Mata Cella membulat saat tiba-tiba gelas ditangannya dirampas. Ia menatap ke arah Pria yang tiba-tiba muncul disampingnya, dan hanya bisa melihat bagian belakang pria itu saat ia meletakkan gelasnya di meja bar, dan menatap pria yang memberikannya minuman itu.
"Apa kau serius? kau akan memberi obat kepada pengunjung kelab ini? tidakkah kau tahu tempat ini memiliki cctv lengkap? pergi sekarang sebelum aku memanggil polisi!" ujarnya tajam.
Pria itu menatapnya tidak senang, namun untuk mencari aman, pria itu pergi begitu saja tanpa menoleh dua kali. Jika masalah ini sampi di polisi, akan panjang ceritanya. Lebih baik ia pergi.
Ia kemudian berbalik, dan Cella menatapnya dengan terkejut. Dari suara dan cara berpakaiannya, pria ini tampak cukup dewasa. Namun saat melihatnya, Pria ini tampak masih berusia sekitar dua puluh tahun. Hidungnya yang mancung, dan struktur wajahnya yang tajam membuat Cella ragu jika pria ini bukanlah seorang selebritas.
"Jika kau tidak melihat minuman itu datang, jangan menerima minuman dari orang tidak dikenal. Kau tidak tahu apa yang dapat mereka letakkan didalamnya, " ingat pria itu.
Cella mengangguk mengerti, dan berterima kasih kepadanya. Namun Cella tidak menduga jika pria itu akan malah turut duduk disebelahnya, dan memperhatikannya menyelesaikan makanannya.
"Berapa usiamu?" tanyanya tiba-tiba, membuat Cella terlonjak. Ia belum berusia 21 tahun, dan tidak yakin jika Ia harus berbohong atau tidak kepada pria ini. Lagi pula, mereka sedang berada di dalam sebuah kelab malam.
"Aku memperhatikanmu dengan sang manajer. Mengapa kau membutuhkan dana?" tanya pria itu lagi, mengejutkan Cella.
"Aku-"
Setelah kejadian sebelumnya, tidak seharusnya Cella berbicara dengan seorang pria asing. Akan tetapi, jika pria itu mengenali sang manager, setidaknya pria ini dapat dipercayainya, walau sedikit.
"Aku perlu membiayai adik-adikku," ujar Cella setelah pertimbangan.
"Mereka masih bersekolah, dan sayangnya karena aku baru lulus, aku belum mendapatkan sebuah pekerjaan untuk mendukung mereka," jelas Cella dengan singkat.
Cella memikirkan besarnya biaya kedua adiknya, dan hanya bisa menghela nafas dalam hati. Kedua adiknya pergi ke sekolah bagus yang sayangnya membutuhkan biaya yang tinggi. Cella tidak yakin bagaimana sang papa dapat menyiapkan semua dana diawal saat akan mendaftarkan mereka.
Bahkan dengan bantuan sang papa, Cella masih kekurangan banyak dana untuk bersekolah. Ia masih harus membayar buku, seragam, biaya ekstrakurikuler dan ujian. Bahkan, ia harus melewatkan makan. Dana yang Cella terima berasal dari hasil mengerjakan pr dan membagi contekan kepada teman-temannya sekelasnya.
Pria itu menatap diamnya Cella. Cella tampak Cukup muda, namun tidak seperti seseorang yang seharusnya berada di kelab. Ia tidak terlihat sedewasa itu, namun tidak juga tampak seperti seorang anak remaja.
Bahkan dalam gelapnya tempat itu, ia bisa melihat garis kecil di pipi Cella. Dari apa yang lihat, ia tidak ingin menduga duga apa yang terjadi dengan gadis itu, tetapi dengan menunduknya gadis itu, Ia yakin apa yang terjadi tidaklah menyinangkan.
"Aku tidak yakin bagaimana aku harus mengumpulkan dana secepat itu. Tetapi jika bayaran tidak segera datang, adik-adikku akan diberhentikan dari sekolah," keluh Cella, sambil menyentuh keningnya.
"Ah, " Cella meringis. "Maaf, aku malah menumpahkan masalahku kepadamu."
Pria itu melempar senyum kecil kepadanya. "Bagaimana jika kita cari tempat lain? Tempat yang.. " ia membuat sebuah gestur kecil dengan tangannya, dan menatap sekitat mereka. Cella menyadari jika mereka masih di kelab malam. Konyol bagaimana ia bisa melupakan fakta itu dengan kebisingan yang ada.
"Baiklah, " kekeh Cella.
Pria itu membawanya ke sebuah kafe di dekat kelab itu. Walau suasana nya tidak banyak berbeda, dan tetap gelap, setidaknya di kafe itu atmosfirnya berbeda. Tidak ada aroma rokok, alkohol, maupun keringat orang-orang yang berdansa.
"Apa yang kau inginkan? Aku tidak akan menawarkan-mu alkohol tetapi jujur saja, tidak banyak pilihan disini, " jelas pria itu- matanya menatap ke menu di tangannya, kemudian mendorongnya kearah Cella.
