19. Telinga bermasalah.
Aku mentransfer 250 juta ke rekening adikku, Jelita. Tak berapa lama Jelita meneleponku. "Mbak, Mbak Rum kirim uang ke aku?"
"Iya Lit, itu untuk uang pangkal sama biaya kamu selama kuliah."
"Uang pangkalnya kan hanya 150 juta Mbak, 100 jutanya lagi buat apa?" Tanya Jelita.
"Ya buat biaya kamu selama kuliah saja, Mbak takut uangnya habis."
"Tapi banyak banget Mbak, Lita masih bisa kerja sambilan kok."
"Gak papa Dek, disimpan aja, atau kamu investasikan. Oh ya, Mbak mau beli rumah buat ibu, nanti kamu temani survey ya?"
"Iya Mbak."
Aku memang berniat untuk membeli rumah, daripada terus mengontrak, aku beli rumah sederhana, harganya 400 juta, di Yogyakarta. Aku sengaja beli disini, agar ibu dekat dengan keluarganya, juga Jelita bisa kuliah disini tanpa harus ngekost.
Aku dan Jelita terbang ke Yogyakarta, kami men-survey beberapa lokasi rumah, dari semua lokasi kami berdua sepakat dengan satu rumah didaerah Bantul, daerahnya masih asri dan harganya terjangkau.
"Menurut Mbak, rumah yang terakhir kita lihat itu cukup bagus. Mbak tertarik sama yang itu, gimana menurut kamu Dek?"
"Bagus Mbak, rumahnya sudah jadi, besar juga ada tiga kamar, dua kamar mandi ada garasi juga, harganya juga masih terjangkau kalau mau di cicil."
"Rencananya Mbak mau beli cash."
"Hah? Mbak punya 400 juta?"
"Punya."
"Mbak? Maaf ya, aku mau tahu, mbak kok bisa dapat uang sebanyak itu dari mana?" Tanya Jelita heran. Akhirnya aku ceritakan semua yang aku alami pada Jelita.
"Ya, begitu... kamu malu ya, punya kakak seperti Mbak ini? Mbak ga ada bedanya sama pelacur yang sudah menjual tubuhnya sendiri."
"Ngga mbak, Lita ga malu, Lita malu pada diri Lita sendiri, Lita tidak bisa menolong keluarga kita, Mbak yang harus menanggung semuanya." Jelita menitikan ar matanya. Aku memeluknya.
"Kenapa jadi kamu yang menyalahkan diri sendiri, sudahlah nasi sudah jadi bubur."
"Benar, tinggal kita tambahin kuah sama sambal biar nikmat dimakan." Ujar Jelita, membuat kami berdua tertawa. "Lalu Mbak, kalau mbak hamil gimana?" Tanya Jelita khhawatir.
"Emh, selama ini aku selalu minum pil KB, ini aku masih bawa botolnya, Bu Ida kemarin membawakanku, aku harus minum setiap hari katanya."
Jelita mengangguk, aku juga tidak terpikir kalau akan hamil, apa mungkin aku hamil? Ah entahlah, bulan kemarin aku masih menstruasi, bulan ini belum, biasanya akhir bulan nanti.
Kami kembali ke agen properti rumah yang terakhir, mengurus segala sesuatunya untuk membeli rumah itu. Lalu kami akan kembali ke Jakarta untuk memindahkan isi rumah kami. Aku harus menjauh dari Henry.
Di bandara Soekaro Hatta, Henry dan Andre berjalan menuju gate penerbangan pesawat, Henry ada perjalanan bisnis mendadak ke Korea.
"Sudah bisa menghubungi Cassa?"
"Belum Tuan, ponsel Nyonya belum aktif sedari kemarin."
"Ck! Kemana dia? Apa kata spion yang mengikuti Cassa?"
"Mereka bilang Nyonya sudah kembali ke rumah."
"Lalu kenapa tidak kau telpon rumah? Telpon sekarang!"
"Baik Tuan."
Andre menghubungi telepon rumah, sepertinya Tuannya sudah merindukan istri tercintanya. "Ini Tuan, Nyonya sudah di telepon."
"Halo Cassa, kenapa ponselmu tidak aktif?" Henry berbicara dengan Cassa yang asli diujung telepon sana, tapi Henry terus mengernyitkan dahinya. Setelah beberapa kata, Henry mematikan ponselnya.
"Apa ada yang salah Tuan?" Tanya Andre.
