Chereads / Hutang Budi, Bayar Body / Chapter 15 - Bukannya marah, malah...

Chapter 15 - Bukannya marah, malah...

15. Bukannya marah, malah...

Disebuah sudut coffee shop terkenal, Kak Mey menelepon Cassandra Heart. "Hallo Cassa, jadi kapan kamu akan pulang?"

"Mey! Kenapa kamu terus meggangguku!"

"Cassa, apa kamu ingin rencana kamu gagal?"

"TIDAK! Tapi aku masih ingin bersenang-senang, sebelum aku akan sibuk untuk menjadi istri sempuranya Henry Kesuma."

"Karena itu kamu harus segera kembali, sebelum Harum mengacaukannya!" Kak Mey memprovokasi Cassandra.

"Apa kamu yakin dia akan mengacaukannya? Aku rasa dia tidak sebodoh itu untuk mengacaukan rencanaku."

"Cassa, aku melihat dengan mataku sendiri, bagaimana dia menatap Henry! Jangan sampai kamu menyesal! Dia sudah jatuh cinta dengan suamimu!"

"Ahk! Sial! Lalu bagaimana menurutmu?"

"Pulanglah minggu depan, aku akan mengatur rencana!"

"Oke, minggu depan aku kembali."

Kak Mey mematikan sambungan teleponnya, sambil menatap ponselnya dia bergumam, "Cassa, aku ingin rencanaku segera terwujud, aku perlu kamu, Harum terlalu lurus orangnya, tidak bisa diandalkan."

Sementara di kediaman Henry dan Cassa palsu, terjadi pertengkaran, karena rasa cemburu Henry.

"Henry buka pintunya! Kenapa kamu kunci dari luar!" Harum berteriak, sehabis makan tadi Harum belum minum, Harum sangat kehausan, tetapi Henry malah menguncinya. "Dasar raja iblis! Apa salahku sampai harus menderita seperti ini?"

-Hik, hik, hik- Harum cegukan.

-Tlit tlit tlit tlit- Posel Harum berbunyi, Kak Mey yang menghubungi.

"Halo kak." Jawab Harum.

"Rum, minggu depan Cassa datang, jadi aku akan buatkan jadwal untuk kamu ke luar kota, kamu harus sampaikan pada Henry kamu akan pemotretan di Bandung selama dua hari. Nanti di Bandung kalian akan bertukar, mengerti?"

"Ah? Ya mengerti kak." Harum tertegun, antara suka dan tidak suka, dia harus segera mengakhiri kisah ini.

"Kamu harus membuat pertengkaran, Henry harus membenci Cassa sementara waktu, agar saat pertukaran tidak terlalu mencurigakan."

"Ah... ba...baik kak."

Sambungan telepon dimatikan, membuatku nelangsa.

Aku harus meninggalkan Henry secepat ini? Ah, tapi bukankah ini yang aku harapkan? Aku bisa segera mendapatkan uang dan bisa membayar uang masuk kuliah Jelita? Bukankah ini juga yang aku harapkan untuk segera mengakhiri kebohogan ini, tapi, kenapa rasanya... seperti ini?

Sedih... dan aku sudah merindukan Henry. Walau dia galak, tapi kalau aku mengingat percintaan kami, aku menyukainya.

Akh sudahlah Rum! Semangat! Kamu bisa! Aku menyemangati diriku sendiri, aku sebaiknya menyimpan barang-barang milikku untuk aku bawa pulang, aku mengambil koper kecil dan membawa sedikit barang-barang pribadi milikku, aku juga membawa foto pernikahan kami yang ada diatas nakas ini, walau hanya pengganti, tapi aku sudah menikah, itu aku yang ada bersamanya di altar, itu aku yang mengucapkan janji pernikahan, walaupun kamu tidak tahu itu aku.

Hufft. Ada sesak didada. Aku duduk dibalkon luar kamar memandang langit biru yang terang benderang, cerah, tapi tak secerah hatiku. Aku harus mengembalikan logikaku, aku tdak boleh terjerat perasaan ini. Bagaimanapun Henry suami Cassa, bukan milikku. 

Entah sudah berapa lama aku duduk di balkon ini untuk mengenyahkan semua keraguan ini Henry sudah berada diambang pintu, aku sampai tidak menyadari kehadirannya.

"Masih siang udah bengong aja!" Sindir Henry, aku sedikit tersentak, meihat Henry aku langsung lari ke bawah. Henry mengejarku.

"Hey! Cassa! Kemana?" Teriak Henry dibelakangku.

Aku langsung ke dapur membuka kulkas dan mengambil botol air dingin, langsung saja aku tenggak air dari botol.

-Glek glek glek ahh-

Henry menatapku heran, mulutnya menganga melihatku minum langsung dari botol.

"Aku haus! Salah mu mengunciku di kamar! Kamu mau bikin aku mati kehausan! Kalau kamu benci sekali sama aku, harusnya kamu bunuh aku aja sekalian! Ga perlu nyiksa!" Aku berteriak marah pada Henry, aku akan menjalankan misi untuk membuat Henry membenciku sementara.

"Kenapa kamu marah sama aku? Aku kan suamimu, terserah aku mau berbuat apa sama kamu!"

