3 - Penawaran

Chapter 3 - Penawaran

Lelah. Itu adalah satu kata yang Cella bisa gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana keadaannya saat itu. Akan tetapi, ia juga merasa lega. Walau tidak banyak, setidaknya ia tidak kembali dengan tangan kosong.

Ia kembali teringat akan janjinya dengan Justin, dan jantungnya berdegup lebih cepat. Cella merasa... gugup. Ya, gugup adalah cara yang sempurna untuk mengatakannya. Cella tidak tahu apa yang pria itu harapkan, dan ia tidak tahu apa yang bisa ia tawarkan.

Saat pintu terbuka, tiada satupun lampu tersisa. Cella berjalan dalam kegelapan dengan langkah yang ingat tepat dimana arah kamarnya. Lokasi kamarnya berada jauh di paling belakang. Ukurannya pas untuk sebuah kasur kecil, dan sebuah lemari pakaian. Dan hanya itulah yang ia butuhkan.

Cella menghela nafas saat tubuhnya menyentuh matras yang dingin. Tulang di tubuhnya terasa seperti menghela nafas lega juga, dapat menikmati empuknya busa kasur dan Cella segera terlelap.

"Cella?" panggil sebuah suara diikuti dengan ketukan pintu. Orang itu terus memanggil, dan Cella terlonjak bangun dari tidurnya.

Cella mengutuk, menginat dirinya lupa mengecas ponselnya, dan hampir telat terbangun. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul enam lewat sepuluh. Cella meringis, dan dengan cepat berlari ke arah pintu.

"Adrian," panggilnya ke pemuda yang mengetuk pintunya, adiknya. "Maafkan aku, biar aku siapkan sarapanmu."

Cella dengan cepat berjalan menuju dapur, dan kembali meringis saat melihat persediaan roti sudah habis. Ia membuka kulkas dan menghela nafas saat melihat persediaan telur, serta masih adanya nasi kering sisa kemarin.

'Sempurna,' pikirnya, menyalakan kompor dan menuangkan margarin di panci.

Adrian menatapnya dalam diam, sebelum tiba-tiba bertanya, "Dimana kau semalam?"

Cella terdiam, dan ia melanjutkan.

"Aku terbangun di jam dua, dan kamarmu masih kosong, " jelasnya.

"Apa kau baik-baik saja? perlukah aku-"

"Tidak-" Cella memotongnya.

"Tidak perlu. semua baik-baik saja, " jelas Cella.

Saat panci sudah panas, Ia memecahkan telur, mengacaknya sampai matang, dan menuang semua persediaan nasi ke panci. Ia menuang garam, dan lada, serta kecap, lalu mengaduknya sampai rata, dan mencokelat, dan langsung menyajikannya ke dua piring.

"Cepat sarapan, dimana Andre?" Tanya Cella cepat, menyadari menjelang pukul tujuh, dan jika si kembar kedua belum menampakkan dirinya.

"Kalian perlu berangkat dua puluh menit lagi. Adrian, selesaikan makanannmu, aku akan-"

Adiknya yang kedua pun muncul. Sang bungsu dari kedua kembar tidak identik itu.

"Ah, nasi goreng," ujarnya tersenyum.

"Bisakah aku minta sambal?" tanyanya langsung, menunggu Cella memberi, dan mengadukkan sambal ke makanannya.

Ia makan langsung dengan lahap, dan pergi begitu saja saat sudah selesai, berbeda dengan Adrian yang meletakkan kedua piring itu di meja kotor terlebih dahulu.

"Terima kasih, sarapan hari ini lumayan, " ujar Adrian singkat, kemudian menyusuli adiknya untuk ke kesekolah diantar oleh supir yang sudah menunggu mereka.

Memang walau hubungan mereka bertiga tidak terlalu seperti adik dan kakak, Adrian selalu menatapnya sebagai sosok kakak, dan sebaliknya. Hubungan mereka cukup baik dengan kondisi Adrian yang cenderung pendiam/ dingin jika dibandingkan dengan Andre.

Cella lanjut menyiapkan beberapa lauk untuk sang mama dan papa sebelum melanjutkan tugasnya yang lain, membersihkan rumah, dan memastikan semua yang akan perlu digunakan sudah tersedia, sebelum ia meninggalkan rumah.

Cella terduduk di salah satu kursi dengan lelah, memandang dengan puas semua kekacauan yang sebelumnya ada sudah satu persatu menghilang.

"Mana uangnya? "

Suara sang papa membuat Cella terlonjak. Dengan cepat ia bangun, dan berbalik. Mempersilahkan sang papa duduk di meja makan, dan kemudian menyimpan uang yang di dapatkannya di meja.

Ia menatap Cella dengan alis terangkat, kemudian mulai menghitung uang yang ada.

Cella tidak yakin apa yang harus ia katakan.

Haruskah Ia meminta maaf karena tidak mendapatkan banyak? Haruskah ia menjelaskan masalahnya?

"Dari mana kau dapat uang ini? dua juta? ini bahkan tidak cukup untuk membayar biaya listrik, belum makananmu. Kau menjual dirimu hanya untuk uang kecil ini?"

Cella yang awalnya akan berbicara kini menutup kembali mulutnya. Tubuhnya menjadi kaku, dan ia tidak bisa melontarkan apapun. Telinganya seperti berdering, dan lidahnya terasa kebas.

Sekujur tubuhnya terasa seperti seseorang baru saja menuangkan air membeku di atas kepalanya.

Cella memandang jam, dan membiarkan kakinya melangkah dengan sendirinya. Ia merasa tidak sadarkan diri sepanjang perjalanan, seolah orang lain yang menempati tubuhnya. Cella terduduk di Cafe itu dengan diam. Tidak yakin apa yang harus dilakukannya.

Apa.. Itu satu-satunya jalan? Haruskah ia melakukan itu? Tapi, bagaimana cara ia menyampaikannya? Bagaimana jika ia malah tersinggung dan menolak kembali berhubungan dengannya? Cella bahkan tidak menyadari jika pria itu sudah datang, dan menempati kursi dihadapannya.

"Aku terkejut menemukanmu terlebih dahulu. Kau pesan apa? " tanya pria itu, seolah-olah mereka teman lama.

"Ah, aku-" Cella merasa kepalanya berputar, dan sesuatu menyekat di tenggorokan nya. Jantungnya berpacu dengan cepat dan Pria itu terlebih dahulu memesankannya untuk nya.

"Apa kau beristitahat dengan cukup? Kau tampak kurang baik."

Cella mengangguk, dan berdeham.

Sang pegawai mengantarkan minuman mereka, dan ia menyuruh Cella minum terlebih dahulu.

Cella menemukan segelas hangat teh berwarna kekuningan beraroma bunga-bungaan, yang membantunya rileks, dan meredakan tenggorokan nya yang kering.

Justin pula melakukan yang sama. Ia menegak minumannya yang dari aromanya Cella tebak merupkan segelas kopi. Saat ia meletakkan cangkirnya, Cella melihat minuman kecokelatan terang.

"Jadi, sudahkah kau memikirkannya?"

Cella mengangguk, menarik nafas panjang dan menghembus-nya. 'baiklah, ' pikirnya. 'ini saatnya untuk mengambil keputusan.'

"A-"

Entah jika Justin bisa melihat keraguan di wajahnya, membaca gerak tubuhnya, atau membaca pikiran nya, apapun itu, Justin tiba-tiba mengutatarakan sebuah kalimat yang membuatnya lega sekaligus lebih gugup.

"Aku memiliki sebuah penawaran untuk mu."

121220