Zas tidak bisa melakukan tindakan apa pun selain menghela napas. Dia tidak bisa berpikir jernih. Mimpi itu terasa sangat nyata. Dan … tanda ungu itu benar-benar ada. Sesungguhnya, ini tidak masuk akal sama sekali. "Aku sungguh akan menemuimu nanti, Ash. Sungguh!"
Ketimbang sebagai sebuah keinginan, Zas mengucapkan dengan penuh geraman tanda bahwa dia sedang marah. Kedainya sudah sepi pengunjung, sudah saatnya Zas berberes dan menutup kedai. Besok kedai akan tutup, karena Zas takut dirinya akan kelelahan untuk malam pembangkitan nanti. Ibunya masih membersihkan meja-meja pelanggan. Sedangkan Day masih belum terlihat menyusul ke kedai. Barangkali, adiknya itu masih merenung dan membutuhkan waktu untuk sendiri setelah mengingat kejadian tadi pagi.
Memang, sekolah Day tidak bisa dikatakan layak. Kondisi keuangan keluarga tidak mampu menyekolahkan Day, lagi. Zas sudah berusaha mati-matian untuk mendapatkan uang yang cukup, tapi itu memang tidak gampang. Satu-satunya alasan Day bisa bersekolah karena Narn mengemis untuk disekolahkan gratis dari sekolah ujung ke ujung lainnya. Sialnya, yang mau memenuhi permintaan sang ibu hanya sekolah yang terkenal memiliki siswa-siswa yang tidak bisa diatur.
"Zas, pulang!" seru Narn, "sejak tadi kau melamunkan sesuatu, Nak. Ada apa?"
"Tidak, Bu." Zas tersenyum seraya menggeleng lantas mengendarkan pandangan. Tak terasa, kedai sudah bersih dan rapi. Zas menghela napas, lalu berkata, "Maaf, Bu, aku tidak membantumu kali ini." Ada seberkas penyesalan di wajah Zas.
Narn mendekat ke arah Zas, lalu mencubit hidungnya. "Tidak masalah, Nak. Lagi pula, ibu hanya bisa membantu ini. Entah bagaimana esok hari saat kau sudah memutuskan untuk pergi jauh dari kami. Aku berharap bisa membuat mie yang enak seperti buatanmu agar hidup kami stabil."
"Maafkan aku," ucap Zas, "aku berjanji akan sering mengunjungi kalian."
Narn menggeleng, "Jangan berjanji jika kau tidak yakin bisa memenuhinya, atau kau bisa membuatku menjadi tambah khawatir."
"Bu…." Zas mendongak, menatap mata Narn yang berkaca-kaca. Zas tau bahwa Narn adalah ibu yang baik dan bisa membuat siapa pun nyaman. Ya, siapa pun. Apa bisa Zas melepaskan keluarga mungilnya ini dan melupakan dendam serta sumpah yang sudah dibuatnya selama dua ribu tahun terakhir? Tidak mungkin! Zas tidak bisa berpikir jernih sekarang.
Melihat ada keraguan di wajah Zas, Narn mengelus pucuk rambut Zas. "Jangan berpikiran apa pun, Nak. Kau tidak harus ada di sini. Kau sudah besar dan berani memberitahukan tujuan hidupmu. Jangan tergoyahkan oleh apa pun. Aku yakin kau memiliki pengalaman yang besar mengingat Zasku ini memiliki ingatan dari kelahiran sebelumnya. Rasanya, aku tidak pantas menasehatimu, tapi entah berguna atau tidak biarkan aku memberitahumu sesuatu."
"Bu…." Zas sedikit terisak.
"Meski kelak kau dihujat oleh seseorang atau dibenci dunia, aku dan Day akan selalu menjadi tempatmu pulang. Sebesar apa kesalahanmu di mata masyarakat kelak, kami tetaplah keluargamu. Maka jika kau menyayangi kami, jangan pernah tergoyahkan oleh apa pun. Kau putriku yang kuat dan malang." Narn memeluk Zas, hawa kedai menjadi lebih seyap dan sepi. Bahkan suara angin pun tidak terdengar sama sekali.
Pelukan itu membuat Zas berhasil menangis. Dia tidak pernah mendapatkan pelukan semacam ini, atau memang dia tidak bisa merasakannya selama ini. Bahkan, pelukan ibunya dia dua ribu tahun yang lalu tidak seperti ini. Pun, pelukan dari Ash. "Bu, aku akan menjemputmu kelak. Aku pasti akan menjemputmu!" Keyakinan Zas semakin besar, dia harus bergegas menemukan kaumnya terlebih dahulu.