"Kamu itu suami, bukan TUHAN, kamu manusia, istri kamu juga manusia, bukan anjing! Anjing aja harus diperlakukan manusiawi apalagi manusia! Dasar ga punya hati! Raja iblis!" Aku masih ngegas marah, aku akan menyulut kemarahan Henry. Agar dia pergi dari rumah ini sementara waktu.

"Aku juga ga lama-lama banget ngunciin kamu, cuma... 4 jam aku ngunci kamu..." Jawab Henry dengan nada yang keras diawal dan melemah diakhir, mungkin dia merasa bersalah.

"Coba aja kamu yang di dalam kamar saat haus dan ga ada air disana! Coba sana, tahan haus 4 jam, sehabis makan sambal!" Aku pergi melewati Henry dengan muka yang asam dan tatapan penuh dendam aku berikan.

Aku berjalan ke taman luar, mencari Maxi dan Milky, rasanya aku butuh mereka untuk menenangkan kegalauan ini, ahh ya, itu berarti aku harus membawa mereka pergi sebelum minggu depan, tapi siapa yang bisa aku titipkan Maxi dan Milky untuk sementara?

"Maxi... Milky... sini sama Mama..." Anjing-anjing kecil ini, menyambutku dengan hangat, mereka menggoyangkan ekornya, berlari kearahku dan melompat ke pangkuanku, mereka mencintaiku dengan tulus. Aku belai mereka, memang benar, punya hewan peliharaan itu, seperti punya terapis pribadi, yang membuat mood yang buruk menjadi lebih baik.

"Cassa..."

Henry duduk disampingku, dibangku taman, Maxi mengerang menunjukan giginya, Maxi tidak suka pada Henry rupanya.

"Maxi... bad boy, no, ga boleh nakal..." Ucapku pada Maxi sambil membelainya. Maxi mematuhiku dan duduk tenang dipangkuanku.

"Kamu harus segera mencari adopter buat mereka, terutama yang yang hitam jelek ini (Maxi) dia sangat nakal." Kata Henry dengan tatapan bermusuhan ke Maxi. Lucunya.

"Iya aku tahu! besok juga sudah ada temanku yang akan merawat mereka." Jawabku dengan ketus. Padahal hati ini masih ingin bermanis-manisan dengan Henry.

"Kamu masih marah?" Tanya Henry dengan nada yang lembut sekali. Aku ga marah sama kamu Hen, aku hanya ingin membuat kamu marah dan membenciku sementara.

"Udah tahu, nanya!"

"Hahahaha..." Henry tertawa sampai keluar air matanya. Nih orang udah miring kali ya? Malah ketawa sih? Aku sampai terheran-heran. "Maaf, hahaha... aku ketawa..." Tapi masih sambil nahan ketawa. "Abis kamu lucu sih..."

Heh? Lucu dimananya? Lagi marah bambang!

"Kamu kalau merajuk lucu juga ya... jadi pengen nyubit bibir kamu nih yang manyun 20 senti." Henry bicara sambil menarik bibirku yang emang lagi manyun.

"Ih! Sakit tahu!" Aku tepis tangan Henry.

"RRR GUK GUK GUK." Maxi dan Milky marah... yeah, horray for me, ada yang belain aku.

"Bad dog!" Henry marah pada dua anjing kecil ini, Maxi dan Milky malah makin teriak. "Bad dog! Bad dog!"

"Maxi Milky, sit!" Aku perintah Maxi dan Milky, mereka diam lalu duduk. "Good dog." Aku elus-elus kepala mereka. Aku turunkan mereka dari kursi taman, mereka segera berlarian di taman. Aku juga melangkah pergi meninggalkan Henry.

"Cassa, tunggu." Henry memanggilku, tapi aku abaikan, aku tetap berjalan masuk ke rumah.

"Cassa..." Henry masih memanggil dan mengekoriku sampai ke dapur, aku berniat memasak untuk makan malam. Aku tetap diam dan tak memandangnya. Aku sibuk mengupas bawang, aku akan buat mi goreng jawa saja yang mudah.

Tiba-tiba Henry memelukku dari belakang.

-Deg deg deg deg deg-

Membuat jantung ini berdebar tak karuan, rasanya otot-otot melemas, dan kakiku hampir jatuh kalau aku tidak bersandar pada tepi counter. "Cassa, maaf ya... Aku ga bermaksud membuatmu kehausan di kamar, aku ga berpikir sampai situ. Aku hanya cemburu saja."

Duh, kok malah minta maaf sih? Bukannya marah? Trus, aku harus bagaimana.

"Aku ga mau kamu dekat dengan teman-temanku itu, aku takut mereka merebut kamu dari ku." Ucap Henry, dagunya diletakan di bahuku, membuat bulu kudukku merinding. "Kamu maafin aku kan?" Tangan Henry memainkan lenganku, lengan bagian dalam dekat dengan ketiak yang membuatku bergairah, dan melenguh, tanpa sadar aku mendesah.

"Ahh..." Desahanku walau pelan, tapi Henry menyadarinya.

Henry tersenyum, "Jadi disini? Sensitif?" Henry semakin liar memainkan tangannya.

"Hen... ja... jangan..." Tolakku, tapi tubuhku menuntut.

"Jangan apa sayang? Jangan disini?" Bisik Henry ditelingaku, yang membuatku semakin ga tahan. Henry menggendongku ke kamar. Oh tidak, gagal rencana ku.