Chereads / Hutang Budi, Bayar Body / Chapter 13 - Vitamin

Chapter 13 - Vitamin

13. Vitamin

Sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar dengan nuansa warna krem itu. Membuat Harum terbangun dari mimpinya. Harum mengerjapkan matanya, "Sudah jam berapa ini?" Pikirnya, dia melihat kearah dinding kamar, jam 06.00 pagi.

Eh, Henry? Henry memelukku? Henry memeluk pinggangku, dia masih tertidur. Aku berbalik dan menatap wajah tampannya, hatiku berdebar tak karuan, kenapa ini? apa aku mulai jatuh cinta padanya? Oh tidak Harum, dia milik orang lain, kamu tidak boleh menginginkannya! Ah, tapi melihat Henry yang tertidur pulas seperti ini, membuatku ingin terus bisa seumur hidup untuk bersamanya.

Aku tersenyum kecut. Itu tidak mungkin! Kuburkan harapanmu itu!

"Astaga! Aku lupa aku belum pakai make up!" Aku pegang pipiku, ahh untung saja maskernya belum dibersihkan. Aku harus cepat-cepat mandi dan pakai make up.

Aku melesat cepat ke kamar mandi, walau masih dingin, tapi apa daya, daripada penyamaran ini terbongkar. Aku mandi dengan cepat, lalu memakai riasan di dalam kamar mandi, takut kalau-kalau Henry terbangun.

"Ahh, lupa bawa baju." Semoga Henry masih tidur deh, kalau membayangkan kejadian di ruang pakaian membuat darahku berdesir, menginginkan Henry. Aku keluar kamar mandi hanya dengan bathrobe. Aku memilih pakaian santai, celana pendek jeans dan kaos kebesaran, karena hari tidak ada pekerjaan, aku ingin santai dan bermain dengan Maxy dan Milky.

Saat aku melepas bathrobe, ada Henry di depan pintu. "Pagi-pagi sudah wangi, mau kemana?" Henry mendekatiku, aku langsung memalingkan badan, malu dengan tubuh polosku ini.

"Kenapa berballik? Malu? Aku rasa aku sudah hafal dengan setiap inci dari tubuh mu ini." Henry berbicara sambil membelai punggungku, yang membuat darahku berdesir dan intiku berkedut. Oh sungguh tidak tahu diri kalian, hei tubuhku kendalikan dirimu!

"Kenapa sayang? Ingin lebih?" Tanya Henry tepat ditelingaku yang membuat bulu kuduku berdiri.

"Ti-tidak..." Jawabku bohong.

"Sungguh?"

"I-iya..."

"Kamu bohong..." Henry mencium leherku, sehingga membuatku melenguh.

"Ahh..."

"Kamu menikmatinya sayang, aku akan membuatmu terbang ke langit ke tujuh."

Kami melakukannya lagi di ruang pakaian, kali ini Henry melakukannya dengan lembut, aku merasa dicintai, hingga aku dibuatnya mencapai kenikmatan itu berkali-kali.

Kami kelelahan, Henry berbaring disampingku, sambil memeluk dan mengecup pucuk kepalaku, mengucapkan kalimat yang membuat hatiku berbunga-bunga. "Aku cinta kamu..." Begitu katanya, aku hanya mampu memandangnya dan membalas dalam hati saja, "Jangan katakan cinta, karena kita tidak akan pernah bersama."

"Kenapa? Kamu tidak mencintaiku?" Tanya Henry, aku hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Aku akan membuat kamu mencintaiku." Dengan yakin Henry berkata seperti itu, membuat hati ini tak karuan. Merasa bersalah, ingin rasanya aku mengungkapkan semuanya, agar dia tahu aku juga jatuh cinta padanya.

"Tuan, Nyonya, nenek datang..." Bu Ida berteriak dari luar kamar kami.

"Baik bu, kami segera turun."

Henry bangun dan memberikan tangannya untuk menariku, lalu memberikan ciuman panasnya, aku harus mendorongnya supaya dia berhenti. Tapi hal ini membuatku merona.

Henry mandi lalu aku berganti pakaian, karena banyak hickeys yang Henry buat, aku harus mengambil bedak dan menutupinya.

"Kenapa belum turun?" Tanya Henry.

Aku hanya memandang Henry dan menunjukan leherku yang penuh dengan cupangan. "Ya kenapa ditutupi? Kitakan sudah menikah."

"Tidak tahu malu!" Aku melempar Henry dengan kotak tisue, tapi Henry berhasil menghindar.

