Zas sama sekali tidak bisa bercerita lebih dari ini. Kisah rumit, kemarahan, cinta, atau apa pun yang mendasari mereka. Setidaknya, setelah sekarang ini, Zas tidak perlu merasa bersalah---jika nantinya tertuduh---karena telah membodohi ibunya sendiri. Jika Zas bisa kabur dari rumah, dia akan melakukannya. Akan tetapi, rasa kekeluargaan yang membuatnya terpaksa bersimpati sungguh menjadi beban tersendiri.
Zas menatap langit-langit, pagi ini dia harus segera membuka kedai. Ibunya sudah berangkat terlebih dahulu untuk membersihkan meja-meja di kedai yang akan buka itu. Sedangkan, Zas masih nyaman duduk di kursi kayu depan rumahnya. Yang dia pikirkan adalah akan bagaimana nanti. Saat malam itu tiba, beberapa kekuatannya akan terlepas. Seharusnya, pada masa-masa seperti ini, dia membutuhkan seseorang yang bisa menyembunyikan auranya itu. Namun, Zas tidak menemukan siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Yah ... dia hanya mempercayai dirinya sendiri. Bukan orang lain, terutama kaum lelaki.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Zas membenci para lelaki. Setelah mendapatkan pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasihnya, Ash. Nyatanya, pasca kelahirannya, dia memiliki seorang ayah yang biadap. Hanya bisa menghamili, hura-hura, lalu pergi. Jika saat itu Zas sudah bisa berjalan sendiri, tak perlu diragukan lagi, sebuah pisau dapur akan bersarang di dada lelaki itu.
Hanya saja, Zas saat itu tak lebih dari anak kecil yang masih merangkak: hanya bisa buang air di celana. Sangat menjijikkan!
Setelah mereka bertengkar hebat, barulah ayahnya pergi dari rumah. Itupun sembari merampok di rumah sendiri. Sejak saat itu Zas lega, meski Narn memiliki duka tersendiri. Barangkali, Narn sangat mencintai ayah yang bejat itu. Atau mungkin, Narn memiliki alasan tersendiri. Yang jelas, Zas merasa setelah kepergian ayahnya, hidup Narn semakin terlihat menyedihkan. Apa yang bisa Zas lakukan selain berucap kotor dan merutuki kepergian lelaki itu?
Saat di rumah menjadi beban, bahkan kepergiannya semakin menindihkan beban. Kalau bukan biadab, apa lagi namanya?
Setelah di borong begitu banyak tentang lamunan tidak berguna, Zas bangkit dari kursi setelah beberapa detik menunduk terlebih dahulu. Lantas, entah bagaimana ceritanya, dia mendapati adiknya, Day, pulang dari sekolah dengan kondisi yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
"Kenapa kau pulang sepagi ini? Bagaimana dengan sekolahmu?" tanyaku.
Day terisak tiba-tiba sebelum akhirnya memeluk Zas erat-erat. "Kakak, jangan tinggalkan aku."
Bak tersambar petir di siang bolong, mata Zas membelalak. "Apa? Kenapa kau berpikir begitu? Ada apa denganmu?"
"Aku bemimpi kau akan pergi. Kata orang, mimpi di pagi akan menjadi kenyataan. Aku takut." Day semakin mengeratkan pelukannya.
Zas tersenyum. "Oleh karena itu kau menangis sepanjang jalan? Kau tidak malu dipandang aneh oleh orang lain? Kau ini ... dasar!"
Entah apa yang membuat Zas tertawa sebelum akhirnya Day cemberut. Namun, karena ekspresi tersebut Zas malah merasa ada yang janggal. "Apa kau benar-benar ingin mengatakan hal ini? Apa kau menjadi orang yang pandai berbohong?"
Day membuang muka.
"Ada apa?" tanya Zas lagi.
Bukannya tenang, Day malah menangis tak karuan dan berakhir sesenggukan. "Kak," jeritnya memilukan.
Hal itu membuat Zas semakin bingung tak karuan. "Ada apa, Day?!" ujarnya semakin panik.
Mata Day memerah, sorot matanya menjadi kacau. "A-apa aku boleh membunuh orang? A-apa aku bisa mencekiknya? Aku telah dipermainkan, Kak."
