Ketika Ruby masuk ke dalam klub, ia mendengar suara musik yang terdengar bising di telinganya. Sorotan lampu warna warni mulai mengganggu penglihatannya.
"Bagaimana bisa aku menemukan wanita yang bernama Vanetta itu disini, jika lampu penerangnya warna warni dan terus berus berputar? Yang ada malah membuat orang pusing!" Ruby terus berbicara sendiri dengan kesal.
Ia terus mengedarkan pandangannya sambil berjalan melewati kerumunan orang.
"Tapi, mengapa mengunjung disini terlihat aneh? Aishhh, sudahlah! Mengapa aku jadi menghiraukan mereka?"
Ketika Ruby melewati beberapa meja disana, tiba-tiba pandangannya jatuh pada sosok yang tidak asing di matanya. Ia segera menghentikan langkahnya, menatap dengan seksama sambil mengingat-ingat.
"Bukankah dia adalah wanita yang ada di kafe itu?"
Ruby mulai ingat, wanita itu adalah Roselyn tamu kafe yang diberi bungkusan oleh seorang nenek.
Sekarang dia ada disini juga! Apa yang sedang dia lakukan di klub ini? Haruskah dirinya menghampiri Roselyn?
Ruby sedikit ragu. Tapi dirinya tidak mengenal Roselyn, akan terasa canggung jika dirinya sekarang datang menghampiri Roselyn dan ikut gabung dengannya.
*** ***
Reino akhirnya tiba di sebuah bangunan bergaya klasik. Ia memindai sekeliling bangunan itu. Seingatnya, ia tak pernah tau ada klub malam di jalan ini. Sekali lagi ia mengecek ponselnya untuk memastikan bahwa alamat yang tertera pada GPS nya benar. Dengan langkah gontai ia memasuki pintu klub malam yang ia tuju. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru klub. Sebuah klub biasa yang bukan seharusnya ia datangi. Ia menatap aneh orang-orang yang hadir di dalam klub itu.
"What the hell is going on here?!" rutuknya.
Reino nampak kesal melihat orang-orang memakai kostum aneh bak orang-orang yang hidup di peradaban kuno. Ia seolah tengah melihat pesta kostum ala prom night anak sekolah. Ia benar-benar kesal kenapa harus masuk ke klub ini. Suasana hatinya semakin buruk terlebih lagi saat ia duduk di bar, ia melihat pasangan di samping kanannya. Si lelaki tengah melontarkan rayuan receh untuk menaklukan hati si gadis. Reino tak peduli pada siapa mereka. Ia hanya fokus pada tujuannya malam ini adalah mencari tahu siapa nenek yang ada di mimpinya. Dan secara kebetulan, kemarin nenek itu menampakkan dirinya tengah berbicara dengan salah satu karyawan magangnya di depan kedai.
"Shit!!! Mana nenek itu?!" Lagi-lagi ia mengumpat kesal, ia mencari nenek yang kemarin berbicara dengan gadis rekomendasi Juan. Rasa penasarannya yang tinggi pada nenek itu yang membuatnya berakhir di klub ini.
Sekali lagi Reino mengedarkan pandangannya ke setiap tempat di klub itu, tapi tak juga ia temukan nenek yang ada di mimpinya itu. Untuk meredakan amarahnya, ia mencoba untuk meredamnya dengan memesan minuman pada bartender di depannya.
"Liqueurs please!" seru Reino pada bartender di depannya.
Ia sengaja memesan minuman dengan kadar alkohol tak begitu tinggi karena ia tak mau terlalu mabuk saat pulang. Biasanya ia selalu memilih minuman berkadar alkohol tinggi untuk menghilangkan trauma hatinya yang kadang muncul tiba-tiba, juga saat tanggal 15 telah usai. Untuk meredam kekecewaannya karena pengharapannya lagi-lagi sirna, esoknya ia biasa meminum tiga hingga lima kaleng bir dalam satu kali waktu di rumahnya. Ia memiliki sejumlah stok bir kalengan di lemari pendinginnya. Tapi kali ini ia harus memilih yang lebih ringan, mengingat ia harus pulang dengan secara sadar karena harus mengendarai mobilnya.
Lamat-lamat Reino mengamati dekorasi yang tertempel di dinding klub itu sambil menunggu pesanan minumannya selesai diracik oleh bartender. Dalam hatinya ia mengeluh 'kenapa juga bartender di klub ini sangat lama meracik minuman yang seharusnya mudah.' DEkorasi yang cukup membingungkan untuk sebuah klub malam. Banyak lukisan dan ornamen kecil yang tergantung di dinding klub. 'Ah, mungkin pemilik klub ini sangat eksentrik sehingga mengoleksi barang-barang kuno' pikir Reino. Namun sesaat kemudian matanya tertuju pada dekorasi yang membuat ingatannya melayang pada isi dari buku dongeng yang sering ibunya ceritakan saat ia masih kecil.
Butterfly. Ada hiasan di dinding yang berbentuk kupu-kupu cantik. Bukan hiasan yang biasa menurut sudut pandangnya, sebab jika di lihat secara lekat, itu bukanlah kupu-kupu biasa. Seolah bagian kepala kupu-kupu itu adalah seorang gadis cantik dengan memakai mahkota kecil di atas kepalanya.
"Putri Vanetta … " gumamnya.
"Silakan dinikmati … " suara bartender yang menyodorkan gelas berisi minuman membuyarkan pandangan Reino pada hiasan di dinding klub.
Dengan gusar Reino meneguk minuman di hadapannya. Satu tegukan utuh tanpa sisa.
"Damn it! Minuman apa ini?!" Reino mengumpat sejadinya. Rasa tak enak menggelayuti lidahnya. Ia tak pernah merasakan minuman alkohol favoritnya sebegitu pahit di lidahnya. Seolah meminum jamu pegal linu milik ayahnya yang pernah ia cicip saat masih kecil dulu.
Reino benar-benar dibuat kesal malam ini. Ia bersumpah akan menumpahkan kekesalannya malam ini pada Ruby jika saja ia bisa menemukan gadis itu saat ini juga karena telah mengarahkannya pada tempat yang salah. Rasa pahit di lidahnya masih saja mengusik indera pengecapnya, ia berusaha menghilangkannya dengan menyalakan sepuntung rokok. Asap yang mengepul dari mulutnya masih tak mampu menghilangkan rasa pahit di lidahnya.
"Persetan dengan mabuk! tambah lagi, please!!!" Reino sudah tak tahan lagi dengan rasa pahit di lidahnya hingga ia memesan minuman beralkohol tinggi dengan jumlah yang cukup bisa menumbangkan tubuhnya. Ia sudah tak lagi memikirkan efek samping setelah meminum vodka yang akan mengakibatkannya mabuk total.
'Kenapa aku bisa sampai ke tempat ini, hanya demi rasa penasaranku dengan nenek-nenek yang datang ke mimpiku!' gerutu Reino terlihat kesal dengan kebodohannya yang datang ke tempat asing seperti ini.
Tak lama kemudian, bartender menyodorkan satu sloki minuman ke hadapan Reino. Lagi-lagi ia merasa kesal dengan pelayanan bartender di klub ini. Tanpa pikir panjang lagi ia menenggak habis minumannya. Ia sudah berniat, setelah menenggak habis minumannya ini, ia akan pergi dari klub yang membuatnya kesal.
Dengan hati yang penuh amarah ia bangun dari temapt duduknya. Ia sudah akan mengakhiri pencariannya tentang si nenek tua yang ada di mimpinya. Ia bahkan tak menyadari minuman terakhir yang ia tenggak bukanlah vodka yang ia pesan sebelumnya.