Rio kecil mendekap ayahnya yang menceritakan sosok ibunya yang meninggal sejak ia bayi, untuk mendengarkan kisah ibunya ia lebih rela meninggalkan permainannya bersama teman-temannya. Ayahnya selalu dengan bangga bercerita tentang istrinya yang menjadi ibu Rio.
" Saat itu ayah bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik, selalu tersenyum dan kadang kerudungnya yang panjang mengibas mengikuti arah angin dan dengan lembut tangannya menahan kerudungnya yang terbang itu. " ayahnya yang bernama Bagas bercerita dengan penuh keseriusan, penghayatan penuh.
" siapa dia ayah ? ... " Rio yang duduk dipangkuan ayahnya bertanya penasaran dengan wanita yang selalu dipuja ayahnya.
" wanita tercantik nan lembut, dia istri ayah ... ibu mu sayang. "
" ibu ? ... apa ibu menyayangi ku ? dimana ibu sekarang ? " Rio menatap ayahnya dan bertanya dengan penasarannya yang tinggi, ia rindu dengan ibunya dan haus akan kasih
sayang ibunya.
" ibu mu sangat sayang sama Rio ... setiap waktu ibu selalu bernyanyi dengan merdu agar Rio bayi bisa tidur lelap. " Bagas memeluk Rio dan membiarkan Rio sejenak bermain dipangkuannya.
Hari ini Bagas sudah harus kembali pulang ke kota untuk bekerja mencari uang untuk biaya kehidupan Rio dan kakek-nenek yang mengurusnya.
" aku titip Rio ya bu ... " Bagas berpamitan dan tak lupa menitipkan pesan kepada ibunya, yang ia tahu bahwa ibunya seperti memiliki dendam dengan putranya semenjak istrinya meninggal, seminggu setelah Rio dilahirkan.
" asal kamu kembali kemari lebih cepat ibu akan menjaga anak kesayangan mu itu. " sahut ibunya dengan ketus.
" ayah mau pergi lagi ? ... " Bagas membelai rambut putranya yang sengaja menunggunya diujung jalan seorang diri.
" cepat sekali ayah pulang, kapan kita bertemu ibu ? " Rio memegangi ujung kemeja ayahnya, nyata diwajahnya kalau ia berharap bahwa ia ingin bersama ayahnya lebih lama.
" tunggu ayah pulang kemari dan ayah akan tunjukan dimana ibu mu. " Bagas tersenyum, mengurai keengganan Rio melepasnya pergi.
" anak manis ... jangan nakal selama ayah pergi dan ingat semua nasehat ayah ya sayang. "
Rio mengangguk dan Bagas bisa dengan tenang pulang ke kota.
***
Sekian lama Rio menunggu, sebulan, dua bulan hingga setahun barulah ayahnya datang, saat ia naik ke kelas IX SMP. Ayahnya datang dengan sejuta cerita dan pengalaman untuk anak yang dirindukan dan baru kembali bertemu setelah lama merantau di kota.
" apa di kota menyenangkan ? " Tanya Rio satu waktu.
" memang, ada apa Rio ? ... "
" ayah senang sekali tinggal di kota daripada bersama Rio disini. Memang ada apa di kota ? ... " nampaknya Rio kesepian selama ayahnya pergi.
" yang jelas nggak ada kamu yang selalu merepotkan ! " neneknya menyeletuk kesal, membuat Rio tertunduk sedih.
Bagas tahu kalau Rio tersinggung dengan celetukan neneknya, dengan lembut Bagas mengelus tiap rambut Rio yang tertunduk, hingga Rio tersenyum riang untuk Bagas. Ayah yang luar biasa baginya, pengganti ibu yang tak pernah ia ingat seperti apa wajahnya.
" di kota ayah bekerja, disana ada sebuah rumah sederhana tapi nyaman ditinggali, hangat dan penuh dengan kasih sayang, ada taman kecil yang asri di teras. Pasti kamu senang kalau ada disana. " ayahnya bercerita tentang kediamannya di kota.
" kalau begitu aku mau tinggal di kota. " Rio sangat antusias.
" lebih cepat lebih baik. " neneknya menyeletuk lagi membuat Rio bungkam, benar-benar seperti orang bisu dan Bagas tahu belaiannya tak akan bisa membuat Rio tersenyum untuk yang kedua kali.
" Rio ... kamu mau belajar mengendarai motor ? " Bagas membuat sebuah pertanyaan yang juga penegasan karena ia akan mengajaknya belajar mengendarai motor.
