Zas tidak bisa mepredeksi rasa sakit yang akan dideranya. Jika dia bisa protes dan menarik kembali ucapannya, pasti dia tidak akan meremehkan pembangkitan kali ini. Tidak, bukan seperti itu! Lebih tepatnya, dia sudah menduga rasa sakitnya, maka Zas berusaha untuk mengumpulkan tenaga terbaik. Akan tetapi, rasa-rasanya tidak cukup. Zas merasa tenaga yang dia persiapkannya dengan baik habis tak bersisa.
Punggungnya sudah bersayap, tapi Zas masih berada di posisi yang sama. Meringkuk seperti janin. Zas memeluk tubuhnya erat-erat. Sinar mahkota yang ada di atas kepalanya samar-samar mulai terlihat. Mata hitamnya mulai mengabur. Zas takut pembangkitan kali ini gagal dan membuatnya jatuh pingsan … apalagi mati.
Akan tetapi, pandangan kabur itu berubah jelas. Dihadapannya ada Ash yang duduk memandang rembulan. Pandangannya sayu, seperti sedang merindukan sesuatu. Zas mengernyit. Apa Ash merindukan dirinya?
"Tidak, tidak! Itu tidak mungkin," elak Zas.
Lalu, Ash menoleh, melihat Zas masih terduduk di atas tanah. "Apa yang kau lakukan di sini, Sayang?"
Dengan mata kepalanya sendiri, Zas melihat Ash begitu lembut dan mengulurkan tangan dengan sopan. "Apa ini benar-benar kau?" tanya Zas dengan mata berkaca-kaca.
Batinnya goyah, Zas tidak bisa melakukan tindakan yang pasti. Dia ingin memeluk Ash dan berkata bahwa selama ini dia merindukannya. Zas ingin menangis dalam dekapan. Batinnya semakin kacau saat perlakuan Ash semakin membuatnya nyaman. Apa selama ini Ash sungguh berubah? Apa semacam ini pribadi Ash yang sebenarnya?
Zas kalut, kepalanya terasa pecah.
"Ada apa, Zas?" tanya Ash.
Mata Zas melebar. "Tidak, ini bukan dirimu yang sebenarnya. Ini bukan kenyataan. Ini hanya ujian yang membuatku patah. Akan tetapi, bohong jika aku tidak mengingkan masa-masa seperti ini. Maka dari itu, aku bersyukur."
Zas merasakan tubuhnya lebih ringan. Pandangan terakhirnya saat Ash masih mengulurkan tangan dan hendak menggapainya. "Maaf," ucap Ash kala itu membuat Zas menitikan air mata saat bangun dan tersadar kembali.
"Terima kasih," ucap Zas dengan lirih.
Disisi lain, tanpa sadar Ash ikut bersedih saat memandang luar jendela. "Anda menangis, Tuan. Kenapa?" tanya Bai sembari membawa secangkir teh, lal meletakkannya di meja. "Angin malam tidak baik untuk kesehatan. Izinkan saya menutupnya."
Ash diam tak bergeming.
"Tuan," panggil Bai lagi, "tehnya sudah siap, lebih baik Anda minum sebelum dingin."
Ash tak kunjung beranjak.
Bai ikut diam. Tidak biasanya Ash bertindak demikian. Paling tidak, lelaki itu selalu menjawabnya. Apa yang membuat Ash bertindak demikian, Bai ikut penasaran. Akan tetapi, Bai sadar bahwa tidak ada hak untuk bertanya lebih jauh. Jika bisa, Bai ingin menghiburnya.
"Tuan." Bai mencoba sekali lagi.
Ash tetap diam.
Bai tidak bisa mengendalikan diri. "Tuan, apa yang kau pikirkan? Apa wanita yang selama ini kau ceritakan kepadaku pantas mendapatkan perlakuanmu yang seperti ini? Apa dia akan mengasihanimu dan akan kembali ke dalam pelukanmu? Apa dia pantas bersanding denganmu? Tidak! Dia tidak pantas mendapatkanmu. Kau seharusnya bisa bahagia dengan yang lain."
Mata Ash berkilat, Bai merasa jantungnya tertikam. Bai terkejut. "Kau benar. Dia tidak pantas bersanding denganku." Bai tersenyum. Namun, ucapan Ash terasa lebih memilukan. "Kau tau kenapa? karena di sini aku yang menjadi pengkhianat. Dia tidak pantas bersanding dengan seorang pengkhianat sebab dia lebih mulia."
Ash pergi seperti mayat hidup. Teh buatan Bai tidak disentuh sama sekali. "Apa benar begitu?" tanya Bai lirih.
