Chereads / Fade to love you / Chapter 13 - FTLY 13

Chapter 13 - FTLY 13

Aku sampai kapanpun tidak akan bisa hidup tanpamu, Erik…

Kata-kata itu terngiang di telinga Erik. Dia tidak ingin mengumpat. Tidak ingin menyumpahi. Dia hanya ingin di sadarkan oleh seseorang bahwa ini hanyalah mimpi.

"Arrghhh…." Teriak Erik, amarah yang sudah tak dapat di tahannya. Dia sama sekali tidak percaya kalau selama ini dia bertahan hanya dengan mempercayai kata-kata seorang Almeera. Erik sudah menyerahkan segalanya, semua yang dia miliki, hanya untuk Almeera, bahkan selama ini dia berjuang untuk menjadi sukses dan kaya adalah agar kelak Almeera tidak perlu lagi hidup menderita karena sesuatu yang disebut uang seperti yang mereka alami dulu sewaktu masih di SMA. Tapi apa? Semuanya menjadi tidak berarti sekarang. Semuanya hancur. Erik sudah hancur.

"Kak Erik apa kau baik-baik saja?" teriak Hoya terdengar panik dari balik pintu tapi Erik tidak menghiraukannya, Erik menghancurkan seisi kamarnya sendiri, merobek bantal, mengoyak isi lemari bahkan menginjak-injak semua obat yang harus di konsumsinya. Untuk apa dia bertahan jika tak ada seorang pun lagi yang menginginkannya, dulu orang tuanya, sekarang Almeera? Dia dulu nyaris kehilangan harapan hidup dan mengira hidup tak ada artinya, tapi Almeera memberinya sayap dan membuatnya terbang. Dia jadi memiliki seberkas harapan dan sinar untuk bisa hidup bahagia seperti orang lain di dunia ini, sekarang jika Almeera memaksa menanggalkan sayap itu dari Erik, bagaimana Erik bisa tetap berada di angkasa?

Almeera. Nama itu sekali lagi menyentakkan Erik. Terbayang senyuman gadis itu, tawa dan candanya. Rasanya sangat sakit. Sakit sekali. Bahkan lebih sakit daripada saat Erik harus melakukan kemoterapi. Kemoterapi? Benar. Tidak ada gunanya dia bersedih sekarang, mati pun, semuanya mungkin sudah di takdirkan seperti ini. Erik berjalan menuju nakas di samping tempat tidurnya, meraih sebuah kamera, dan sebuah USB. Jika memang semuanya harus berakhir, maka setidaknya, ini harus menjadi akhir yang indah untuk semua orang.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Hoya lagi, tapi masih tak ada balasan dari Erik. Kamarnya sekarang sudah seperti ruangan bekas perang. Seperti perang dunia ke tiga baru saja berlangsung di tempat ini beberapa menit yang lalu. Erik menyender di dinding, membentur-benturkan kepalanya disana, awalnya, pelan menjadi semakin keras dan keras, membuat kepalanya mengeluarkan darah dan dia tak sadarkan diri.

Fade

Aku selalu berharap penderitaan dan kesendirian yang kualami selama ini, pada akhirnya akan berujung pada kebahagiaan abadi yang tiada tara, tapi jika akhirnya hanyalah rasa sakit ini, apa aku tetap harus bersyukur telah di lahirkan ke dunia ini?

"Kita benar-benar tidak punya waktu lagi Erik, anda harus segera menemukan keluarga anda. Saya tidak yakin jika obat-obatan bisa membantu anda bertahan lebih lama" ucap Dokter Budi kepada Erik. Sementara Erik hanya terdiam, menatap langit-langit kamar, atau mungkin dia sudah tidak berada di ruang perawatannya itu lagi, mungkin jiwanya sudah terbang, berkelana, entah mencari apa.

"Tapi, dia tidak punya seorang keluarga pun yang tersisa dokter" ucap Hoya, mengambil alih pembicaraan dengan Dokter Budi karena Erik tak kunjung memberi respon dari pernyataan yang di ucapakan oleh dokternya itu. Entah karena terlalu menyakitkan untuk di jawab, atau karena Erik belum bisa mencerna apapun didalam pikirannya saat ini.

"Bagaimana pun, saya akan mencari solusi lain, jika saya sudah menemukannya, saya akan memberitahu anda" ucap Dokter Budi, kemudian membungkuk sedikit dan pergi meninggalkan Hoya dan Erik yang masih seperti patung.

"Berhentilah seperti ini kau membuatku khawatir" Hoya mendekat kearah Erik, memperbaiki selimutnya, dan menatap pria di depannya itu. Hoya begitu dalam menatap kepada Erik, hingga terbayang apa yang selama ini sudah dilalui oleh pria itu untuk sampai di tempatnya sekarang berada. Hoya tahu betul, Erik harus tertatih, terseok-seok bahkan terkadang harus merangkak, untuk bisa sampai di kehidupan yang layak seperti ini. Hoya tahu betul, karena dia, seperti Erik, tumbuh besar di panti asuhan yang sama, selama ini Erik sudah dianggapnya kakak sediri, mengingat mereka hanya punya satu sama lain, dan hanya bisa menjaga satu sama lain. Sebelumnya, hidup Erik hanya sedatar itu, hanya berisi berjuang dan berjuang untuk hidup yang lebih baik. Hanya ada dunia hitam dan putih. Dimana sisi putih saat Erik berusaha bangkit dari kegagalan, dan sisi hitam saat lagi-lagi Erik gagal dan harus memulai dari awal, sampai akhirnya Almeera hadir dalam hidup Erik, dunia Erik yang hitam putih menjadi berwarna-warni berkat Almeera, warna hitam putih itu tergantikan dengan berbagai macam warna yang lebih ceria, dan meskipun sebelumnya Erik sudah punya tujuan hidup yang jelas, semuanya menjadi mungkin berkat kehadiran Almeera. Jadi, Hoya merasa wajar saja jika Erik sekarang ini merasa sangat terpukul, mungkin rasanya seperti lebih baik mati, dan Hoya mengerti itu semua.

Cukup lama Hoya harus bertahan duduk di sisi tempat tidur Erik sampai akhirnya pria itu terbangun.

"Apa kau merasa baikan?" Tanya Hoya, Erik mengangguk, meski matanya sayu dan nafasnya putus-putus, Erik selalu tidak ingin siapapun merasa cemas akan dirinya. Kemudian Erik menarik sesuatu dari dalam laci di samping tempat tidurnya dan memberikannya pada Hoya. Sebuah kotak berwarna merah muda yang wangi, dan bertuliskan 'untuk Almeera' seketika jantung Hoya berdegup kencang, apa Erik merasa hidupnya tak akan lama lagi jadi dia meninggalkan hadiah perpisahan untuk Almeera? Diam sesaat diantara mereka.

"Apa kau ingin aku memberikan ini pada Almeera?" Tanya Hoya memberanikan diri, lama, yang terdengar hanya tetesan-tetesan cairan dari selang infus yang di pasang di tangan Erik, dan akhirnya pria itu mengangguk. Hoya terduduk lemas, berharap semoga ini bukan menjadi pesan perpisahan Erik kepada Almeera.

Fade