Chereads / Hutang Budi, Bayar Body / Chapter 16 - Istrimu bukan istrimu

Chapter 16 - Istrimu bukan istrimu

16. Istrimu bukan istrimu

Sudahlah, aku nyerah pada rencana kak Mey, aku sudah berusaha membuat Henry marah, tapi malah berakhir di ranjang panas yang penuh peluh dan gairah. Maaf Cassa, aku menikmati percintaan ini, maaf aku sudah cinta pada priamu.

"Hen... stop! Aku capek, ini sudah hampir pagi!" Jangan ditanya deh udah berapa ronde, yang pasti aku terima kalah aja deh. Henry terlalu perkasa.

"Sekali lagi ya?"

"Ngga ah, kamu mau bikin aku ga bisa jalan besok?"

"Iya. Biar aku bisa mengurung kamu di rumah!"

"Ih, mulai deh jahatnya!

"Ga jahat sayang, aku hanya benci melihatmu bekerja seperti itu."

"Seperti apa memangnya pekerjaanku?" Tanyaku dengan nada tersinggung.

"Bukan maksudku menghina profesimu, hanya saja aku tidak suka laki-laki lain melihat tubuh seksimu ini." Henry berbicara sambil memainkan lengan dalamku, yang membuat aku merasa geli.

"Ish! Jangan disini, geli tahu!" Aku tepis tangan Henry, "Lagian, aku hanya model, membahasakan fashion yang aku pakai, supaya orang yang melihatku, bisa paham maksud tujuan dari desainernya."

"Aku tahu. Cassa, aku ingin kamu berhenti dari dunia modeling. Jadi istriku saja, jadi ibu dari anak-anakku?"

-Glek- Mendengar kalimat "ibu dari anak-anakku." Aku merasa terkejut sekaligus bahagia, aku mau, aku mau menjadi ibu dari anak-anakmu Henry. Tapi... kalau kamu tahu aku siapa? Kamu pasti akan marah dan menyiksaku lagi.

"Kenapa diam?" Tanya Henry.

"Bisa kita bicarakan minggu depan?"

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa, hanya saja aku tidak bisa menjawabnya sekarang." Ya, karena harus Cassa yang asli yang menjawab semua itu.

"Oke. Tidurlah."

Kami tidur saling berpelukan. Aku akan memeluknya sepuas hatilku, sebelum saatnya tiba.

Sudah pukul 10.00 pagi, aku benar-benar kelelahan dan kelaparan, sebenarnya masih ngantuk tapi apa daya, cacing-cacing di perut sudah konser rock, jadi aku turun hanya dengan menutup gaun tidurku dengan kimono. Henry sudah tidak ada di kamar, mungkin dia sudah bekerja. Aku mencuci muka dan sikat gigi, menggunakan sedikit make up, walau tidak ada Henry tapi masih ada pekerja disini, aku harus selalu memakai make up.

Di ruang makan juga tidak ada Henry, tetapi sudah ada obat (KB), air putih dan sarapan. Aku makan dengan lahap, mengingat kemarin malam tidak jadi makan malam, malah 'main' sampai hampir pagi. Tapi mengingat kejadian semalam, membuatku tersenyum dan malu. Aku sangat menikmatinya.

"Kamu sudah bangun?"

"Henry?" Henry datang masih dengan piyamannya, dia menghampiri dan mengecup pucuk kepalaku. Aku sampai memejamkan mata, menikmati cintanya. "Aku kira kamu sudah berangkat bekerja."

"Semalaman aku sudah 'ngelemburin kamu' masa aku kerja pagi-pagi?"

-Pluk- Henry aku timpuk dengan tisue.

"Vulgar!" Omongan Henry membuatku malu, pipiku mungkin sudah seperti udang rebus sekarang.

"Kenapa? Malu atau mau?"

"Henry!"

"Hahaha... bercanda... aku suka menggoda kamu, kamu masih malu-malu kucing." Henry tertawa, wajahnya berseri, baru kali ini aku melihatnya sebahagia ini.

"Hen, minggu depan aku ada kerjaan dua hari di Bandung, aku ijin kerja ya?" Tanyaku.

"Apa? Dua hari? Udah batalin aja kerjaan kamu! Aku yang bayar penaltinya."

