Chereads / Fade to love you / Chapter 6 - FTLY 6

Chapter 6 - FTLY 6

Kenapa? Kenapa dia kembali? Aku tidak ingin dia kembali! Dia membawa kenangan itu berputar dan mengelilingiku lagi. Aku membencinya! Aku benci dia!

Almeera meraung. Menghancurkan semua yang ada dikamarnya. Tidak peduli meskipun diluar kamar, orang tuanya terdengar memanggil dengan khawatir. Almeera terus berontak, semampu yang dia bisa. Dia, Almeera, ingin menghapus segala kenangan menyedihkan itu dari dalam kepalanya. Dia ingin menghapus dan menghilangkan segala hinaan yang di terimanya di masa lalu. Almeera ingin pergi. Pergi meninggalkan semua kepahitan dari masa lalu, dan tiba-tiba orang itu datang. Dia datang seperti pangeran berkuda putih yang tidak bersalah, mengulurkan tangannya dengan ramah pada Almeera menawarkan persahabatan, tapi menghancurkan. Almeera tidak ingin menjalin hubungan lagi dengan orang itu. Almeera tidak ingin terbayang akan masa lalunya yang penuh dengan hinaan lagi, tapi, orang itu adalah sahabat Erik dan…ah...yah…Erik, kemana dia? Almeera meraih ponselnya, dan mengecek apapun disana, tapi, Erik bahkan tak mengirimanya pesan?! Kemana Erik disaat Almeera sangat membutuhkannya seperti saat ini?

"Aahhh…." Almeera kembali meraung.

Fade

Erik membuka matanya perlahan. Dia praktis tidak akan mendapati tempat yang nyaman seperti apartemennya, karena dia tahu, dia sedang berada di rumah sakit. Erik menelisik sekeliling ruangan dan mendapati Almert yang sibuk dengan macbook dan berbagai laporan yang menumpuk.

Erik tersenyum kecut,seorang bos besar, rela menungguinya di rumah sakit, ini bahkan lebih dari sekedar kata kehormatan. Ini yang mereka sebut persaudaraan.

"Aku tidak tahu kalau ruangan presdir adalah tempat seseorang dengan kanker hati kronis di rawat" lirih Erik. Almert mengangkat kepalanya, dan praktis menghampiri Erik begitu menyadari Erik sudah sadar dari pingsannya.

"Kau sudah sadar? Kau baik-baik saja?" Tanya Almert mengambil sebuah kursi dan merapat ke tempat tidur Erik.

"Tentu saja. Kau membuatku merasa lebih buruk sekarang. Seharusnya yang berada di sisiku sekarang adalah seorang wanita cantik yang sedang berurai air mata, bukannya seorang paman dengan tampang kumal sepertimu" cerca Erik begitu saja, tapi Almert malah tersenyum, dalam keadaan seperti ini, Almert tahu, Erik hanya berusaha menutupi keadaannya yang sebenarnya.

"Kenapa kau terus menahannya? Berapa lama lagi ini bisa bertahan?" Almert menatap Erik dalam, seketika senyum di wajah Erik memudar, dia mengalihkan pandangannya dari Almert.

"Aku tidak tahu, bahkan aku tidak yakin apa aku masih bisa melihat matahari besok" Erik datar.

"Aku sudah susah payah mendapatkan pendonor hati itu untukmu tapi kenapa kau malah berikan pada orang lain?" Almert lagi, masih tidak bergerak dari posisinya semula.

"Dia seorang ayah dengan tiga orang anak. Dia punya sebuah keluarga yang harus di lindungi, dia punya istri yang menunggunya di rumah, jika aku menerima hati itu, aku bukan hanya akan membiarkan satu orang kehilangan nyawa di depan mataku, tapi aku mungkin akan melihat sebuah keluarga bahagia hancur dan tidak bisa berbuat apa-apa dengan hal itu, mungkin saja, akan tercipta Erik lain di dunia ini karena hal itu, aku tidak bisa…."