Narn menepuk punggung Zas sebelum melepaskan pelukan. "Ya, aku akan menunggumu, Nak."
Zas memutuskan untuk pergi hari ini. Dia tidak ingin jika kekuatan bangkit di dalam rumah akan membuat ibu dan adiknya menjadi sasaran. Zas yakin bahwa musuhnya kali ini lebih membahanyakan, mengingat Narn dan Day adalah manusia biasa. Dia bangkit dari kursi, "Bu, ucapkan permintaan maafku ke Day. Maaf karena aku tidak akan membiarkannya melihat kebangkitanku sebagai manusia sayap."
Narn mengangguk. "Ya, Nak," ucapnya tanpa menolah ke arah Zas. Narn tidak sanggup melihat putrinya itu pergi. Narn sebenarnya ingin melarangnya. Narn sebenarnya juga ingin agar Zas melupakan jati dirinya. Akan tetapi, Narn tidak ingin menjadi ibu yang egois. Bagaimanapun, Zas sudah memiliki pemikiran dan pemahaman sendiri. Sebagai seorang ibu, apa haknya untuk melarang sejauh itu? Narn hanya seorang ibu, bukan Tuhan.
---
Zas pergi dari tempat ke tempat yang lain. Dia belum mendapatkan tempat yang aman untuk melakukan kebangkitan. Jika Zas bisa memilih, dia ingin menjadi tempat yang tinggi dan sejuk. Tapi dimana? Kakinya sudah lelah, tapi semangatnya tidak. Di dunia ini, Zas hanya mengenal ibu dan adiknya saja. Sejak kecil, Zas dikenal sebagai anak pediam dan enggan bersosialisasi. Baru kali ini dia merasa bahwa apa yang dilakukannya salah. Ah apa itu bisa dianggap sebagai penyesalan? Tidak. Tidak sama sekali. Penyesalannya hanya satu, yakni mencintai dan menikah dengan Ash.
Sudah menjelang sore, Zas masih berjalan. Jika memang tidak bisa menemukan tempat yang bagus, setidaknya Zas bisa melakukannya di tempat yang sepi. Nanti malam dia tidak bisa menahan dirinya dengan baik. Maka dari itulah, dia membutuhkan seseorang yang bisa membantunya mengendalikan diri. Keringatnya terasa telah habis. Bajunya begitu kotor. Napas Zas tidak stabil. Dalam kondisi yang seperti ini, Zas takut tenaganya akan habis sebelum pembangkitan selesai. Tidak ada pilihan lain, dia harus beristirahat dan melakukannya di sini.
Zas terduduk bersandar pohon yang besar, setelah diamati Zas merasa tempat ini tidak terlalu buruk. Sepi karena berada jauh dari perkotaan. Meski Zas sendiri tidak yakin bahwa tempat ini layak disebut sebagai hutan.
Bulan sudah nyaris berada di atas kepala. Tengah malam akan tiba. Zas sudah bersiap dengan pola dan tenaga yang cukup. Dia tidak tau akan sesusah apa pembangkitannya kali ini. tapi dia harus berusaha mendapatkan kekuatannya semaksimal mungkin. Angin mulai berhembus kencang. Zas mulai terasa kedinginan. Ini bukan dingin yang berasal dari angin, tetapi dari dalam diri. Apa itu karena pembangkitan kali ini? Rasanya sedikit berbeda---sejauh yang Zas ketahui.
Setelah dingin, Zas merasa tubuhnya terbakar. Rasanya seperti dipanggang hidup-hidup dengan api yang begitu besar. Tidak masalah, ini tidak semenyakitkan saat dia berada dihukuman neraka. Tubuh Zas masih stabil walau keringat mengucur deras. Lambat laun, dirinya menggeram karena tubuhnya terasa seperti ditikam ribuan pedang. Ditarik dan ditusukkan kembali, berulang kali.
"Aggh, ini gila rasanya setara seperti tombak kematian. Ini gilaaaa!" teriak Zas.
Tubuhnya menjadi tidak seimbang, dia meringkuk merasakan punggungnya sedang dicakar habis-habisan. Zas tidak bisa berhenti disini, demi pembalasan dendam, demi kaumnya yang sudah menunggu di balik dunia. Saat-saat paling genting tiba. Punggungnya menjadi lebih sakit saat perlahan-lahan muncul sayah berwarna merah pekat. Warna matanya pun ikut berubah menjadi warna hitam. Seberkas cahaya bertanda mahkota muncul di atas kepala.
"Sebentar lagi," batin Zas.