Chereads / Fade to love you / Chapter 7 - FTLY 7

Chapter 7 - FTLY 7

Almeera berjalan dengan lemas. Setelah puas menangis di tangga darurat, Almeera tidak berniat lagi ke ruang HRD untuk melanjutkan bekerjanya. Moodnya sepenuhnya hilang hari ini. Untung saja saat dia menuju ruangan Presdir tadi, dia masih membawa serta tasnya bersamanya, jadi, dia tidak perlu berhadapan dengan ribuan pertanyaan teman-temannya di HRD mengenai matanya yang sembab seperti habis menangis, Almeera benar-benar tak berniat membagi cerita mengerikan ini pada siapapun.

Almeera tersenyum sinis, lebih kepada dirinya sendiri sebenarnya. Bagaimana mungkin dia mengatakan membenci Presdir tapi di saat seperti ini secara tidak langsung dia sedang memanfaatkan koneksi terbaiknya itu. Bagaimana tidak? karyawan biasa lain, seharusnya sekarang berada di ruangannya masing-masing dan menyelesaikan pekerjaannya dengan tenang, dan baru meninggalkan mejanya ketika jam istirahat atau jam pulang telah tiba, tapi Almeera? Dengan seenaknya dia pulang dan pergi dari kantor itu. Almeera tidak merasa takut sama sekali. Kenapa? Karena dia tahu, Presdir tidak akan mengeluarkannya dari tempat itu. Cih, mengingat hal itu Almeera tersenyum sinis, kali ini ia bahkan mengandalkan koneksi yag tidak diinginkannya itu.

Almeera menghentikan langkahnya ketika hendak memasuki lobi rumah sakit. Dia membelok ke koridor rumah sakit yang agak sepi, menengok ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada seorang pun yang melihatnya, kemudian setelah merasa semuanya aman dan terkendali, Almeera duduk di salah satu bangku taman, yang sebenarnya terasa aneh, bukannya di letakkan di taman rumah sakit, malah di taruh di spot yang tidak terlalu ramai ini, tapi ini bukan saatnya Almeera memikirkan soal itu, dia harus bergegas!

Segera saja, Almeera mengeluarkan tas make up mini yang selalu dia bawa dalam tasnya. Mengeluarkan bedak, eye shadow, eyeliner, mascara, lipstik, dan peralatan make up lainnya yang dia butuhkan. Almeera nyaris saja berteriak kencang seandainya saja dia tidak sadar bahwa dia kini ada di rumah sakit. Matanya terlihat sangat bengkak, dan merah, plus masih ada sisa-sisa mascara dan eyeliner yang membekas di wajahnya. Dia semirip hantu wanita yang berani berkeliaran di siang hari. Pantas saja supir taksi yang dia tumpangi tadi enggan menatapnya, ini penyebabnya? Dia sempurna seperti cosplay hantu wanita yang banyak tayang di saluran TV yang tidak jelas.

Almeera tertawa kecil. Jika Erik melihatnya seperti ini, maka, Erik tidak akan berhenti mengejeknya selama seminggu, tapi akankah antara dia dan Erik masih akan ada canda tawa seperti itu lagi? Masih adakah sedikit harapan bagi hubungan mereka? Ini seperti mimpi buruk bagi Almeera.

Almeera membuang pikiran bodohnya mengenai Erik atau apapun itu, ia bergegas menyelesaikan memperbaiki make up-nya jika ingin cepat-cepat mengetahui perkembangan Zafreno, karena Almeera tidak akan membiarkan kedua orang tuanya dan Zafreno melihatnya dalam keadaan berantakan dan lemah seperti ini! Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi seseorang yang kuat jika itu demi keluarganya sendiri.

Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit bagi Almeera untuk menyelesaikan riasan wajahnya, dengan cepat, dia menyimpan kembali semua alat make up nya, dan setengah berlari menuju ruang IGD. Tempat terakhir kali ia tahu dimana Zafreno berada.