Zas tidak habis pikir. Apa ada sesuatu yang buruk terjadi dan menimpa adiknya? Meski Day bukan adik kandung Zas. Meski Day hanya anka kecil yang diambil saat sedang mencari makanan sisa di tong sampah. Apa pun itu, Day adalah adik tersayangnya. Barangkali Day hanya bercanda. Ya ... bagaimanapun, membunuh bukan hal yang baik. Ah, tidak! Bukan seperti itu. Zas tidak ingin membuat hidup Day menjadi lebih buruk.
"Kau bisa menceritakannya kepadaku, Day?" Zas mengarahkan Day untuk duduk, lantas dia berjongkok di depannya.
Sembari terisak, Day berkata, "Kata teman-temanku, aku adalah anak haram. Anak iblis. Anak yang menjijikkan. Ta-tapi, aku tidak keberatan, aku tidak marah sama sekali. Hanya saja, aku memiliki seorang teman yang ingin ... ya-yang---"
Zas mengerutkan dahi. Sudah dia duga, bahwa selama ini Day dibuli habis-habisan. Akan tetapi, Zas tidak menyangka, bahwa pembulian itu akan separah itu. Mengatakan bahwa Day adank yang kotor dan menjijikkan. Jika Zas mendengarnya suatu hari nanti, maka sudah dipastikan dia akan menghajarnya ditempat. "Kenapa Day?" Genggaman Zas semakin erat, berusaha meyakinkan bahwa apa pun yang diucapkannya nanti, Day akan baik-baik saja.
"A-aku nyaris diperkosa." Day menangis kembali.
Mata Zas memerah. Amarahnya memuncak begitu saja. "Siapa yang melakukannya?"
"Seorang teman---"
"---Jangan mengakuinya sebagai teman. Itu bukan teman, hanya manusia sampahyang harus dibersihkan, Day!" Nada Zas meninggi.
Day mengangguk. "D-dia seseorang yang selalu membuliku. Kadang dia mencolekku. T-tapi, kali ini dia berani memaksaku." Ada wajah trauma yang berusaha Day sembunyikan.
"Aku yang akan membalaskan dendam. Tenang saja!"
Day menggeleng. "Aku selalu kakak lindungi. Jika kakak tidak ada bersamaku, apa yang harus kulakukan nanti? Bisa jadi aku akan brnasib lebih buruk. Kakak sangat pemberani, sedangkan aku?"
Zas termenung. Adiknya itu bukan gadis yang jelek. Meski tidak tinggi, tapi berat badanya bisa dikatakan ideal. Meski tidak memiliki hidung yang mancung, tapi Day masih pantas dijuluki sebagai wanita yang cantik. Namun, sedari kecil Day memang memiliki hati yang lembut. Maka, bagaimana dia bisa merusa kepribadian Day yang seperti itu?
"Kak," panggil Day.
Zas terkesiap. "Hah? Day, besok kakak akan pergi. Kau benar, aku tidak selalu ada di sampingmu. Akan tetapi, Day akan selalu kakak lindungi."
"Kemana?" Day bangkit dari kursi.
"Ke tempat di mana kakak harus hidup dengan baik." Zas tersenyum.
"Bawa aku pergi, Kak." Mata Day berkaca.
"Day, besok malam aku sudah kembal kejati diriku yang sebenarnya. Aku bukan manusia seperti kamu, aku bangsa manusia burung yang harus mencari kaumku sendiri. Dan ... aku harus kembali membalaskan dendam," ujar Zas.
"Bawa aku, Kak." Day memohon.
"Tidak. Jika kau pergi, siapa yang akan menjaga ibu? Ibu sudah memutuskan untuk tetap tinggal di sini. Lagi pula, aku masih belum tau pasti di mana keberadaan mereka. Sudah sangat lama, bangsa kami terlupakan dan bersembunyi. Yang tersisa hanya dongeng semata. Bagaimana bisa dunia menjadi sekejam ini?" Zas berdecih.
Day diam.
"Day, kau harus menjadi lebih kuat dengan kakimu sendiri. Aku tidak bia membantumu apa pun. Selama kau memiliki keberanian yang bukan aku tanamkan paksa, kau pasti akan jauh lebih kuat. Besok, sebelum aku pergi, aku akan memberikanmu sebuah hadiah yang berguna. Selama kau bisa menggunakannya dengan baik, aku yakin hidupmu juga akan baik." Zas pergi meninggalkan Day. "Aku harus ke kedai. Ibu pasti sudah menunggu kedatanganku yang terlambat ini."
Day menatap punggung Zas. "Aku tau jika kakak bukan manusia seperti kami. Yang tidak aku tau, kenapa kakak memiliki ketangguhan semacam itu," ujarnya dengan lirih.