Chereads / Fade to love you / Chapter 11 - FTLY 11

Chapter 11 - FTLY 11

Almeera berlari di sepanjang koridor, berusaha untuk segera mencapai ruangan yang di tujunya. Dia menghabiskan malam bersama Erik, dan akhirnya terlambat bangun, hasilnya, dia terlambat datang ke kantor. Yang membuatnya merasa aneh adalah, Presdir Almert menegurnya. Tidak biasanya Almert menegurnya, biasanya, Almert membiarkan saja apa yang ingin dilakukan oleh Almeera. Buktinya, dia mengirim surat peringatan keras untuknya, dan menyuruhnya untuk segera menghadap ke ruangannya.

"Anda sudah ditunggu, silahkan masuk" ucap sekretaris Almert tersenyum ramah. Satu lagi keanehan disini, biasanya, saat Almeera berkunjung ke ruangannya, siapapun, tidak di izinkan berada di lantai yang sama dengan mereka, Almert dan Almeera, termasuk sekretarisnya, lalu? Apa-apaan ini. Almeera merasa ganjil dengan semua ini, tapi dia tetap memberanikan diri memasuki ruangan presdir kim.

"Apa anda memanggil saya?" Tanya Almeera tertunduk. Mengingat semua keanehan yang ada, Almeera memutuskan untuk tidak langsung duduk seperti yang baisa dia lakukan. Akan terlalu aneh dan memalukan jika tiba-tiba Presdir menyuruhnya untuk kembali berdiri.

"Yah, aku ingin kau tahu, bahwa dengan atau tanpa persetujuanmu, aku akan menikah denganmu" titah Almert. Almeera terdiam. Tanpa ekspresi. Hal itu justru membuat Almert merasa aneh.

"Apa kau mendengar apa yang baru saja aku katakana Nona Almeera?" Tanya Almert mendekat kepada Almeera. Almeera masih tak bergeming, semakin Almert mendekat ke arah gadis itu, semakin dia menatapnya dengan tajam, semakin berani, dan semakin liar, bahkan, tatapannya seolah menyiratkan kebencian yang mendalam pada Almert.

"Kau ingin menikahiku, setelah apa yang kau lakukan padaku? Berani sekali kau!" ucap Almeera dengan nada tinggi dan suara parau, mungkin menahan amarah. Almert berhenti tepat di hadapan Almeera. Keningnya berkerut, memikirkan apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh Almeera.

"Kau ingin menikahiku setelah semua penghinaan yang telah kau berikan padaku selama ini? Aku bahkan tak bisa tidur dengan nyenyak selama ini karena memikirkan bagaimana kau menginjak-injak harga diriku, di depan teman-temanmu, dan sekarang kau ingin menikahiku?! Aku benci padamu!" plak!

Almert tersentak kaget, "Mimpi…" lirihnya. Kemudian melirik jam tangan yang dia pakai. Jam 10 pagi. Ini pertama kalinya dia ketiduran dikantor, di jam sepagi ini pula, tapi Almert bersyukur dia ketiduran dan bermimpi, dia jadi mengingat sesuatu, sesuatu yang membuatnya tahu, mengapa sampai saat ini Almeera sangat membencinya.

"Presdir anda baik-baik saja?" Tanya Almeera, wajahnya tampak cemas, dan dia berjalan menuju Almert.

"Almeera? Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Almert bingung, ini bukan mimpi lagi, kan?

"Eh? Apa maksud anda? Sekretaris anda menelponku dan mengatakan anda ingin bertemu denganku, makanya aku kesini dan..." Almeera menatap Almert sedikit saja, dengan sebal. "Kalau anda tidak punya keperluan apapun, saya akan kembali ke kantor saya" dan Almeera membalik tubuhnya berjalan keluar dari ruangan Almert.

"Ayo menikah!" ucap Almert spontan. Almeera terdiam di tempatnya sesaat.

"Ayo menikah Almeera" ulang Almert, tapi Almeera masih terdiam, kemudian dia membalik tubuhnya.

"Aku mencintai orang lain, anda tahu itu, kan?" Tanya Almeera balik. Almert menghembuskan nafas dengan berat.

"Aku tidak akan memaksamu, aku hanya akan menunggu sampai kau ingin menikah denganku" Almert lagi. Dia yakin keputusannya benar mengenai hal ini. Dia mencintai Almeera, dan tidak ada yang salah dengan menunggu seseorang yang di cintai untuk menikah dengannya.

"Itu terserah pada anda" Almeera terdengar sarkastis, "dan ngomong-ngomong aku tidak akan mengatakan maaf atas apa yang aku lakukan kemarin", kemudian Almeera kembali melanjutkan berjalannya meninggalkan ruangan Almert.

"Ya mah?" Almert menjawab panggilan yang masuk bersamaan dengan keluarnya Almeera dari ruangannya.

"Apa?" dan Almert tidak butuh waktu lama untuk berlari keluar menyusul Almeera, menarik tangannya, dan membuatnya berlari dengan tertatih.

"Zafreno memburuk, kita harus segera ke rumah sakit" lirihnya di tengah-tengah. Almert bisa merasakan, tubuh Almeera berubah menjadi gemetaran, tapi Almert justru mempererat pegangan tangannya.

"Almert ada apa?" Tanya Erik bingung, tapi dia justru terabaikan. Almert dan Almeera terus berlari, menuju lift, kemudian tempat parkir dan masuk kedalam mobil Almert, yang kini di kendarai dengan kecepatan maksimal.

