Chereads / Fade to love you / Chapter 9 - FTLY 9

Chapter 9 - FTLY 9

"Apa kau tahu?" Erik menengadahkan wajahnya menatap Almeera, Almeera sibuk menyiapkan meja dan mengatur makanan untuk makan malam mereka berdua.

Almeera tersenyum dan menatap Erik "Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu, perbaiki posisimu dan kita akan makan sekarang" lalu Erik menurut, dia tidak ingin melawan, baginya kata-kata Almeera adalah tabu, segalanya harus di lakukan apapun yang terjadi.

"Apa kau akan menginap disini malam ini?" Tanya Erik kemudian memasukkan beberapa potong labu ke dalam mulutnya.

"Kau mau mati?" Almeera menyumpitkan ikan kepada Erik, dan untuk dirinya sendiri.

"Apa kau tidak takut pulang jam segini?" Tanya Erik lagi.

"Apa kau tidak akan mengantarku pulang?" Almeera bertanya bailk. Erik menghentikan makannya dan terkikih.

"Hei! Aku ini pasien! Kau tidak tahu? Aku bahkan mengambil cuti sakit di kantor dan pacarku sendiri tidak tahu" celoteh Erik mencoba menggoda, tapi Almeera masih tanpa ekspresi dan terus mengunyah makanannya.

"Kalau begitu aku akan pulang sekarang" Almeera meletakkan sumpitnya di atas meja dan berdiri dari duduknya saat Erik menarik tangannya dan cekikikan.

"Aku bertanya-tanya apa kau sedang 'dapat' sehingga membuatmu sensitif seperti ini" Tanya Erik, kini matanya dan Almeera saling bertemu, "tapi sepertinya kau memang sedang sensitif, sayang, harusnya 'tanggalmu' sudah lewat sejak seminggu yang lalu" dan Erik menarik Almeera hingga terduduk di pangkuannya. Wajah Almeera semerah kepiting rebus, dia mencoba melawan dan berontak saat Erik merangkulnya erat, tapi percuma, apa Erik sungguh sedang sakit?

Erik mendekatkan wajahnya ke wajah Almeera. Tangannya yang bebas mulai nakal, membuka satu persatu kancing kemeja Almeera, mata mereka masih saling bertemu. Kancing pertama, kancing kedua, kancing ketiga, jarak wajah mereka kurang dari 3 cm, jelas terlihat hasrat di mata Erik, Almeera tahu jelas itu, maka dia menghembuskan nafas panjang, pasrah, jika ini saatnya maka…dengan satu hentakan Almeera menginjak kaki Erik membuat Erik mengerang keras karena kesakitan.

"Jangan berharap melakukan apapun, dasar bodoh!" Almeera memperbaiki letak kemejanya dan mengancingkan kembali kancingnya. Erik tersenyum gemas sambil memegangi kakinya yang kesakitan, yah, seperti itulah Almeera yang ia kenal, tidak akan mudah luluh meski siapapun tahu, Almeera sendiri berusaha keras menahan keinginannya untuk di sentuh oleh Erik.

"Baiklah, baiklah, lanjutkan makanmu" ucap Erik kembali meraih sumpitnya, Almeera meringis dan duduk kembali di kursinya, kembali makan dengan tenang.

Fade

"Mereka seharusnya bisa menikah lebih cepat," ucap ibu Almert berjalan di lobi kantor utama, dengan setia mendorong kursi roda suaminya tentu saja.

"Sayang, kurasa kau harus sedikit lebih bersabar" ucap ayah Almert tenang.

"Yah, kupikir putra kita adalah calon suami sempurna, bahkan semua wanita yang ada di gedung ini pasti menginginkan Almert menjadi suami mereka, tapi Almeera..." ibu Almert menghembuskan nafas, seharusnya, gadis sekelas Almeera tidak butuh waktu untuk mempertimbangkan, seharusnya dia langsung meng-iyakan saja, agar tak ada lagi kerisauan di hati sang ibu. Apa mungkin karena harga diri Almeera yang terlewat tinggi? Ibu Almert pernah mendengar kalau Almeera adalah seorang gadis yang angkuh dan keras kepala, meskipun begitu, dia yakin pilihannya tepat.