Fade

Banyak darah, orang-orang yang panik, suster dan dokter yang sibuk berlarian hilir mudik. Hal itulah yang pertama kali nampak di mata Almeera ketika dia dengan senyum termanis yang bisa ia ciptakan melangkah masuk ke ruang IGD, dan yang lebih mengejutkan adalah bahwa disana tidak ada Zafreno! Almeera yang tadinya berusaha untuk tenang seketika menjadi panik ketika perawat di bagian informasi mengatakan dia tidak tahu dimana keberadaan Zafreno. Yang benar saja! Rumah sakit macam apa yang tidak tahu dimana keberadaan pasiennya?! Apalagi pasien gawat darurat seperti Zafreno.

Almeera berlari keluar dari IGD secepat dia bisa, sambil berusaha mencari ponselnya yang sepertinya jatuh di bagian terdalam tasnya saat dia melihat sosok yang tidak asing di matanya. Almeera terpaku. Nyonya besar yang sedang mendorong Tuan besar diatas kursi rodanya baru saja keluar dari ruang perawatan VIP, tadinya Almeera berniat menyapa majikan ayahnya itu, tapi entah mengapa tubuhnya seolah membeku dan lidahnya seolah keluh seketika melihat mereka berdua, dan pada akhirnya, Almeera hanya bisa menatap kepergian dua orang yang lumayan di hormatinya itu dari jauh hingga keduanya menghilang di balik pintu keluar rumah sakit.

Almeera tahu, rumah sakit ini adalah tempat umum, dimana banyak orang yang datang dan pergi setiap harinya. Apalagi jika mengingat bahwa rumah sakit ini adalah salah satu aset milik keluarga Almert, tidak heran bukan jika tuan besar dan nyonya besar datang kesini? Mungkin mereka ingin mengecek keadaan rumah sakit? Tapi entahlah, bahkan pemikiran-pemikiran seperti itu pun tak bisa menahan langkah kaki Almeera untuk tidak menapakkan kakinya di koridor perawatan VIP tempat tuan dan nyonya tadi berada. Almeera berjalan terus, mengitari deretan pintu-pintu besar yang dipelitur dengan cat terbaik dan ukiran-ukiran yang tidak kalah baiknya seperti pintu-pintu dikamar hotel bintang lima. Almeera terus melangkah hingga dia tiba di ujung koridor dan menemukan sebuah pintu, yang lebih besar dari pintu lainnya di koridor itu, Almeera hendak berbalik dan berniat melanjutkan pencarian Zafreno ke tempat lain saat tiba-tiba pintu itu terbuka dan ibunya muncul dari balik pintu itu.

"Ma?" Tanya Almeera tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

"Almeera, mama baru saja akan menelponmu" ibunya menyodorkan ponsel pada Almeera, menunjukkan niatnya hendak menghubungi Almeera.

"Ma, kau tidak salah kamar, kan?" Almeera, sekali lagi mengamati pintu di depannya. Setiap senti, setiap jengkal, membuat Almeera tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ma, apa yang kau lakukan disini? Dimana Zafreno?" ada kerutan yang jelas terlihat di kening Almeera, dia sungguh tak mengerti.

"Masuklah dulu, mama dan papa, ingin bicara denganmu" kini ibu Almeera malah mendorong pintu di belakangnya agar terbuka lebih lebar lagi sehingga memungkinkan Almeera untuk bisa masuk ke dalam. Almeera ragu, dia melirik sekilas ke balik pintu, dan kembali menatap ibunya yang tersenyum dan mengangguk, meski ragu, Almeera melangkah memasuki kamar mewah yang tidak pantas di sebut sebagai ruang rawat inap pasien itu, lebih pantas di sebut kamar pribadi seorang putra mahkota, dan menemukan ayahnya tengah duduk diatas salah satu sofa di tengah ruangan, tengah termenung sambil memandang ke arah Zafreno yang terlihat damai dalam tidurnya.

"Papa…" panggil Almeera pelan. Melangkah masuk ke dalam kamar, diikuti ibunya dari belakang.