"Apa saja-"
"Jika kau katakan apa saja, aku akan memesankanmu segelas susu, percaya tidak percaya, " potongnya membuat Cella tertawa.
"Hei, mereka menawarkan kopi. Tidak mungkin jika mereka tidak memiliki susu. Apa mungkin kau ingin susu?"
Cella menggeleng, senyum terukir di wajahnya. "Baiklah, kurasa Latte tidak masalah," pilih Cella. Tubuhnya dapat menggunakan sedikit kafein untuk menambah energinya yang mulai surut.
Pria itu mengangguk, mengangkat tangannya, dan dengan gesit sang pelayan datang menghampiri mereka. "Segelas Latte, dan segelas Chardonnay tahun 20xx, suhu ruangan, " ujarnya singkat, mengangguk terima kasih kepda sang pelayan sembari menyerahkan buku menu-nya kembali.
"Sudah berapa lama kau membayar uang sekolah adik-adikmu?" tanyanya saat pegawai itu pergi.
"Baru, setelah aku lulus. "
Fakta jika Cella harus membiayai sekolah kedua adiknya semasa sekolah tidak akan lebih baik. Akan tetapi, ia tetap terkejut mengetahui jika Cella harus mulai membiayai mereka tepat setelah lulus.
Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Cella meneguk gelas kopi panasnya, dan memperhatikan dalam diam saat pria itu meraih gelas minumannya.
ia memutar cairan merah di gelas itu dengan gerakan ringan, kemudian meneguknya. Cella hanya bisa menatap cairan itu mengalir dari gelas ke bibir pria itu, dan dengan cepat mengalihkan pandangannya. Ia tidak seharusnya memandang.
Cella meraih gelas kopinya dan meneguknya cepat, ingin meredakan rasa kering di tenggorokan nya, melupakan minumannya yang panas, dan hampir tesedak saat Cella merasakan lidahnya terbakar.
"Berapa?"
"Ah?"
"Berapa biaya yang kau butuhkan?"
Cella terlonjak. Melihat keseriusan pria itu, Cella menuturkan sebuah nominal.
Pria itu menarik keluar dompetnya, dan tiba2 menyerahkan sejumlah uang, dan meletakkannya di meja.
"Ambil lah. "
Cella menatapnya terkejut, dan ia mendorong uang itu kearah Cella.
"Aku hanya akan membantumu sebanyak ini untuk sekarang. Kau boleh pikiran apa yang bisa kau tawarkan kepadaku untuk gantinya, dan setelah itu kita bisa bicarakan lagi selebihnya. Kau boleh tentukan waktunya. Katakanlah.. lusa? "
Mata Cella membulat. "Ah."
"Begitu saja? Maksudnya, tidakkah kau takut aku akan kabur dengan uang ini?"
Ia bersandar, dan meraih gelas nya. "Ini masalah integritas. Akankah kau lari? " tanyanya, meneguk minumannya.
"Lagipula aku yang menyerahkan uang ini, kau tidak merampas nya dariku."
Akankah Cella lari dengan sejumlah uang kecil? mungkin. Namun Ia meragukannya. Orang waras mana yang akan melepas kesempatan besar untuk tangkapan kecil?
Cella mengambil uang itu dengan perlahan, dan mengangkat kepala nya. "Besok."
Wajah Cella memerah. Apa ia terlihat terlalu antusias untuk mendapatkan uang? Ia harap tidak. Setelah kebaikan Pria ini, konyol rasanya jika ia tidak segera memberinya jawaban.
"Beri aku dua belas jam untuk memikirkan-nya. Aku akan menemuimu besok. Aku tidak akan lari setelah menerima bantuanmu. "
Ia menatap pergelangan tangannya, dan menatap jam-nya.
"Sudah menjelang dua. Kau perlu tidur. Namun aku tidak akan meminta-mu untuk menemuiku di malam hari."
Cella mengannguk. Apa pria ini benar-benar memikirkan-nya? Akan tetapi ayahnya tidak akan peduli, dan dia tetap harus bangun pagi untuk menyiapkan adik-adiknya kesekolah. Sudah jelas pria ini menolak untuk menemuinya di jam dua siang, walau tidak ia sangka juga kini sudah pukul dua.
"Jam lima. Aku akan menemuimu jam lima, " pilih Cella dan pria itu mengangguk, meletakkan beberapa lembar merah di meja, dan menimpannya dengan gelas minumannya yang sudah kosong tanpa Cella sadari.
"Jam empat. Temui aku disini jam empat," ujarnya berdiri, dan hendak pergi saat Cella menghentikan-nya.
"Bisakah aku tahu nama-mu? A-aku Cella, " ujarnya, hampir melupakan jika ia belum memperkenalkan dirinya.
Pria itu berhenti di tempat, dan hanya menolehkan setengah badannya untuk menatap kembali ke arah Cella. "Justin, " ujarnya singkat.
Senyum kecil merekah di wajahnya, dan tepat setelah itu ia berbalik dan dengan langkah panjang meninggalkan kafé itu.