Chereads / FANTASY WINGS / Chapter 12 - #12

Chapter 12 - #12

Zas mengabaikan apa yang terjadi dengan Ash. Tidak peduli apa yang akan terjadi, dia harus mengendalikan diri. Dia sama sekali bukan anak kecil yang bisa dibodohi. Jiwa sudah berusia sangat lama, beribu-ribu tahun. Dia tidak akan gagal hanya perasaan seperti ini. Enggak penting!

Zas pergi dari café itu setelah Ash terlebih dulu pergi karena dia usir. Sudah pantas! Dia mengabaikan tatapan tercengang dari para pelanggan café. Tidak bisa dipungkiri kalau adegan meninju Ash membuat semua orang terkejut. Tidak masuk akal jika seorang perempuan mampu membuat seorang lelaki terpental jauh hanya karena pukulan. Untuk hal ini, Zas hanya bisa merutuki kebodohannya sendiri. gara-gara Ash melakukan hal bejat, dia jadi kehilangan kendali.

Sedangkan, Ash terkena omel Bai ketika sudah sampai di rumah dengan rasa nyeri. Pelayannya itu memang sangat posesif terkait keperluan majikannya. Tidak peduli apa pun yang terjadi, Ash adalah sosok paling penting yang perlu didahulukan. Sedikit ekstrem, tapi sepertinya itu bukan bentuk kesetiaan biasa. Semesta tau kalau Bai adalah pelayan yang mencintai majikannya sendiri.

Bai menghela napas ketika perlahan-lahan mengobati bahu Ash. Tidak ada luka, tapi Bai tau nyerinya. Tulang selangka yang patah bukan hal kecil. Alhasil, Bai hanya bisa menunggu seorang dokter yang sedang dalam perjalanan. Jika Bai bisa mengobati patah tulang, perempuan itu tidak perlu berdiri yang melihat Ash kesakitan. Sesekali memperhatikan wajah Ash yang terdiam sejak tadi. Seperti biasa, lelaki itu tidak memiliki banyak ekspresi jika tidak dihadapan Zas. Ya, itu sudah wajar.

Akan tetapi, Bai selalu berharap sesuatu sejak dulu. "Tuan, apa Anda telah melakukan sesuatu hingga mendapat luka ini?"

Bohong jika Bai mengatakan tidak tau. Semua orang tau jika Ash dan Zas baru saja melakukan kencan di sebuah café. Topik pembicaraan yang panas sampai sekarang. Hanya saja, Bai tidak mau dengan suasana canggung dan sunyi seperti ini. Lagi pula, Bai penasaran jawaban yang diberikan kepada Ash terkait hal ini. Lelaki itu akan berbohong atau tidak.

Entah Ash menyadari atau tidak, ada senyuman yang mengembang di bibirnya. Sejujurnya, Bai sedikit terkejut dengan hal itu. Sebagai seorang pelayan yang dibina sejak kecil, Bai tidak pernah melihat Ash tersenyum seindah itu. Batinnya goyang. Hatinya kacau. Pikiran Bai berkecamuk.

Apa yang bisa Bai lakukan hanya membeku sampai seorang dokter datang dan memeriksa keadaan Ash. Hasilnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tubuh Ash memilik kekuatan yang cukup untuk menahan sakit dan efeknya. Walaupun dokter itu sempat bertanya-tanya alasan Ash mendapatkan luka itu. Ya, dokter itu tidak tau gosip panas yang beredar hari ini, sih.

Setelah si dokter mengundurkan diri, Bai mempertanyakan hal yang sama. "Tuan, apakah Anda telah mengalami kecelakaan hebat? Haruskah kita mengganti supirnya?"

Ash menggeleng. "Tidak. Luka ini bukan karena kecelakaan seperti itu. seseorang telah memberikan kenang-kenangan tak tergantikan sebagai hadiah pertemuan kita."

Napas Bai terasa sesak. Meski dirinya tau kalau itu adalah luka yang---mungkin---disebabkan oleh Zas, Bai tidak tau dengan persis tragedinya. Hal ini dikarenakan live streaming yang dilakukan oleh pelanggan café sudah terputus. Ada seseorang yang tidak ingin berita itu tersebar lebih jauh. Bai tau siapa yang melakukannya. Tidak lain adalah Blauw.