"Almeera, kau datang?" Almeera merasa aneh, tidak biasanya si ayah menatapnya dengan pandangan seperti itu. Tatapan mata yang sendu. Seperti menyimpan sejuta beban yang enggan untuk dibagi seperti biasanya, dan Almeera benci hal itu. Mereka satu keluarga, seharusnya mereka membagi apapun yang mereka miliki. Rasa bahagia, kesedihan, penderitaan, masalah, hal-hal yang membanggakan hingga hal-hal yang memalukan seperti itulah seharusnya, tapi apalah hendak dikata? Itu hanyalah teori di dalam kepala Almeera saja. Toh, selama ini yang terjadi dalam keluarga mereka adalah kepura-puraan. Berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Berpura-pura tersenyum dan mengucapkan selamat pagi saat fajar menyingsing padahal malam sebelumnya Zafreno nyaris kehilangan nyawanya, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya cukup tabungan untuk membawa Zafreno ke rumah sakit. Hal itu sering kali terjadi, dan Almeera tidak ingin hal seperti itu terulang, meski pada kenyataannya, justru hal itulah yang terus menerus berulang dalam hidupya.

"Apa ayah baik-baik saja? Apa ayah lelah?" Almeera duduk di sisi ayahnya. Menggenggam tangan pria separuh baya itu, yang Almeera tahu, lebih dari setengah hidupnya dia persembahkan demi kebahagiaannya. Kebahagiaan Almeera. Kebahagiaan Zafreno dan ibu mereka. Pak Sutomo menggeleng dan tersenyum simpul ke arah Almeera. Meski si ayah mencoba mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja atau akan baik-baik saja. Tapi Almeera tahu pasti ada yang salah disini.

"Bagaimana hubunganmu dengan Erik?" degh! Pertanyaan itu membuat Almeera terdiam kaku. Apa make up nya rusak? Apa aktingnya gagal? Apa di jidatnya tertulis kalau semuanya sedang tidak baik-baik saja antara dirinya dan Erik? Atau apa ayahnya bisa membaca pikiran? Mungkin saja begitu! Karena kadang-kadang Almeera merasa bisa membaca pikiran orang-orang disekitarnya, mungkin itu karena keturunan dari ayahnya? Oke siip, itu gak mungkin!

"Aku? Aku dan Erik..." Almeera memberanikan diri menatap mata ayahnya. Menelan ludah dengan sangat pelan agar tak ketahuan oleh ayah dan ibunya kalau dia sedang sangat gugup.

Setelah cukup lama menatap bergantian kepada ayah dan ibunya, Almeera mulai menarik garis senyum di bibirnya, dan berakting seceria mungkin.

"Tentu saja! Semuanya baik-baik saja antara aku dan Erik" jawab Almeera seceria yang dia bisa. Anehnya, ibu dan ayahnya saling bertukar pandangan sekarang, pandangan aneh, yang Almeera tidak tahu mengapa.

"Ada apa sebenarnya? Tidak biasanya kalian menanyakan antara aku dan Erik lagipula kami baik-baik saja!" Almeera mulai tidak sabar, tapi rasanya salah jika dia mengatakan sekarang dirinya dan Erik baik-baik saja saat sebenarnya sedang tidak baik, Almeera menggigit bibir bawahnya, bagaimanapun apa yang sudah terucap tidak mungkin dia tarik kembali.

"Almeera!" bentak ibunya, Almeera terdiam, merasa bersalah. "Ayahmu hanya bertanya, apa itu salah?" lanjut ibunya. Almeera tak bergeming

"Hentikan Hanie" ayah Almeera menengahi, membuat ibu Almeera menunduk dan terdiam, dia lepas kendali.

"Almeera, kau percaya ayah dan ibu menyayangimu?" Degh! Jantung Almeera berdetak makin kencang. Ia tidak menjawabnya, meskipun dia tahu, orang tua mana di dunia ini yang tidak menyayangi anaknya sendiri?