***
Rio serius bahkan tegang ketika pertama kali mengendarai motor yang dipinjam ayahnya untuk Rio belajar, tetapi setelah satu jam kemudian Rio sudah fasih dengan motor itu bahkan ia seperti sudah lama bisa mengendarai motor.
Bagas senang melihat Rio lebih bahagia dari sebelumnya ketika ia diceletuki neneknya.
" ayah kapan kita bertemu ibu ? ... " motor yang dikendarai Rio menghampiri Bagas.
" Rio sudah tidak sabar bertemu ibu nak ? ... " Rio mengangguk yakin.
" baiklah ... tapi kita beli mawar dulu ! " Bagas teringat sesuatu.
" kenapa kita beli mawar ? ... " Rio heran, pelan ia standarkan motornya disamping ayahnya dan dia sendiri menghampiri ayahnya.
" karena mawar kesukaan ibu mu. "
***
Leona terkejut ketika dentingan sendok menghantam cangkir yang berisi teh
disampingnya.
" kak, sedang baca apa ? ... " tiba-tiba Leo muncul dan berusaha melihat apa yang dibaca kakaknya lewat laptop.
Leona yang terkejut buru-buru menutup laptopnya dan menghindarkannya dari Leo.
" heh, nggak boleh lihat-lihat, bayar kalau lihat ! " Leona bergegas pergi dan menjulurkan lidah kearah Leo. Mendapat perlakuan itu Leo tidak terima dengan cepat ia berlari menghampiri kakaknya yang sudah keburu berlari ke teras rumah yang dipenuhi bunga, yang sengaja ditanam ibu mereka.
" kak ... jangan lari terus, kalau nggak salah kenapa lari-larian hayoo. " Leo berucap sambil mengejar kakaknya, yang sekarang terkekeh karena berhasil membuat adiknya terengah
mengejarnya.
Di dalam rumah, disebuah kamar seorang ibu tersenyum memandangi putra-putrinya bercengkrama dengan riang.
Leo cepat mengerem dengan pakem saat ia melihat Kenita temannya lewat dihadapannya, mereka saling pandang dan tersenyum, melihat senyum Kenita yang manis membuat Leo tersipu dengan wajah yang berubah merah padam.
" hmh, cie ... Leo malu-malu. Suka ya sama Kenita ? " ucap Leona dibelakang Leo.
Leo menoleh malu kearah kakaknya, saat melihat Kenita tadi menoleh kearahnya dan kembali memberikan senyum manis.
" hahaha ... " Leona tertawa nyaring melihat wajah adiknya semakin memerah.
" kakak ... !!! " nada suara Leo gemas dan ketika Leo akan membalas dengan fisik, ibunya datang untuk mengajak kedua anaknya masuk dan makan malam.
***
" papa tidak pulang lagi mam ? ... " Tanya Leo.
Mama Leo yang bernama Ayu menggeleng sedang tangannya sibuk menyendok nasi untuk anak-anaknya.
" makan Leo jangan banyak tanya. " Leona pusing mendengar adiknya selalu bertanya, dimana ayahnya atau kapan ayahnya pulang.
" aku hanya tanya kenapa jawabnya kasar begitu ? ... " Leo menekuk wajahnya yang sebal, disahut dengan kasar oleh kakaknya.
" sentiment ... " Leona menyuap makanannya.
" Leona jagan kasar sama adik kamu. " Ayu menasehati Leona.
***
" Rio... kita jadi ke lapangan? " tanya Jojo teman sepermainan.
" pastinya ... kita mau main bola apa bulu tangkis ? ... " Rio menghampiri Jojo yang menunggunya didepan pintu.
" bola ... anak-anak udah pada nunggu dilapangan. " Merekapun dengan suka cita menuju lapangan dan Bagas sangat senang melihat anaknya riang bermain dengan teman-temannya.
Rio dan Jojo terperangah karena dengan kasar lima lelaki berbadan besar menghalanginya bermain bola dilapangan.
" kalian dilarang main bola disini, ini tempat kita main bola, kalau kalian mau main mending ditengah sawah sana. "
" tapi kita duluan yang ada disini mending kakak-kakak ngantri aja. " ucap Udjo yang paling pandai bicara.
" heh, nantang berantem kalian masih kecil kok ngelawan. "
" kenapa kalau kita mau ngelawan? jangan remehin kita ya ... biar kecil tapi kita bisa ngelawan. " Rio yang ganti bicara untuk menakut- nakuti. Suara tawa membahana, mata pemuda yang jauh lebih besar dari Rio dan teman-temannya menatap tajam membuat teman-teman Rio menciut nyali.