Almeera tidak tahu harus bagaimana lagi atau harus berbuat apa. Saat ini dia hanya ingin segera berada di rumah sakit, adiknya sedang sekarat, dan memikirkan hal itu, membuat air mata Almeera menetes, kini, bukan hanya menetes, dia sudah menangis menjadi-jadi. Rasa takut memenuhi dirinya. Dia takut sesuatu terjadi pada Zafreno. Dia takut tidak bisa berada di sisi Zafreno, dia takut kehilangan Zafreno, dia takut tidak bisa melihat Zafreno lagi. Adiknya, adik satu-satunya yang baru berusia 7 tahun, ya Tuhan, kenapa harus adiknya yang sekecil itu yang menderita dan merasakan rasa sakit itu? Kenapa bukan dia saja?

"Almeera, kau baik-baik saja?" Tanya Almert, perhatiannya kini teralihkan, yang tadinya memandang jalan dan kendaraan lain didepan mereka, kini teralihkan oleh suara tangisan Almeera.

"Ini tidak seperti terjadi sesuatu pada Zafreno atau apa, dia akan baik-baik saja. Dokter-dokter terbaik di Seoul akan menanganinya, percayalah padauk." entah rasa percaya diri dari mana, tapi Almert spontan menyentuh tangan Almeera, dan berusaha menenangkannya. Almeera tersenyum. Dia bersyukur ada seseorang yang tepat di sisinya saat ini.

"Apa kau tidak berniat menjawab panggilan Erik? Kupikir dia terus menghubungimu" Almert mengarahkan pandangannya ke arah ponsel yang sedari tadi memang di genggam erat oleh Almeera, dia melepaskan genggaman Almert dan menjawab panggilan Erik.

"Zafreno sedang sekarat, menyusullah ke rumah sakit" jelas Almeera masih dengan tersedu, kemudian menutup sambungannya, begitu Almert selesai memarkirkan mobilnya. Almeera berlari secepat dia bisa, untuk masuk ke dalam rumah sakit, ketika mendadak Almert meraih tangannya dan menariknya untuk kembali ke salah satu sisi mobil.

"Kita harus cepat…"

"Kau tidak bisa masuk ke dalam dengan keadaan seperti ini" ucap Almert lembut dan masih menenangkan. Pria itu mengusap sisa air mata di pipi Almeera dengan begitu lembut, seolah sedikit sentuhannya yang kasar akan membuat wajah Almeera menjadi lecet. Almeera tidak bisa menahan hasratnya untuk tidak menikmati sentuhan Almert padanya, jika ini yang di sebut dengan hasrat, tapi Almeera bisa apa? Semua wanita akan merasakan hal yang sama jika di perlakukan seperti ini.

"Nah, sekarang akan baik-baik saja" ucap Almert menarik jemarinya dari wajah Almeera, Almeera tersenyum. Mengangguk dan kembali berlari memasuki rumah sakit.

"Ma, pa" teriak Almeera menghampiri ayah dan ibunya yang duduk berdampingan dan saling diam tanpa kata di ruang tunggu.

"Bagaimana dengan Zafreno?" Tanya Almeera menatap bergantian kedua orang tuanya. Ayahnya hanya menggelengkan kepalanya, dan nyonya Park mulai menangis.

"Zafreno kritis, kita tidak punya harapan" ayah Almeera sarkastis, membuat tangisan dari ibu Almeera makin menjadi-jadi. Jelas saja, ibu mana yang tidak bersedih hati melihat anaknya dalam keadaan sekarat dan dia sendiri tidak bisa melakukan apa-apa?

"Almeera, ayah mohon menikahlah dengan tuan muda" ucap ayahnya. Almeera tertegun. Bersamaan dengan hal itu, Almert masuk, tapi dia hanya bisa berdiri terpaku dengan jarak satu meter dari keluarga itu, mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh ayah Almeera.

"Kita tidak bisa hanya berharap tuan besar akan rela terus menerus meminjamkan kita uang, jika keadaannya seperti ini, seumur hidup ayah, ibu, kau, dan Zafreno sekalipun tidak akan bisa melunasi utang kita kepada mereka, jadi ayah mohon Almeera, demi ibumu, demi Zafreno, demi keluarga kita, menikahlah dengan tuan muda Almert" ucap ayahnya. Air mata Almeera menetes begitu saja. Alasan ayahnya logis, hanya saja, Almeera merasa waktunya tidak tepat.

"Apa ayah perlu bersujud dan memohon padamu?" ayah Almeera dalam keadaan akan bersujud kepada putrinya sendiri saat Almert menahannya agar tidak melakuka hal itu.

"Pa, jangan melakukan hal itu" isak Almeera, kemudian dia menatap Almert sesaat, kening pria itu tampak berkerut.

"Baiklah, aku akan menikah dengan Almert, demi kalian" ucap Almeera. Sekali lagi dia menatap Almert tapi pria itu masih tanpa ekspresi.

"APA?" Almeera membatu. Suara yang tiba-tiba itu membuatnya lebih baik ditelan bumi saat itu juga. Dengan kikuk, dia dan Almert membalik tubuhnya, dan menemukan Erik disana.

"Erik…." batah Almeera, tapi Erik sudah tak terbaca, pria itu segera berlari meninggalkan mereka semua.

"Biar kukejar" ucap Almert dan berlari mengejar Erik secepat dia bisa.

Fade