"Bukan karena biaya penaltinya tapi karena jadwalnya kan sudah dari bulan-bulan kemarin, mereka sudah punya konsep sendiri dan model yang cocok dengan konsep mereka itu aku, aku tidak bisa membatalkan begitu saja tanpa urgensi tertentu." Jawabku dengan lembut, mencoba menjelaskan pada Henry, siapa tahu dia mengizinkan.

"Aku suamimu, aku ini urgensimu, kalau aku bilang ngga, ya ngga artinya." Henry sudah dengan intonasi bossynya, kembali mejadi Henry yang keras, galak dan suka ngatur.

"Tapi..."

"Ga ada tapi-tapi Cassa. Tidak itu tidak, sudah telpon managermu tanya berapa penatinya, aku yang bayar."

"Tapi Hen..."

"Cassa!" Henry membentak dan menggebrak meja, aku tersentak kaget. Melihat Henry dengan wajah marahnya membuatku takut. Tanpa sadar air mata ini menetes, bukan karena takut pada Henry, tapi karena aku juga tidak ingin pergi tapi aku harus pergi, namun kalau Henry mempersulit dan tidak mengizinkan aku pergi, maka semua akan lebih berantakan.

"Cassa, jangan menangis." Henry datang, berlutut disamping kursiku, menghapus air mataku. Tapi aku malah makin nangis, aku ga mau pisah dari kamu Henry. "I'm sorry, aku ga bemaksud bentak kamu, aku hanya tidak ingin kamu pergi jauh-jauh dariku."

Aku juga Hen, aku juga ga mau jauh-jauh dari kamu. "Sudah jangan nangis, oke, oke kamu boleh pergi kerja dua hari, tapi ajak Bu Ida menemanimu ya? Aku ga mau kamu kelelahan." Aku hanya mengangguk, tapi tetap menangis. "Hey, sudah jangan menangis lagi, aku sudah mengijinkanmu."

Kamu ga akan tahu Henry, kenapa aku menangis seperti ini.

"Sudah jangan mengangis, kamu lihat ini?" Henry mengambil sesuatu dari kantong piyamanya. "Ini." Henry memberikan dua buah kalung anjing padaku. "Kamu boleh memelihara anjing-anjing nakal itu di rumah kita, asalkan mereka tidak galak padaku."

Aku tersenyum mendengar kata-kata Henry, tapi sayang, Maxi dan Milky akan aku bawa serta. "Tidak, Maxi dan Milky sudah ada yang mau mengadopsi."

"Oh... ya batalkan saja, biarkan mereka disini." Kata Henry.

"Maaf, aku sudah berjanji pada mereka."

"Ya sudah, tapi berhentilah menangis, kamu membuatku merasa bersalah jika terus menangis seperti ini."

"Iya. Maaf." Kataku.

-Drrt drrt drrt- Ponsel Henry bergetar, sebuah pesan teks masuk kedalam gawainya itu. Henry membuka gawainya, membaca sesuatu, mengernyitkan dahinya, menatapku lalu berdiri.

"Aku ada sedikit pekerjaan, aku ke kantor dulu ya?"

Aku mengangguk. Henry tampak menelepon seseorang, mungkin Andre, karena tanpa halo dan langsung to the point dengan nada bossynya, untung saja Andre sangat loyal, kalau tidak, Henry bisa ditinggal sudah sejak dulu.

Henry masuk ke dalam ruangan kerjanya di kantor, dia menduduki kursi kebesarannya. "Andre, detektif yang kamu sewa itu, bukankah sudah kamu pecat?"

"Sudah tuan."

"Apa ada masalah dengannya?"

"Ya tuan, dia merasa tidak melakukan kesalahan apapun, hasil penyelidikannya akurat 100%, lalu dia merasa dirugikan dengan pernyataan tuan tentang ketidak kompetenannya."

"Hmm, dia mengirimi saya pesan teks, bacalah." Henry memberikan ponselnya pada Andre.

"Istrimu yang sekarang bukan istrimu. Hati-hati dengan Cassandra. Saya bisa membuktikan pada anda." Andre membaca isi pesan teks tersebut.

"Cari detektif itu, hajar dia, mengapa dia mengirim teks tentang istriku seperti itu? Cari dia!"

"Baik tuan." Andre berjalan keluar ruangan boss nya itu, untuk melaksanakan perintah sang tuan.

Henry duduk di kursi kebesarannya, menyandarkan kepalanya di punggung kursi, serta memejamkan matanya. Dia sedikit terganggu dengan pesan teks tersebut.