"Ya sudah aku turun duluan." Sebelum turun Henry mengecup pipiku, membuatku merona. Akh, Henry jangan bersikap manis seperti ini, membuatku berat meniggalkanmu.

Henry menemui Nenek, Nenek sudah datang dan duduk di meja makan, Nenek membawakan kami banyak sekali hidangan lezat. Termasuk lobster pedas. "Nek, mulai sekarang jangan memasak lobster, Cassa alergi."

"Benarkah? Bukannya ini hidangan favoritnya?" Tanya Nenek heran.

"Iya nek, kemarin Cassa masuk rumah sakit karena alergi."

Nenek mengangguk-angguk mendengar jawaban Henry. Henry berjalan ke dapur mencari Bu Ida. "Bu Ida, ganti pil kontrasepsi Cassa dengan ini." Henry menyerahkan satu buah botol vitamin pada Bu Ida.

"Tapi ini bukan pil kontrasepsi Tuan."

"Saya tahu, berikan saja itu setiap hari mulai sekarang."

"Baik Tuan." Bu Ida tersenyum, sepertinya Tuan dan Nyonyanya sudah berhubungan baik sekarang, karena Tuannya sudah menginginkan keturunan.

Cassa turun dan langsung menemui Nenek. "Nenek! Cassa rindu..." Cassa palsu memeluk Nenek dengan hangat.

"Ahh, kalau rindu seharusnya kalian nginep di rumah nenek!" Nenek merajuk dan mencubit Cassa dengan lembut.

"Nenek ini bagaimana sih? Katanya ingin cicit, ya kalau ingin cicit kamikan harus berduaan terus, kalau ada Nenek mana bisa kami konsentrasi bikin cicit." Kata Henry santai, tapi perkataannya yang tidak tahu malu ituu membuatku merona karena malu.

"Ah, alasan saja kamu ini Henry!"

Kami sarapan dengan penuh kehangatan, pembicaraan ringan mengalir begitu saja, seolah kami adalah keluarga sejati.

"Nyonya ini obat Nyonya." Bu Ida datang dengan membawa nampan yang berisi air putih dan sebutir obat, membuat aku tegang, karena takut ketahuan minum pil kontrasepsi.

"Apa itu Ida?"

"Ini obat untuk Nyonya Muda, Nyonya Nenek." Jawab Bu Ida.

"Bawa kemari! Saya mau lihat!" Perintah Nenek pada Bu Ida, membuatku tegang.

"Itu vitamin Nek, katanya mau punya cicit? Itu vitamin supaya Cassa lebih sehat dan subur." Kata Henry santai sambil tetap memakan sarapannya.

"Benar begitu Cassa?" Tanya nenek padaku.

"I-iya nek, itu vitamin." Ahh Henry kamu membuatku membohongi nenek, tapi tak mengapa asalkan nenek tidak curiga. Toh nanti saat Cassa yang asli datang, terserah mereka kalau mereka ingin punya anak.

"Ya sudah, minumlah." Nenek mengangguk percaya. "Henry, berapa uang bulanan Cassa?" Nenek bertanya langsung pada Henry, membuatku sedikit trkejut.

"Eh..." Henry tidak bisa menjawab nenek, karena memang Henry tidak pernah memberiku uang.

"Nek, Cassa juga bekerja, Nenek tidak perlu khawatir." Kataku menenangkan Nenek.

"Cassa! Kamu itu istri sah Henry, itu hak kamu! Henry, mulai hari ini berikan hak Cassa!"

"Iya Nek."

"Ya sudah, ambil sana kartu-kartumu, bawa kemari!" Perintah nenek pada Henry. Henry segera ke kamar membawa turun dompetnya. Henry menyerahkan dua buah kartu padaku. Kartu kredit dan kartu debit.

"Maaf Cassa, aku dari awal tidak memikirkan hak mu yang ini. Yang hitam itu kartu kredit dengan limit 1 milyar kamu bisa membelajakan apa saja yang kamu inginkan, dan di kartu debit itu ada uang sekitar 2 milyar, setiap bulan akan aku menambahkan uang ke rekeningmu." 

Wow, beruntung sekali Cassa punya suami kaya raya seperti ini, aku belum pernah melihat uang satu milyar, baik sekali Henry. "Baik terimakasih." Aku menyimpan kartu yang Henry berikan, akan aku serahkan pada Cassa yang asli sebulan lagi.

Setelah sarapan nenek kembali ke kediamannya, aku merasa bahagia hari ini, karena bisa berbicang-bincang dengan santai dengan Henry dan Nenek, yang membuatku merasa berada dalam sebuah keluarga yang hangat.