Bai tidak tau harus bersyukur atau mengeluh. Bai berkata, "Hal seperti ini tidak bisa dikatakan sebagai hadiah spesial, Tuan. Mematahkan tulang selangka adalah sebuah kekerasan yang pantas dilaporkan atau dibalas. Saya benar-benar tidak tau siapa mampu melakukan ini. Apa orang itu memiliki kemapuan lebih tinggi dari Anda?"

Sejujurnya, Bai memancing agar Ash mengatakan nama Zas.

"Kau benar. Dia memiliki kemampuan melakukan itu."

Bai terdiam. Jika memang benar, berarti Zas bukan perempuan biasa. Sesungguhnya, Bai tidak tau asal-usul Zas. Ada sesuatu yang rumpang dalam hubungann Ash dan Zas. Bai tidak sanggup memasuki dan mengetahui celah yang rumpang itu. Setidaknya Bai memiliki firasat kalau mereka bukan manusia normal.

"Dia?" Bai kembali bertanya.

"Kau tau dank au pernah memarahinya."

Kena. Bai berhasil membuat Ash mengatakan nama Zas walau tidak langsung. "Maksud Anda adik Tuan Blauw yang baru-baru ini menjadi pembicaraan masyarakat? Ah, saya melupakan kalau Anda sangat menunggu perempuan itu."

"Ya, dia yang selalu membuatku merasa bersalah. Sebenarnya aku tidak memiliki kemampuan untuk menemuinya secara langsung. Akan tetapi, hari ini aku mendobrak perasaan itu sehingga memiliki keberanian semacam tadi. Dan untuk melakukan itu bukan hal yang mudah. Ini belum sepadan." Ash tersenyum kecut.

Bai kurang mengerti dengan pengakuan tuannya itu. Apanya yang kurang sepadan? Yang Bai tau ini sangat keterlaluan. Perempuan itu tidak peduli dengan hutang masa lalu. "Tuan, lebih baik Anda menjauh dari Nona Zas."

Mendengar hal itu, mata Ash berkilat. "Apa aku meminta saran darimu?!"

Ucapan Ash yang nyelekit itu membuat Bai terkejut. Tuannya itu tidak pernah mengeluarkan nada membentak dan bahasa yang kasar semacam itu. "Tidak. Saya minta maaf."

Sadar dengan ucapannya, Ash justru berkata, "Ah, tidak seharusnya aku melepas emosi seperti itu kepadamu. Justru aku yang harus meminta maaf. Maafkan aku, ya?"

Dalam kondisi yang terbaring lemah, Ash meminta Bai untuk mendekat. Bai mematuhinya. Perempuan itu duduk di lantai dengan patuh. Ash mengelus-ngelus puncak kepala Bai membuat pipi perempuan itu memerah. "Tuan, saya bukan lagi anak kecil."

"Di mataku kau selalu menjadi anak kecil." Ash tersenyum, matanya menyipit.

Ah begitu rupanya. Entah kenapa rasanya sakit.

Seperti biasa, Ash tidak pernah menganggapnya sebagai wanita dewasa. Tidakkah Ash menyadari perasaannya, atau justru Ash sudah tau tapi memberitahukan posisinya dengan cara seperti ini. Apa pun alasannya, akhirnya tetap sama. Bai tidak dilirik, kan?

Ya, memang seperti itu.

"Anda tidak pernah berubah, ya?" Bai berusaha menghibur diri. "Selalu bersikap baik. Oleh karena itu, saya selalu mengagumi Anda."

"Aku tau, kau memang gadis kecilku yang fanatik."

Bai tersenyum. "Bolehkan saya menganggap itu sebuah pujian?"

Ash tertawa. "Ya. Kenyataannya memang begitu. Maaf, ya jika aku melakukan sesuatu yang membuatmu tidak senang. Bagaimanapun, Zas adalah orang yang baik dan aku tidak bisa melepaskan pikiran darinya. Aku tidak tau ini sebuah kutukan atau anugerah. Jadi, aku hanya bisa mengikuti takdirku saja. Kau jangan membencinya terlalu dalam, Bai."

Tidak bisa. Itu sudah terlanjur. "Saya sangat membencinya. Gara-gara dia, Anda mengalami hal-hal buruk. Anda juga selalu dirundung masa lalu. Anda tetap terjebak dengan kesalahan. Anda---"

"Sudah, jangan diteruskan. Kau tidak perlu melakukannya sejauh itu, atau kau akan menyesalinya nanti."

Bai merengut. "Tidak akan. Saya tidak akan menyesalinya!" tegasnya.