Sebuah pukulan menghantam wajah Rio yang belum sempat memasang kuda-kuda hingga ia terjengkang dengan wajah meringis menahan perih.
" curang kakak !!! " Rio bangkit dan mulai memasang kuda-kuda, tangannya sudah mengepal, siap kalau-kalau datang pukulan yang berikutnya.
Datang pukulan kedua dan Rio berhasil menangkis lalu terjadilah perkelahian seru, saking serunya sampai Rio dan big kid itu
bergulingan dilapangan yang masih beralaskan tanah liat kecoklatan.
Seluruh tubuh Rio penuh dengan tanah begitu juga lawan yang menyerangnya, Rio yang tak
terima dipukul bersiap membalas lima kali lipat lebih sakit dan membabi buta.
" Rio ... udah ! dia udah bonyok ... " Jojo menarik tubuh Rio yang berada diatas tubuh lawan yang terbaring lunglai di tanah.
" dia main curang Jo ... aku ndak terima dipukul, aku ndak salah sama sekali tho ! " Rio memberontak agar Jojo melepas tangannya.
" udahlah mending sekarang kita pulang aja. " yang lain meminta penyelesaian dan pulang sebelum sore seperti yang diniatkan.
***
Bagas menatap Rio dengan tatapan kemarahan, membuat Rio ketakutan dan hanya bisa tertunduk. Bagas membersihkan setiap luka Rio diwajahnya tanpa berkomentar.
" ayah marah sama Rio ya ?! ... " Rio takut-takut.
" kamu kenapa berkelahi ? ... " Bagas malah balik bertanya.
" kakak-kakak itu yang pertama memukul Rio, Rio ndak suka dipukul tanpa sebab, apa itu salah, ayah ... ?! " Tanya Rio dengan polos.
" jelas itu salah, kamu memang punya keahlian bela diri tapi ayah minta keahlian kamu itu tidak digunakan untuk berkelahi, kamu gunakan untuk kebaikan, ya nak ! bela diri bukan untuk berkelahi. " Rio mengingat ucapan ayahnya itu dalam, hingga dasar pemikirannya.
" kalau kamu jadi anak yang baik ayah janji membawa kamu bertemu ibu. " Rio tersenyum dan mengangguk riang, ia seperti lupa dengan semua rasa sakit dari luka-lukanya.
***
Bagas sudah berdandan rapi tinggal menunggu Rio yang masih sibuk didalam kamarnya.
" Rio ... kamu sedang apa ?! cepat sedikit ! " Bagas sudah tidak sabar menunggu anaknya, yang hampir satu jam didalam kamar.
Akhirnya Rio keluar dari kamar dan ketika keluar Bagas memperhatikan anaknya dengan senyum geli yang tertahan. " kamu apa-apaan, Rio ? ... " Tanya Bagas ketika melihat anaknya berdandan berlebihan seperti itu.
" aku mau dandan yang ganteng biar ibu senang kalau lihat aku, ayah ... " Rio begitu bangga dengan penampilannya.
" tidak begitu sayang, ibu mu hanya butuh doa dari kamu yang sholeh, Rio mau kan doakan ibu ? " Bagas menghampiri Rio dan merangkul anaknya sambil berjalan keluar rumah.
" ya ... ayah ! " Rio memegangi ujung pakaian ayahnya dan tersenyum senang kepada ayahnya yang membimbingnya berjalan dengan rangkulan lembut.
Satu setengah jam kemudian Rio celingukan ia linglung dengan tempat asing baginya, Rio menengadah menatap ayahnya yang terus membawanya berjalan diantara nisan-nisan yang berdiri kokoh menancap di tanah berkerikil, ketika Rio memperhatikan ia baru sadar kalau hampir disetiap sudut tempat itu ditumbuhi pohon yang berdiri kokoh melindungi beberapa nisan dari terik matahari yang panas membakar pori-pori, yang mulai melebar dan itu membuat pori-pori menangis mengeluarkan cairan yang membasahi tubuh Rio dan Bagas.
Bagas sengaja menunduk menatap Rio dan tersenyum melihat kebingungan anaknya tersebut.
" assalamualaika ya ahlan kubur. " ucap Bagas membuat Rio menengadah lagi menatap
ayahnya yang berkata aneh itu.
" kita beri salam untuk malaikat, Rio juga bilang ya ... " Bagas tahu kebingungan anaknya.
