Erik terkulai lemas di tempat tidurnya. Tidak ada apapun yang bisa dilakukannya saat ini, dia lemah, dan dia lelah. Bukan hanya tubuhnya yang menderita saat ini tapi hati dan pikirannya yang tak hentinya memikirkan Almeera terus membayang di benaknya. Apa yang harus dia lakukan? Atau seharusnya dia bersama Almeera sekarang? Atau mungkin sebaiknya dia menelpon Almeera, meminta maaf dan menjelaskan segalanya? Sayangnya, semua itu percuma saja saat tubuhnya sendiri tak dapat ia kendalikan, seluruh tenaganya seperti menghilang, kabur meninggalkannya entah kemana, tapi, Erik juga tak bisa pasrah dan diam begitu saja, hanya saja, tiap kali dia menggerakkan tubuhnya, bagian tubuhnya yang lain justru memberatkannya. Bagaimana ini? Erik memutar otak, dan pada akhirnya dia hanya bisa pasrah pada keadaan, meskipun dia tahu ini bukan dirinya.
Erik bukanlah orang yang mudah menyerah pada kenyataan, menentang adalah salah satu prinsip hidupnya, tapi mungkin ada saatnya ketika seseorang harus menyerah terhadap apa yang selama ini telah ia pertahankan.
Erik menutup kedua matanya perlahan, mencoba mencari ketenangan disana. Yah, seperti inilah hidupnya seharusnya, dimana dia merasakan segalanya sendirian. Hanya seorang diri. Tanpa siapapun di sisinya. Semua orang meninggalkannya. Ayahnya, ibunya, dan sanak keluarganya yang lain pun semua membuang dirinya. Dia ditinggalkan. Dia ditelantarkan. Seharusnya Erik sudah tahu rasanya, seharusnya dia sudah terbiasa dengan perasaan sepi ini, dengan kegelapan yang menyelimuti setiap harinya, sampai Almeera hadir dalam hidupnya, dalam hidup Erik yang sepi seperti raga tak bertuan.
Almeera membuat Erik lupa bagaimana rasanya ditinggalkan karena Almeera selalu ada disisinya, tak peduli bagaimana awalnya Erik menolak kehadiran gadis itu di hidupnya, tapi lama kelamaan malah Erik menjadi terbiasa dan tak bisa hidup tanpa kehadiran Almeera. Waktu begitu cepat berlalu. Mungkin Erik terlalu terlena dengan dunia yang diciptakannya dengan Almeera sampai Erik lupa, bahwa sebenarnya, dunia mereka berdua itu semu. Kebahagiaan yang mereka rasakan selama ini mungkin saja tidak nyata, dan Erik, entah mengapa, punya firasat kalau sebentar lagi mereka harus kembali kedunia nyata, tempat dimana segalanya bermula.
Erik memicingkan pendengarannya, saat telinganya samar-samar menangkap bunyi kunci pas yang di tekan. Meskipun matanya masih tertutup, tapi, Erik sedikit waspada. Bagaimanapun, hanya dia, Almert, dan Almeera yang tahu pas apartemennya, dan saat ini sudah larut malam, mengingat Almeera yang sangat marah padanya tadi siang, jadi apa mungkin saja yang datang adalah Almert?
"Erik…" suara itu. Segera saja Erik membuka matanya. Sekuat tenaga dia memaksa dirinya untuk bangkit dan berdiri, berjalan keluar kamar meski tertatih dan menghampiri sumber suara.
"Erik?" suara itu lagi setelah melihat Erik melangkah keluar kamar. Wajah Erik makin pucat dan keringat dingin kini memenuhi seluruh tubuhnya.
"Kau baik-baik saja?" Erik tak menjawab, kini ia bersandar di pintu kamar, berusaha menyerap oksigen semampu ia bisa.
"Almeera? Apa yang kau lakukan selarut ini?" Tanya Erik setelah berhasil menguasai dirinya, dan menatap Almeera.
Almeera. Yah, dia Almeera. Masih lengkap dengan pakaian kantor yang dia kenakan tadi siang. Wajahnya nampak letih, dan make-up nya sudah luntur, tapi bukan itu yang membuat Erik bingung, tadi siang Almeera sangat marah, meninggalkan Erik begitu saja tanpa mengatakan apapun, saat Erik mencarinya kemana-mana dia tak menemukannya, dan malam ini dia datang begitu saja ke tempat Erik. Apa Erik sedang bermimpi? Berhalusinasi? Apa sebenarnya dia adalah malaikat pencabut nyawa yang menjelma menjadi Almeera agar Erik dengan sukarela di cabut nyawanya? Tidak. Erik yakin yang datang ini sungguh Almeera. Almeera yang sebenarnya, yang kini sedang memandang Erik dengan mata berkaca-kaca.