"Kita akan segera mendapatkan jawabannya, kau tenang saja sayang, apapun yang kau inginkan semuanya akan aku penuhi" ucap Tuan besar. Si istri tersenyum. Meski usia mereka sudah lanjut, tapi cinta yang diberikan oleh sang suami untuknya sedikit pun tak berkurang. Terlebih lagi, karena sang suami selalu memanjakan sang istri, untung saja hal inilah yang di warisi Almert. Almert sama persis seperti ayahnya, dia rela memberikan apa saja kepada orang yang dia cintai.

Ara, sekretaris Nyonya besar menelan ludah. Presdir Almert akan menikah dengan seseorang dan orang itu, Almeera? Almeera bukan seseorang yang terkenal di perusahaan, hanya saja, karena dia putri dari Pak Suyono, supir pribadi Tuan besar, Ara jelas tahu Almeera siapa yang di bicarakan oleh kedua bosnya, dia segera meraih ponselnya, mengetikkan sesuatu disana dengan tergesa-gesa dan mengirimnya entah kemana.

Fade

Erik hanya sedang menatap laptopnya, beberapa laporan keuangan yang sedang di pelajarinya membuat keningnya berkerut. Tidak, dia tidak sedang berada di kantornya, dia masih berada di apartemennya. Sebenarnya Erik berencana untuk kembali bekerja beberapa hari terakhir, dia benar-benar sudah merasa fit, meski memang wajahnya masih terlihat pucat, tapi sungguh, Erik merasa dia baik-baik saja, mungkin karena Almeera yang setiap hari datang mengunjunginya, mereka setidaknya makan bersama sekali dalam sehari dan itu meningkatkan nafsu makan Erik hingga nyaris 200% bagaimana dia tidak akan sehat? Tapi, bos nya yang baik, Almert, tetap melarangnya masuk ke kantor. Erik tahu bos nya itu sangat menyayanginya dan merasa sangat bersyukur pada Tuhan dia telah di pertemukan oleh Almert, akhirnya setelah perdebatan yang lama, Erik setuju untuk tetap tinggal di apartemen, namun Almert secara rutin akan mengirimkan pekerjaan yang seharusnya di selesaikan oleh Erik. Erik akan menjadi kartu As Almert, karena mereka sedang menyelidiki kasus korupsi yang mungkin saja terjadi di kantor pusat.

"Aku nyaris gila, apa kau yakin kau tidak merasa perlu mengganti orang-orang ini? Mereka benar-benar..." oceh Erik di telpon.

"Kau harus menyerahkan semua bukti ini kepada polisi dan menjebloskan mereka ke dalam sel. Ahh, sebelum itu biarkan aku kembali ke kantor dan menghajar mereka semua dulu" Erik lagi. Almert hanya tersenyum. Bukti yang kuat telah mereka pegang, Almert hanya akan menyerahkan sepenuhnya kepada polisi dan memastikan tikus-tikus itu membusuk disana beberapa puluh tahun.

"Kau tidak perlu mengotori tanganmu itu, aku hanya perlu mengumpulkan buktinya dan memastikan mereka semua membusuk di sel" ucap Almert sarkastis. Tidak akan pernah ada kata maaf bagi orang-orang yang berniat menghancurkan perusahaannya. Perusahaan yang telah dibangun dan di dirikan oleh kakek dan ayahnya, dia tidak akan bisa memaafkan orang-orang yang berniat merusaknya!

"Ahh, sayang sekali, padahal aku sangat ingin memberikan pelajaran bagi mereka" Erik kesal. "Kau tahu sudah sejak lama sekali aku tidak menyalurkan bakat terpendamku sebagai seorang petinju, kau tahu kan?" lagi-lagi Erik berhasil membuat Almert terkekeh.

