Erik terdiam di dalam lift apartemennya sendiri, saat pintu lift itu terbuka, dia tertatih berjalan keluar dari lift dan sesekali menyender di dinding hanya untuk menarik nafas panjang, dan mengumpulkan segenap tenaga. Rasanya sakit, sakit sekali.
Almeera, ayah mohon menikahlah dengan Tuan Almert
Baiklah, aku akan menikah dengan Almert, demi kalian
Sekilas, bayangan-bayangan percakapan antara Almeera dan ibunya kembali terlintas di pikiran Erik. Hatinya sakit sekali hingga dia sendiri tak merasakan bahwa tubuhnya sudah merosot jatuh terduduk ke lantai. Erik menangis. Menangis sejadi-jadinya, sesekali ia akan memukul-mukul dada bagian kirinya. Nyeri di sebelah sana. Tapi, Erik tak menghiraukan rasa nyeri pada tubuhnya. Hatinya terluka. Perasaannya teriris. Bagaimana bisa seseorang yang begitu dia percaya, bisa merebut orang paling berharga dalam hidupnya? Memikirkan bagaimana dia dan Almert selama ini, dan bagaimana hubungannya berjalan sangat baik dengan Almeera. Seharusnya Erik tahu, tak hanya ada musim semi dalam setahun, musim gugur selalu menanti setelahnya. Atau apa mereka memang sudah merencanakan untuk melakukan ini? Apa mereka sudah merencanakan akan menusuk Erik dari belakang? Apa salah Erik? Apa Erik pernah melakukan kesalahan tak termaafkan pada mereka sehingga mereka harus melakukan hal semenyakitkan ini? Tidak. Bagaimana pun dipikirkannya, Erik merasa dia telah melakukan hal yang terbaik jika itu demi Almeera atau demi Almert. Tapi apa? Di kehidupan sebelumnya, pasti Erik pernah mengkhianati negaranya sendiri atau menjadi teroris atau mungkin melakukan dosa besar sehingga kini ia mendapatkan karmanya. Pasti seperti itu. Jika rasa pembalasannya akan sesakit ini, Erik seharusnya tidak melakukan apapun yang salah baik di kehidupan kini atau kehidupan sebelumnya. Tapi tetap saja, tidak ada gunanya memikirkan hal itu kini, semuanya sudah usai baginya, hancur, berantakan, dan menyakitkan.
"Erik?! Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?" ucap seseorang menghampiri Erik, membantunya berdiri dan memapahnya masuk ke dalam apartemen. Tapi, Erik sudah seperti mayat hidup. Dia seperti zombie. Tak ada jiwa dalam dirinya. Kurang dari 30 menit, semua semangat hidup yang dimilikinya seperti menghilang, lenyap entah kemana.
"Kau baik-baik saja?" Tanya orang itu lagi tampak khawatir. Erik, sejak ia mengenalnya adalah seseorang yang ceria dan bersemangat, tak pernah seputus asa ini, orang itu bisa melihat, bekas air mata di pipi Erik, dia tidak tahu kenapa Erik bisa seperti ini tapi dia yakin ini ada hubungannya dengan Almeera.
Setelah membantu Erik untuk berbaring di tempat tidurnya, orang itu segera kembali menuju ruang depan apartemen, karena bel baru saja berbunyi.
"Hoya?" Tanya Almert begitu melihat siapa yang membukakan pintu apartemen untuknya.
"Iya Kak" ucap Hoya antusias, membuka lebih lebar pintu agar Almert bisa masuk ke dalam.
"Dimana Erik? Aku harus bicara dengannya" Tanya Almert terburu-buru melepas sepatu dan berjalan menuju kamar Erik.
"Kurasa jangan dulu kak" Hoya menghentikan Almert yang nyaris membuka pintu kamar Erik. Almert menatapnya dengan tidak sabar.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kupikir kak Erik hanya ke kantor untuk memberi tahumu bahwa aku sudah tiba di Seoul?" kening Hoya berkerut, dia benar-benar tidak mengerti situasinya sekarang. Almert menghembuskan nafas berat, dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan.
"Aku mendapatkannya sedang terduduk di dinding dan menangis sambil memegangi dadanya, tapi dia tidak mengatakan apapun, apa semuanya baik-baik saja?" Hoya ikut duduk di sofa lain, dan menatap Almert serius.
"Aku dan Almeera harus menikah" ucap Almert menatap Hoya. Tak ada makna apapun yang tersirat dari pandangan Almert, hanya saja, Hoya bisa merasakan kalau Almert merasa bersalah.
"Almeera? Maksudmu Almeera pacar kak Erik?" Hoya mendekap mulutnya sendiri, terkejut atau salah bicara, tapi Almert mengangguk pelan, dan Almert mulai menceritakan segala sesuatunya pada Hoya.
Fade
Kapan waktu itu akan terulang kembali? Aku selalu menantikan saat-saat bersamamu. Saat ketika hanya ada kita berdua di dunia ini tanpa seorang pun yang akan mengusik kebahagiaan kita? Kapan kita akan saling mencintai lagi? Merasa semuanya sudah cukup bagi kita dan tersenyum bahagia kepada siapa saja yang lewat di hadapan kita, meski di mata orang lain kita sedang tertatih menghadapi kerasnya badai kehidupan yang sedang menghantam kita. Aku teringat masa-masa itu, masa dimana aku adalah segalanya bagimu. Masa dimana aku adalah penopang bagi kehidupanmu, masa dimana aku merasa berarti hidup didunia ini, membuatku bersemangat melakukan apapun dan melakukan semuanya dengan sangat baik, semua itu berkat dirimu. Aku tak pernah menyangka akan ada saat dalam kehidupan kita dimana kita dihadapkan pada pilihan harus membahagiakan diri sendiri atau membahagiakan orang lain?