"Erik…" lirih Almeera lagi, kemudian berlari ke arah Erik setelah membuang tas tangannya ke sembarang tempat.
"Maafkan aku, maafkan aku" Almeera memeluk Erik erat, kemudian begitu saja air matanya tumpah, ia terisak di bahu kekasihnya.
"Hei! Apa kau baik-baik saja?" Erik lumayan terkejut, ini rasanya tidak biasa. Dalam waktu kurang dari 24 jam Almeera yang marah tiba-tiba datang padanya dan meminta maaf? Sebuah keajaiban! Almeera yang biasanya marah sampai berhari-hari, dalam waktu kurang dari sehari malah meminta maaf dengan sendirinya. Apa terjadi sesuatu?
"Maafkan aku. Aku sangat merindukanmu" ujar Almeera manja. Sudah cukup. Erik tidak akan bertanya lagi apa yang terjadi. Sekarang ini, Erik sudah sangat bahagia. Baginya, inilah surga, saat dirinya dan Almeera bersama dan tak ada jarak atau apapun yang bisa memisahkan mereka.
"Aku juga. Aku juga mencintaimu " lirih Erik di telinga Almeera, dan tanpa diduga, Almeera malah makin mempererat pelukannya pada Erik membuat Erik terkekeh.
"Apa kau ingin kita terus seperti ini?" Tanya Erik, dengan manja Almeera mengangguk.
"Kau tidak ingin lepas dariku?" Erik lagi, dan lagi-lagi Almeera mengangguk.
"Baiklah, tapi bisakah kita duduk di sana? Aku tidak terlalu fit…" Almeera melepaskan pelukannya dan dengan sebal menatap Erik, dasar si tukang perusak suasana satu ini.
"Apa kau tidak ingin aku?" Tanya Almeera, Erik tertawa geli mencubit pipi pacarnya, dan memeluknya dengan mesra.
"Aku ingin selamanya kita seperti ini" ujar Erik. Selamanya seperti ini.
Jika seperti ini terus, anda mungkin tidak akan bisa bertahan sampai tahun depan.
Erik meringis. Kenapa perkataan dokter justru mengusik di pikirannya saat dia ingin fokus pada Almeera.
"Tapi bisakah kita duduk?" kembali Erik bertanya, dia sedikit lagi ambruk jika tidak segera duduk. Dengan sebal, Almeera melepas pelukannya, mencubit pelan perut Erik, dan berjalan menuju sofa di tengah ruangan. Erik dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya terkikih dan berjalan dengan sangat pelan menyusul Almeera, meskipun gadis itu tidak menyadarinya.
"Jadi apa yang membawamu kesini jam segini?" Tanya Erik setelah dia duduk dan bersandar di sofa, di sisi Almeera.
"Aku tidak ingin membahas apapun sekarang" Almeera jutek. Kemudian menatap Erik, dan menyadari kalau pacarnya itu sepucat mayat. "Aku hanya ingin bersama kekasihku malam ini" dan Almeera meraih bahu Erik, menariknya agar Erik berbaring dengan kepala diatas paha Almeera.
"Wahh…nyaman sekali" ucap Erik spontan. Ini adalah malam terbaik dalam hidupnya.
"Kau sungguh sakit?" Tanya Almeera memegang dahi kekasihnya, Erik mengangguk.
"Apa kita perlu ke rumah sakit?" Erik menggeleng. Rumah sakit? Yang benar saja! Dia tidak ingin Almeera menjadi panik jika tahu sakit yang sedang di derita oleh Erik. Cukup Zafreno saja yang membuat Almeera khawatir untuk saat ini, meskipun pada akhirnya Almeera nanti akan tahu, tapi setidaknya jangan sekarang, karena Erik tahu, Almeera masih sangat takut kehilangan adiknya itu.
"Aku hanya merasa tidak nyaman saat kau menjauh dariku" Erik meraih tangan Almeera, menggenggamnya erat, dan meletekkannya di dadanya. Nyaman sekali.
"Aku juga." Almeera singkat. Erik tersenyum, dan kembali menutup matanya, kini perasaannya lebih tenang. Dia sudah mendapatkan kembali tempat dimana seharusnya dia berada. Di Sisi Almeera.