Dalam benak Bai, berbagai pertanyaan tersimpan. Membutuhkan jawaban yang pasti. Sudah lama, dia melayani Ash. Akan tetapi, sampai sekarang dia tidak bisa memahami tuannya itu. Bahkan secuil dari beras pun tidak. Siapa sebenarnya wanita itu, siapa Ash, apa yang terjadi, kenapa kisahnya menyakitkan di hati, dan banyak lagi. Semuanya seperti benang kusut yang tidak diketahui ujungnya sebagai asal muasal dan akhir. Semengerikan itu kah?
Bai memegang cangkit teh dan meminumnya. "Apa aku juga menjadi seseorang yang tidak bisa mendapatkanmu? Apa cintamu membuat kau tidak bisa menoleh orang lain? Bahkan teh ini terasa hambar."
---
Setelah sekian lama, akhirnya Zas bisa mendapatkan sayapnya kembali. Meski membutuhkan waktu untuk memulihkan kekuatan seperti dulu, tapi apa yang dia dapatkan saat ini sudah cukup. Zas masih bisa dikatakan sebagai musuh yang tak tertandingi.
Padangan Zas semakin tajam. Semua yang dilihatnya menjadi lebih lambat. Bukankah sudah saatnya menjadi manusia yang terkenal dan berpengaruh? Zas merasa itu akan membantu sembari mencari kaumnya. Sebelum itu, dia ingin mencoba menghubungi keluarganya. Untuk beberapa saat, bahkan sampai beberapa tahun ke depan, akan berbahaya jika menemui Narn dan Day secara langsung.
Zas melihat sayapnya yang besar. Dia terkagum dengan sayapnya sendiri. "Ini lebih baik dari bayanganku." Setelah itu, dia mencabut dua bulu. Cukup sebagai hadiah bahwa dia baik-baik saja. Dua bulu itu terbang, menuju kediaman si ibu dan adiknya.
Tentu saja, itu sedikit mengejutkan Narn dan Day ketika sebuah bulu muncul dihadapannya masing-masing. Day menatap Narn. "Apa ini, Bu?"
Mendengar pertanyaan Day, Narn pun menggeleng.
Tak lama ada sebuah suara, "Bu, Day, ini adalah bagian dari sayapku. Aku baik-baik saja, kalian jangan khawatir. Letakkan bulu ini di kening kalian agar kita bisa saling menghubungi tanpa bertemu. Dan, ini akan membantu kalian terlindungi. Khusus untukmu, Day, jadilah kuat sampai aku datang dan menjemputmu."
Mata Day berkaca-kaca. "Bu, bahkan dia masih peduli dengan kita."
"Ya."
"Bukankah bulu ini cantik, Bu? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana penampilan kakak sekarang."
"Dia akan semakin cantik," ucap Narn.
"Tentu saja!" Day bergembira.
Lantas, mereka meletakkan bulu itu dikening. Seketika, bulu itu menghilang seolah masuk secara paksa dan membuat tubuh mereka lebih ringan. Ada kekuatan tambahan yang membuat mereka lebih percaya diri yang kuat. Sebenarnya, bukan itu saja yang membuat mereka terkejut. Tetapi, wajah dan tubuh mereka menjadi lebih bersih dan cantik.
"Umurku sudah cukup tua, tapi kenapa terasa seperti masih muda?" ucap Narn.
"Bu," ungkap Day dengan keterkejutannya.
Sebuah kaca yang tergantung di tembok mereka dekati perlahan-lahan. Genggaman mereka semakin kuat. Lantas mata mereka membola. "Bu, apa ini benar-benar kita? Ibu seperti kaum bangsawan yang memiliki selera tinggi. Dan aku, Bu, lihat! I-ini tidak pernah sekalipun kubayangkan. Tidak sama sekali bahkan dalam mimpi."
"Apa kalian baik-baik saja?" ujar seseorang yang tiba-tiba terdengar di telinga.
"Hah! Apa ini kau, kak?"
"Ya."
"Ini gila, kau seharusnya berada disini untuk melihat betapa terkejutnya kami. Bahkan ibu masih diam membeku di depan cermin." Day sangat bersemangat.
"Jangan berlebihan. Ingat, setelah ini kau harus menjaga ibu dengan baik. Anggap apa yang kalian dapatkan saat ini adalah modal. Kau harus kuat dan berani. Entah bagaimana caranya, kau harus menjadi pemenang. Tidak peduli jalan apa yang kau tempuh."
"Bagaimana dengan anak-anak itu?" Day sedikit ragu.
"Apa kau meremehkan kekuatanku? Ah, kau bisa mencobanya besok."
"Kak---"
"Sudah, aku harus beristirahat. Jangan lupa sadarkan ibu dari serangan jantunnya."