Aku tak pernah menyangka akan ada saatnya kau akan meninggalkanku dan lebih memilih orang lain daripada aku. Aku terlalu terlena dengan kehidupanku hingga aku menyangka tidak apa-apa jika waktuku di dunia ini hanya sedikit asalkan aku bisa melaluinya bersamamu. Bahkan hingga aku berada di ambang rasa sakit hingga kini pun, aku masih begitu naïf, dan tidak menyadari bahwa kau, perlahan mulai berjalan meninggalkanku. Almeera...Aku mencintaimu. Aku merindukanmu.
Maret 2009, sehari sebelum kelulusan
Almeera berjalan di sekitaran kompleks rumahnya dengan cepat. Dia merasa, daritadi ada orang yang mengikutinya dari belakang. Dia tidak punya apapun untuk di berikan kepada orang lain jika dia sampai di culik, dia juga tidak begitu ahli bela diri, hanya beberapa gerakan kaku yang sempat di ajarkan oleh Erik padanya. Almeera makin mempercepat langkahnya ketika dia merasa bahkan mendengarkan suara langkah orang di belakangnya semakin cepat.
"Hah!" hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulutnya ketika akhirnya orang asing itu menyusulnya, mendekap mulut Almeera dengan cepat, dan memboyongnya ke lorong kecil. Almeera hanya bisa menangis. Untuk sesaat Almeera bisa merasakan orang itu menatapnya.
"Kenapa kau menangis?" suara itu menyadarkan Almeera, membuatnya spontan saja membuka mata. Itu Erik.
"Dasar brengsek!" spontan saja, Almeera langsung memukulnya, menghajarnya semampu Almeera tentu saja, karena seberapa marahnya pun Almeera, dia akan lebih marah lagi kepada dirinya sendiri jika dia sampai benar-benar melukai Erik.
"Kau terkejut? Maaf" ucap Erik ringan setelah Almeera selesai melepaskan kekesalannya. "Aku hanya ingin mengerjaimu, tapi aku tidak menyangka kau akan seserius ini menanggapinya, sudah membuatmu menangis, maafkan aku, Almeera" lanjut Erik mengusap sisa air mata yang ada di pipi Almeera.
"Yang ada di pikiranku hanyalah, dirimu. Aku ingin kau ada tadi, tapi kau justru yang melakukan hal bodoh itu! Apa kau tahu betapa takutnya aku tadi? Apa kau tahu? Dasar bodoh!" Almeera terduduk, dan kembali menangis.
"Maafkan aku" lirih Erik benar-benar menyesal, dia hanya ingin mengerjai Almeera tadi, sungguh, tapi dia tidak menyangka kalau reaksi Almeera akan berlebihan seperti ini, jadi dia hanya bisa memeluk Almeera menenangkan kekasihnya itu, dan menunggu sampai tangis itu reda.
"Lalu apa yang kau lakukan disini?" Tanya Almeera. Tangisnya sudah reda, dan sekarang mereka sedang berjalan-jalan di sekitar kompleks Almeera. Erik hanya tersenyum, kemudian menggenggam tangan Almeera erat lalu berlari. Hingga mereka tiba di tepian sebuah sungai kecil, Erik mengajak Almeera untuk berbaring di sisinya, suasananya tenang dan udaranya sejuk, untung saja Almeera tinggal di pinggiran kota yang nyaman seperti ini.
"Langit hari ini cerah" ucap Erik pelan, lebih kepada diri sendiri tapi Almeera tahu dia ingin Almeera mendengarnya.
"Iya" Almeera tersenyum, ikut memandang langit. Dunia begitu indah, dan hidup begitu membahagiakan, Almeera dan Erik hanya berharap, saat-saat seperti ini akan berlangsung untuk selamanya.
"Almeera, aku mencintaimu." ucap Erik begitu saja. Almeera menyentil bahunya, dan ikut terkikih.
"Erik…mereka bahagia sekali" Almeera bangkit, dan duduk, memandang lurus ke daerah yang lebih dekat dengan sungai. Disana, ada sepasang kakek dan nenek yang sedang bersenda gurau sambil memancing. Mereka tertawa dan terlihat tidak peduli dengan sekitar, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Mereka bahagia.
"Apa kita akan seperti itu nantinya?" lirih Almeera, Erik ikut memandangnya. Suasananya sangat romantis dan membuat Erik geli, biasanya, Erik tidak akan suka dengan suasana yang terlalu melankolis seperti ini, dia lebih suka suasana yang penuh dengan keceriaan. Tapi, kali ini dia akan membiarkannya, dia akan membiarkan Almeera menikmati saat melankolis yang di sukainya.
"Yah, jika kau tidak tertarik dengan pria lain selain aku nantinya" canda Erik. Almeera terkikih, menatap Erik dengan sebal, dan memukul bahu pria itu.
"Dasar bodoh, apa aku seperti akan meninggalkanmu? Aku sampai kapanpun tidak akan bisa hidup tanpamu, Erik…"
Fade