"Tadi pagi, Zafreno drop, dia butuh melakukan transplantasi segera, untung saja, dokter disini sangat baik, dengan cepat mereka bisa mengkonfimasi keberadaan pendonor yang tepat untuk Zafreno. Dalam sekejap, ayah dan ibu seperti sedang bermimpi, semuanya siap untuk Zafreno, hanya saja…" pak Sutomo menunduk, bahunya kini terguncang, Almeera tahu, ayahnya sedang menangis sekarang. Hanie, ibu Almeera segera duduk di sisi suaminya, berusaha menenangkan, karena dalam keadaan seperti ini bagi siapapun akan berat jika di tanggung sendiri, selalu akan menjadi lebih mudah jika ada seseorang untuk berbagi.

"Hanya saja, tidak punya uang untuk biaya operasi Zafreno seperti sebilah pisau tajam yang merobek mimpi indah ayah dan ibu" lanjut ibu Almeera mengusap bahu suaminya menenangkan, dan memandang Almeera memohon pengertian. Karena Hanie tahu, Almeera tidak akan suka dengan apa yang ayahnya lakukan.

"Sudahlah sayang, Almeera berhak tahu. Dia berhak tahu cerita yang sebenarnya" ucap pak Sutomo, menghapus sisa air mata yang mengalir di pipinya, kemudian menatap istrinya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, lalu menggenggam tangan lembut yang sudah menemaninya sepanjang perjalanan hidupnya, dan kembali menatap Almeera. Almeera mengerutkan keningnya tidak mengerti, kedua orang tuanya seperti sedang bermain dalam sebuah drama, Almeera seperti penonton yang asik menyaksikan meski tidak tahu jalan ceritanya.

"Setelah ayah mendengar kabar dari dokter mengenai keadaan Zafreno yang sebenarnya, yang terpikirkan oleh ayah hanyalah Tuan besar" Ayahnya mulai bercerita, dalam hati, perasaan tidak nyaman mulai merambat masuk ke sanubari Almeera, ia seperti tahu akhir dari cerita yang ayahnya tuturkan ini, dia seperti mengalami de'javu, tidak bahkan lebih detail dari itu, de'javectu, yah, mungkin seperti itu, tapi Almeera takut menebak, ia takut semua pikiran buruk itu benar adanya dan menjadi nyata.

"Tuan besar seperti biasa, dengan sangat dermawan bersedia memberikan bantuan dana pada kita, hanya saja…" kalimat ayah Almeera berhenti disitu, beliau tidak sanggup melanjutkannya, dan hanya menatap Almeera dalam diam, tanpa berniat melanjutkannya.

"Mereka hanya memintamu untuk mempertimbangkannya, sayang, mereka tidak memaksa" ibunya menatap Almeera penuh permohonan, tapi, Almeera masih enggan menebak apa maksud ibunya, dia masih lebih memilih bungkam, dan menunggu kedua orang tuanya menyelesaikan ceritanya.

"Kami tahu sedekat apa hubunganmu dengan Erik, hanya saja, jika ada harapan sedikit saja kau mempertimbangkan hal ini, itu akan sedikit meringankan beban ayah dan ibu" lanjut ibu Almeera lagi.

"Sebenarnya, apa maksud ayah dan ibu? Aku harus mempertimbangkan apa?" Almeera menatap kedua orang tuanya bergantian.

"Mereka memintamu menjadi menantu mereka. Menikahlah dengan Tuan muda Almert" ucap ayahnya.

Seperti ada sambaran kilat yang di sertai Guntur kemudian hujan lebat yang bersamaan menyerang Almeera! Ini gila! Ini tidak mungkin terjadi! Dia salah dengar, kan? Menikah dengan Tuan muda Almert? Maksudnya dengan Almert?! Yang benar saja!