"Lalu Almeera? Apa yang akan kau lakukan dengan Almeera?" pertanyaan Almert itu seketika membuat Erik menitikkan air mata. Almert benar, lalu bagaimana dengan Almeera? Almeera akan sendirian? Apa dia akan kesepian? Almeera bukanlah seseorang yang dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar seperti dirinya, Almeera butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menerima keberadaan seseorang di sisinya, dan jika tidak ada Erik di sisinya, apa Almeera akan baik-baik saja? Memikirkan Almeera membuat Erik menangis makin kencang. Ia meraung sebisanya. Berteriak dan menyalahkan diri sendiri. Kenapa semua ini harus terjadi padanya, kehilangan keluarga yang di cintainya saat masih kecil, dan sekarang, setelah dia menemukan seseorang yang sangat di cintainya, ketika hidupnya sudah terasa begitu lengkap, dia harus menderita kanker hati stadium akhir, apa hidupnya memang selalu menyedihkan seperti ini?

Almert mendekat. Memberi pelukan hangat untuk menenangkan Erik. Pelukan seorang kakak yang tidak bisa melihat adiknya tersakiti, karena didalam hatinya dia juga sakit.

Fade

Sudah tiga hari. Sudah tiga hari Almeera mengurung dirinya didalam kamar. Tanpa makan, tanpa minum, tanpa berkomunikasi dengan siapapun dan tanpa kabar dari Erik. Jika mengingat Erik, hati Almeera makin sakit. Mereka baik-baik saja, lalu kenapa Erik tidak menghubunginya sama sekali? Apa Erik tidak memikirkannya? Apa Erik tidak khawatir kemana dia selama tiga hari ini? Almeera tersenyum sinis, dia masih ingin menangis. Dia masih ingin marah, tapi, tenaganya sudah tak ada. Dia nyaris kehilangan kesadarannya saat mendengar suara jeritan ibunya dari kamar sebelah. Almeera membulatkan matanya selebar dia bisa, berlari membuka pintu kamar dengan tergesa-gesa, dan menghampiri ibunya yang sudah terkulai lemas, terduduk didepan pintu kamar adiknya, Zafreno.

"Zafreno…��� lirih Nyonya Park, hanya bisa menyaksikan dengan miris anaknya terkulai lemas, entah masih hidup atau sudah tiada, yang pasti dia sudah tak begerak, Almeera berlari, menghampiri tubuh si adik, dan segera memeriksa denyut nadinya, masih ada, dan Almeera benar-benar bersyukur akan hal itu. Dengan gerakan gesit Almeera meraih ponsel Zafreno yang tergelatak di samping si empunya dan mendial nomor ambulans.

"Ma, tenanglah, aku butuh bantuanmu untuk mengambilkan air hangat, Reno, butuh di hangatkan" pinta Almeera pada si ibu yang masih terduduk lemas setelah Almeera menyelesaikan panggilannya.

"Ma plis!" teriaknya kali ini, karena ibunya masih tak bergerak dari posisinya semula, ibunya tersadar, dan segera berlari menuju dapur.

"Reno….sadarlah! Ini kakak. Sadarlah Reno...plis???" ucap Almeera memohon. Keringat dingin memenuhi dahinya, menetes satu per satu menyentuh wajah Zafreno, tapi bahkan peluh sang kakak pun tak dapat membuat Zafreno terbangun.

Kurang dari sepuluh menit, mobil ambulans yang membawa Zafreno tiba di rumah sakit. Para perawat dan tim dokter segera membawa Zafreno ke ruang operasi. Almeera terduduk lemas di ruang tunggu, sementara sang ibu, masih seperti tadi, tak bisa mengatakan apapun, hanya bisa diam dan menangis.

"Almeera bagaimana keadaan Zafreno?" sang ayah yang baru tiba di rumah sakit menghampiri Almeera.

"Pa…" Almeera langsung memeluk ayahnya, dan menumpahkan segala ketakutannya. Almeera sadar, seberapa keras pun dia mencoba untuk bertahan dan menjadi kuat, semua itu tak ada artinya. Dia tetaplah seorang wanita, dan Almeera tahu dia tidak bisa menyalahi kodratnya itu. Dia tetaplah seorang wanita yang butuh pria sebagai tempatnya bersandar. Entah itu ayah, adik, ataupun kekasihnya. Mengingat mengenai kekasih, hati Almeera makin sakit. Dia tidak sanggup jika harus hidup tanpa Erik, tapi sepertinya tidak begitu adanya dengan Erik. Terbukti, sudah tiga hari ini Erik sama sekali tidak menghubunginya.

"Almeera, pulanglah" ucap pak Sutomo setelah Almeera melepaskan pelukannya. Almeera menatap ayahnya tak percaya, Zafreno sedang dalam keadaan seperti ini dan ayahnya menyuruhnya pulang?!