"Entahlah, aku merasa, suaranya lain... tidak seperti yang aku tahu, atau dia sedang sakit? Atau telingaku bermasalah!" Henry menggosok-gosok telinganya. Andre tidak menjawab, dia hanya mengangguk saja seperti biasa.
Henry dan Andre melanjutkan langkah mereka, Henry berhenti, hidungnya seperti membau aroma yang biasanya dia hirup, "Cassa!" Dia melihatke arah seseorang yang berjalan melewatinya, seseorang yang mirip dengan Cassa.
"Nyonya?" Andrepun merasa melihat Nyonyannya. "Saya rasa gadis itu hanya mirip Nyonya, Tuan. Karena Tuan baru saja berbicara dengan Nyonya di telepon."
"Akh, ya benar." Henry mengangguk, sepakat dengan perkataan Andre, "Hanya saja, gadis itu dari samping mirip sekali dengan Cassa, dan aroma tubuhnya... seperti milik Cassa." Kata Henry.
"Apa Tuan begitu merindukan Nyonya?" Tanya Andre dengan nada yang serius.
"Apa kamu bilang?" Tanya Henry pada Andre, Henry tampak berpikir lalu tersenyum,"Ya mungkin aku terlalu merindukannya. Sudah ayo kita bergegas. Kita selesaikan urusan ini dengan cepat, supaya aku bisa bertemu dengan istriku."
Henry dan Andre terbang ke Korea.
Jelita dan aku kembali ke Jakarta setelah urusan membeli rumah selesai, kami bersiap-siap untuk pindah ke Yogyakarta, selama perjalanan aku terus memikirkan Henry, mungkin sekarang Cassa sudah di rumah itu, sudah bertemu Henry, mungkin mereka sedang makan malam bersama, lalu setelah itu mereka akan tidur bersama.
-Bugh bugh bugh- aku pukul dadaku, rasanya sakit, sakit sekali disini, membayangkan mereka bersama, tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Kenapa Mbak? Sakit?" Jelita memperhatikanku.
Aku mengangguk, "Sakit banget Dek..." Aku menunjuk ke jantungku, Jelita memelukku, dia mengerti perasaanku saat ini. Tanpa banyak bicara, Jelita hanya menemani kakaknya ini yang sedang berduka.
Sementara di kediaman Henry, Cassa asli sudah datang, dia langsung bergegas menuju kamarnya, membuka lemarinya dan melihat apa saja yang ada di dalam lemari itu. Semua hadiah yang Harum terima dari Henry dulu, dia letakan di dalam lemari itu.
"Apa? Hanya ini barang-barang pemberian Henry? Cih! Pelit sekali dia. Kartu kredit dengan limit? Kartu debit hanya dua milyar? Cih! Benar-benar pelit! Atau Harum yang tak becus? Harusnya dia bisa minta lebih dari ini!"
"Nyonya makan malam sudah siap."
"Ya!"
Cassa turun ke ruang makan untuk makan malam, tapi dia sangat marah pada Bu Ida karena menu makan malam yang menurutnya terlalu sederhana menurutnya.
-Prang- Cassa melempar piring yang ada di depannya ke arah Bu Ida. Bu Ida terkejut dan pucat karena melihat kemarahan Cassa.
"Kamu pikir saya siapa? Kamu ga bisa membuat makanan yang layak makan? Kamu menghina saya?"
"Ti... tidak Nyonya, ma...maaf Nyonya. Ini menu yang seperti biasanya?" Jawab Bu Ida terbata-bata dan ketakutan.
"Sial! Pasti gadis kampungan itu yang seleranya rendah!" Cassa berbicara dalam hatinya.
"Mulai sekarang berikan saya hidangan yang terbaik, yang paling mahal dan paling enak. Jangan pernah berikan makanan anjing seperti ini!"
"Ba... baik Nyonya!"
"Saya mau makan di luar saja! Pergi kalian!"
"Baik Nyonya."
Bu Ida dan para pelayan lain, pergi dengan rasa heran dan ketakutan. "Nyonya kenapa jadi galak begitu ya? Biasanya Nyonya pendiam dan tidak banyak memilih makanan." Kata salah seorang pelayan pada Bu Ida.
"Ibu juga bingung kenapa? Tapi ya sudah, kita turuti saja keinginan Nyonya."
***
Manteman kira-kira punya harapan seperti apa untuk Harum dan Henry? Konflik juga boleh, kalau punya ide konflik. Tengkyu somat.