Fade
Selama ini dia dikenal sebagai orang yang easy going, dia tidak suka mempersulit segalanya, asalkan ada jalan keluar, maka yang termudahlah yang akan di laluinya. Ini persoalan terumit pertama dalam hidupnya. Almert memegang bibirnya, kebiasanya saat dia sedang berpikir keras. Ini rumit, sepertinya dia sudah menempatkan dirinya sendiri dalam sebuah kisah cinta segitiga, sayangnya, dialah yang menjadi orang ketiganya, dan Almert tidak suka itu. Tapi waktu terus berjalan, bumi berputar pada porosnya, sesuatu yang sudah terlanjut terjadi tak bisa diulang ataupun dihapus dari ingatan, semuanya sudah terjadi, cintanya sudah dia jatuhkan pada seorang Almeera, dan hal itu harus dia perjuangkan. Tapi, bagaimana dengan Erik? Persahabatan yang ia jalin dengan Erik juga bukan hal remeh yang bisa ia lepaskan begitu saja.
Masa-masa saat pertama kali ia mengenal Erik satu per satu kembali melintas di benak Almert, saat itu sebenarnya dia tidak begitu suka dengan Erik karena dia tipe orang yang terlalu ramah dan terlalu banyak bicara, dan Almert tidak suka orang-orang yang seperti itu. Pandangannya pada Erik berubah saat dirinya harus di larikan ke rumah sakit karena mengalami kecelakaan tunggal, sayangnya, karena dia masih tercatat sebagai mahasiswa asing di negeri orang, tak ada siapapun yang bersedia menjadi walinya, padahal, operasi harus segera dilakukan, terlambat sedikit saja, Almert bisa kehilangan nyawa. Saat itulah, Erik menawarkan diri, padahal saat itu Erik juga sedang check up, untung saja, pihak rumah sakit menerima permintaan Erik untuk menjadi wali Almert. Sejak saat itu, mereka berdua bak pinang di belah dua, tak terpisahkan.
Almert tersadar dari lamunannya saat pintu ruang kerjanya di ketuk. Dia sudah tahu siapa yang datang menemuinya, tadi dia sendiri yang memanggil wanita itu untuk datang, jadi Almert merapikan sedikit kemeja dan dasinya, kemudian berjalan menuju sofa di tengah ruangan setelah dia mengatakan kata "masuk" untuk wanita yang tadi mengetuk pintu kantornya.
Wanita itu berjalan dengan ragu, tapi tetap meyakinkan diri untuk bisa bertahan dan menghadapi segalanya, setelah dia membungkuk sedikit kepada Almert yang berstatus bosnya, wanita itu hanya bisa menunduk, menatap lantai, seolah lantai yang berwarna grey itu sangat menarik untuk di pandang.
"Silahkan duduk Nona" ucap Almert sopan, kemudian dia sendiri duduk di sofa tunggal yang berada tepat di tengah deretan sofa panjang, setelah Almeera duduk dengan tenang di salah satu sudut sofa panjang.
"Aku yakin kau sudah mendengarnya dari orang tuamu" Almert memulai. Almeera terdiam, menunduk. "Aku tidak akan memaksamu, kau bisa memikirkannya dulu. Jangan merasa terganggu karena hal ini" lanjut Almert, Almeera masih setia dengan kediamannya.
"Nikmati waktumu dan bersikaplah dewasa" jelas Almert lagi. Kemudian diam diantara mereka. 5 menit, 10 menit, 15 menit…
"Maaf Tuan, apa aku boleh meminta sesuatu?" Almert menoleh, menatap wajah Almeera, terdengar ganjil rasanya Almeera memanggilnya tuan, tapi dia berusaha dengan sangat keras menutupi ketidak sukaannya itu, dia tidak ingin Almeera merasa terganggu karena tatapannya.
"Apa kau bisa merahasiakan hal ini dari Erik? Aku tidak ingin dia tahu apa yang terjadi diantara kita. Lagipula, jika anda dalam hal ini tidak memaksa saya, berarti seharusnya anda bersedia menerima jika seandainya saja saya menolak untuk di jodohkan dengan anda" ucap Almeera mantap, dia sendiri terkejut bisa mengutarakan maksudnya dengan sangat lancar seperti itu. Almert menatap Almeera penuh minat, membuat Almeera tertunduk malu.
"Baiklah. Semuanya akan berjalan seperti yang kau inginkan" ucap Almert. Almeera tersenyum senang. Dia tidak menyangka semuanya akan semudah ini, kalau Almert akan memenuhi setiap tuntutannya, apa Almert memang selalu sebaik ini? Almeera menatap Almert dengan mata berbinar. Ahh, mungkin dia salah, mungkin tidak sebaik itu juga.
"Ehm, kalau begitu saya permisi" dan begitu saja, Almeera berdiri dari duduknya, sedikit menunduk kepada Almert dan berlalu. Ketika Almeera menghilang dari penglihatannya, Almert menghembuskan nafas, dia mati-matian menjaga imagenya tadi, tapi entah mengapa jantungnya berdegup sangat cepat, lebih cepat dari biasanya.
Fade