"Fokus saja dulu dengan terapimu" Almert sudah siap dengan segala kalimat mutiaranya saat tiba-tiba Almeera membanting pintu hingga terbuka dan berlari ke arahnya.

"Bos! Gawat!" teriak Almeera berlari ke arah Almert yang hanya menatapnya kagum, seperti biasa.

"Apa itu Almeera ku? Dia Almeera bukan? Aku sangat kenal suaranya" Erik dari seberang.

"Iya…dia Almeera. Dia berlari, dan dia cantik seperti biasa" jawab Almert, terhipnotis seperti biasa tiap kali meihat Almeera.

"Jangan memonopoli, hanya karena aku tidak disana bukan berarti kau..." Erik menatap ponselnya, sambungan dengan Almert terputus begitu saja. Erik lumayan terkejut karena hal ini, tidak biasanya Almert seperti ini, mungkin sesuatu yang mendesak. Jadi Erik berusaha untuk santai dan tidak memikirkan apapun. Dia kemudian meregangkan sedikit badannya, dan berjalan menuju kamar mandi, dia tidak ingin Almeera merasa tidak nyaman berada didekatnya jika tahu Erik seharian belum mandi.

Fade

"Bos, gawat!" Almeera berlari menghampiri sang presdir. Panik, Almert ikut menghampiri Almeera setelah secara tidak sadar memutuskan sambungan telpon Erik.

"Aku, aku tidak tahu darimana mereka mendengarnya, tapi dengan jelas aku bisa mendengar mereka mengatakan kita akan menikah!" Almeera kesulitan menjelaskannya pada Almert, tapi Almert tahu gadis itu jelas berusaha menjelaskan apa yang tengah terjadi padanya.

"Aku bahkan belum mengatakan aku akan menikahimu, dan gosip itu menyebar begitu saja! Menjengkelkan sekali!" umpat Almeera begitu dia berhasil mengatur pernafasannya.

"Dan bagaimana kau akan mengatasinya?" mata Almert kini sepenuhnya terfokus pada wajah Almeera. Entahlah, Almert sendiri tak mengerti mengapa? Tiap kali dia melihat Almeera dirinya seperti tersihir, hanya bisa fokus pada Almeera saja. Matanya. Hidungnya, pipinya yang cubby, dan...bibirnya yang ranum, Almert menelan ludah.

"Aku tidak peduli dengan diriku, aku bisa menghadapi apapun itu, aku hanya mengkhawatirkan bagaimana reaksi Erik jika dia mendengar hal ini?" Almeera yang panik menggigiti bibir bawahnya, dia sedang berpikir Erik akan bagaimana jika dia tahu hal ini. Sakit hati, sudah pasti! Hanya saja jika hal itu bisa di hindari, Almeera bersedia melakukan apa saja demi menghindari hal tersebut.

Almert terus menatap Almeera dan tidak bisa Menahan hasratnya saat melihat ranumnya bibir Almeera yang kini malah di gigit oleh Almeera, spontan, Almert meraih wajah Almeera dan melumat habis bibir gadis itu, melawan, tentu saja, Almeera memukul dan bahkan mencakar bahu Almert tapi hal itu tidak cukup kuat bagi Almert untuk membuatnya melepaskan ciumannya dari Almeera. Yang Almert tahu, dia hanya ingin terus mencecapi bibir itu, bibir yang sudah bertahun-tahun dia dambakan untuk bisa dia miliki.

Plak! Sebuah tamparan keras menyadarkan Almert begitu dia melepas ciumannya pada Almeera dan memandang gadis itu, yang kini wajahnya sudah memerah, entah karena ciuman dengan Almert atau karena menahan amarah.

"Aku akan menganggap hal ini tak pernah terjadi di antara kita" dan dengan pandangan nanar, Almeera berjalan meninggalkan Almert.

Fade