Rio mengangguk, " assalamualaikum ya ahli kubur ... " Rio menatap ayahnya dan Bagas mengangguk dengan senyum bangga untuk putranya.
" kemari Rio ... " Bagas mengajak anaknya mendekat kepadanya yang berjongkok dihadapan sebuah nisan yang bertuliskan sebuah nama ' Andini Rahayu Prastisha '
" ini ibu mu ... " Bagas merengkuh anaknya agar lebih mendekat kepadanya.
" ibu ... dimana ? Rio tidak lihat. " Rio masih saja belum mengerti.
" ibu mu sudah meninggal, disini makamnya, kamu harus sering-sering doakan ibu, biar ibu senang disana bersama allah, Rio mau kan berdoa untuk ibu ? " Rio mengangguk dan
menatap nisan yang terlihat lusuh, tanpa sadar tangan kiri Rio mengusap debu yang ada di nisan ibunya dan tangan kanannya yang lunglai masih erat memegangi setangkai mawar, bunga kesayangan bundanya menurut ayahnya.
Bagas melihat cairan merah mulai menetes dari sela-sela jari Rio yang mencengkram mawar berduri itu.
Bagas mengambil mawar dari genggaman tangan Rio, yang tangkainya sudah dilumuri darah.
" ini mawar dari anak mu Dini, dia sangat merindukan mu. " Bagas meletakan mawar itu didepan nisan istrinya.
" apa bunda ku baik, apa bunda ku cantik, apa dia menyayangi Rio ? ... " Rio memberondong Bagas dengan banyak pertanyaan.
" bunda mu sangat baik dan cantik, bunda mu juga sangat sayang sama Rio, tetapi karena ibunda mu terlalu baik hingga allah putuskan untuk mengajaknya tinggal bersama yang maha penyayang. " Rio mulai berkaca-kaca mendengar ucapan ayahnya.
" kapan Rio dapat kasih sayang bunda ... ?! "
" ayo pulang Rio ... " Bagas bangkit dan berdiri disamping putranya yang masih menunggu jawaban.
" kapan Rio dapat kasih sayang bunda ? setiap hari Jojo membawa bekal buatan bundanya, Udjo yang mengambilkan rapor, bundanya dan bundanya selalu memberikan hadiah kalau nilai rapor Udjo bagus. " Rio menceritakan kisah teman-temannya yang mendapatkan kasih sayang seorang bunda yang tidak pernah ia dapatkan.
" bunda pasti memberikan kamu kasih sayang, suatu saat nanti kamu pasti merasakan kasih sayang bunda yang nyata. Yang jelas Rio sayang bunda kan ? ... Rio memberikan mawar itu untuk bunda sebagai tanda sayang kan ? ... " Bagas berusaha menjawab pertanyaan putranya yang sangat sulit baginya.
" Rio kangen sama ibunda ... Rio ndak bisa lihat bunda ! " Rio menangis tersedu hingga ia menghentikan langkahnya ditengah tanah pekuburan.
Bagas tak bisa mengucapkan apapun kecuali merengkuhnya dan meletakan tubuh anaknya dalam pelukannya, membiarkan tangis Rio membenam dalam bahunya.
" Rio ... naik ke punggung ayah !!! " Bagas meminta Rio naik ke punggungnya.
" Rio kan sudah besar ... kenapa digendong ayah ? " Rio malu-malu menuruti permintaan ayahnya.
" ini hadiah karena Rio jadi anak baik, nanti kita lakukan apapun mau Rio setelah kita tiba dirumah. " salah satu cara Bagas menenangkan Rio.
Rio yang terbujuk dengan kata-kata Bagas sudah tenang diatas punggung ayahnya.
" sudah belum ? ... " Bagas memastikan anaknya nyaman diatas punggungnya.
" ya ... "
Dalam perjalanan Bagas terus menembangkan sebuah lagu membuat Rio merebahkan kepalanya dibahu Bagas menikmati senandung dan hangat punggung ayahnya yang memboyong tubuhnya menyusuri jalan pulang.
Bagas tersenyum melirik anaknya yang terlelap diatas punggungnya, sebuah titik pengabur pandangan jatuh perlahan menyusuri pipi Bagas, ia tidak bisa memberi kepastian kapan dan seperti apa rasanya disayangi seorang ibu kepada putranya.
" suatu saat nak !!! kamu akan merasakan kasih sayang seorang ibu ! " hanya kata itu yang terus ia ucapkan meski anaknya tak mendengar, kata-kata lirih itu begitu nyata ia sajakkan.
***