Fade

"Apa?!" Almert berdiri dari duduknya, gelas porselen yang hanya di desain satu-satunya di dunia itu jatuh ke lantai, hancur menjadi serpihan-serpihan kaca yang tak bernilai, tapi ketiga orang yang sedang berada di ruangan itu hanya saling menatap dengan tegang. Beberapa orang pelayan bersiap berlari ke dalam ruangan, untuk membersihkan serpihan kaca itu sebelum melukai majikan mereka atau mereka nantinya yang akan kena sembur, sayangnya, melihat situasi panas yang sedang menyelimuti ruang makan keluarga tempat ketiga majikannya berada, mereka lebih memilih terkena imbasnya kali ini.

"Kami tidak memintamu untuk membawanya segera ke altar pernikahan, kami hanya memintamu untuk mempertimbangkannya" ucap sang ibu menatap putranya yang kini nampak sangat marah.

"Perusahaan kita berkembang dengan sangat baik, kita bahkan tidak butuh pernikahan politik atau pun pernikahan bisnis untuk memperkuatnya, hubungan yang terjalin sejauh ini dengan kolega dan para politikus tak perlu di ragukan lagi, yang kita butuhkan hanyalah mempertahankan apa yang sudah ada, jangan sampai ada kemunduran" lanjut ayahnya, yang dengan santai memotong daging steak welldone-nya dan memasukkannya ke dalam mulutnya, kemudian mengunyahnya perlahan sambil menikmati rasa yang mulai memenuhi lidahnya.

"Ibu sudah memperhatikan Almeera sejak ia kecil. Kepribadiannya baik, dia anak yang patuh, dan tangguh. Dia kuat, dan yang terpenting dia tidak gila dengan uang dan kekayaan" Nyonya besar melipat kedua tangannya di atas meja, memajukan sedikit tubuhnya, menunjukkan minat yang besar pada Almert "Kau butuh wanita seperti dia di sisimu, dia tidak akan serakah dengan hartamu dan dia bisa menjadi pengikut yang setia" lanjut ibunya setengah mendesis.

"Apa?" Almert lagi. "Jadi maksud ibu aku hanya perlu memanfaatkannya?" Tanya Almert dan ibunya mengangguk sempurna, sambil tersenyum puas.

"Kau hanya perlu memilikinya diatas kertas jika kau tidak begitu menyukainya, kau bisa bermain dengan siapapun asal tidak di ketahui publik di luar sana, lagipula, image dermawan dan tidak membedakan derajat akan melekat pada keluarga kita jika masyarakat tahu kau hanya menikahi gadis biasa, bukan dari kalangan orang kaya seperti kita dan itu tentu saja adalah hal yang baik, orang-orang akan semakin memuja kita, dan harga saham kita akan makin menanjak naik" jelas ibunya. Almert terdiam. Mempertimbangkan. Dia dan Almeera hanya perlu menikah di atas kertas?

"Kami hanya perlu menikah diatas kertas?" beo Almert dan sekali lagi ibunya mengangguk.

"Kehadiran seorang penerus tentunya akan lebih baik, tapi, kami tidak akan berharap banyak mengenai hal itu, cukup berikan kami seorang penerus, entah itu dari Rahim Almeera sendiri atau dari wanita lain, toh nantinya anak itu tetap akan tercatat sebagai anakmu dan Almeera" jelas ibunya. Almert terduduk kembali di kursinya, dia mencoba mencerna pembicaraan mendadak ini, yang membuatnya lumayan shock dan sesak nafas.

"Jujur saja Almert, ayah dan ibu tidak begitu menyukai sosok Tiffany dulu, dia seperti wanita penggoda yang siap menebar pesonannya kepada siapa saja demi mendapatkan uang, untung saja kau putus dengannya…" ibu Almert lagi, tapi Almert sudah tidak memperhatikan lanjutan dari apa yang dikatakan oleh ibunya itu, pikirannya kini terfokus pada satu hal. Menikahi Almeera.

Bagi keluarganya, jika memang ada jalan dirinya dan Almeera menikah, mungkin itu hanya akan menjadi pernikahan diatas kertas, tapi bagi Almert lain, karena ada satu hal yang tidak di ketahui oleh ibunya, bahwa Almert diam-diam menyimpan rasa yang berbeda untuk seorang Almeera selama ini.

Fade