"Pa, aku…" Almeera meringis, tidak terima dengan perintah ayahnya.

"Lihatlah keadaanmu. Kau berantakan. Kau juga belum makan sama sekali, bukan? Banyak hal yang harus kau kerjakan" jelas ayahnya hati-hati, takut memancing amarah Almeera, bagaimanapun mereka sedang di rumah sakit.

"Tapi…"

"Dan kau juga harus mengurus pekerjaanmu. Ayah percaya, kau tidak akan membiarkan dirimu mengandalkan koneksi Presdir terus, bukan? Meskipun kalian sangat akrab dulu, tapi sekarang, setelah sekian lama tidak bertemu, apa menurutmu dia masih sama? Waktu dan jarak bisa merubah seseorang Almeera..." pak Sutomo menatap Almeera dan menghembuskan nafasnya pelan.

"Ap, apa maksud papa?" Almeera terbatah, otaknya, benar-benar tidak bisa menerima apa yang di ucapkan oleh ayahnya, dan kenapa pula dia harus mengandalkan koneksi dengan orang itu? Dia sudah bekerja, dan selama tiga hari ini dia hanya…damn! Almeera lupa! Dia terlalu larut dengan masa lalunya selama tiga hari terakhir, dan lupa kalau dia punya kewajiban lain di luar sana. Dia tidak masuk kerja selama tiga hari tanpa keterangan, dia pasti harus merelakan dirinya mendapat surat peringatan atau pemutusan hubungan kerja.

"Maaf pa...kalau begitu aku akan pulang, tapi Zafreno...." Almeera memandang bergantian pada ayah dan ibunya. Ibu Almeera, yang sejak kejadian tadi hanya bisa diam dan menangis, akhirnya tersenyum dan menghampiri Almeera.

"Pergilah. Urus urusanmu sendiri. Urus hidupmu. Zafreno adalah tanggung jawab kami. Kau, pantas untuk memperjuangkan hidupmu sendiri" ucap ibunya, Almeera tersenyum, memeluk ibunya sekilas, menatap sekali lagi mata teduh ayahnya dan setengah berlari menuju pintu keluar rumah sakit, memanggil taksi terdekat dan menuju rumahnya lagi.

Fade

"Apa kau yakin kau bisa?" Tanya Almert sekali lagi. Meski wajahnya masih sepucat hari pertama dia berada di rumah sakit ini, Erik tersenyum ke arah Almert yang hanya pasrah memandangnya. Erik adalah seseorang yang keras kepala. Sekali dia mengatakan sesuatu maka sekalipun dunia kiamat tidak akan bisa membuatnya mengubah hal itu.

"Aku yakin, lagipula kau sudah dengar apa yang di ucapkan dokter tadi? Ini hanya serangan mendadak. Aku masih punya 30% peluang untuk bertahan" Erik memasukkan satu per satu baju ke dalam tas yang ada di atas tempat tidur.

"Dan kau berencana menghabiskan 30% itu?" Tanya Almert menatap Erik tajam. Erik tersenyum.

"Aku berencana menikah dengan Almeera" Degh. Kata-kata Erik itu membuat Almert terpaku di tempatnya. Diam seribu bahasa. Dia tidak tahu, kenapa sekarang rasanya dia ingin meninju wajah Erik, di saat seharusnya dia memeluknya dan memberi selamat.

"Hei, bung! Ada apa? Kau baik-baik saja?" Erik menghampiri Almert setelah menyelesaikan semua hal yang dilakukannya tadi.

"Aahhh…yah...tentu. Ayo kita pulang" dan Almert mendahului Erik melangkah keluar dari kamar rawat inap rumah sakit itu, berjalan menuju pintu keluar dalam diam. Erik perlahan merasa aneh, dia tahu, ada sesautu yang tidak beres dengan sahabatnya ini.

Fade

Jam 12 siang. Ragu-ragu Almeera melangkahkan kaki kedalam ruang HRD. Dia 99% yakin akan di pecat hari ini, dia hanya datang untuk memastika 1% nya lagi.

"Kau datang? Bagaimana perjalanan bisnismu ke Busan?" Tanya Bianca begitu Almeera menampakkan dirinya di dalam ruangan HRD. Apa? Perjalanan bisnis? Ke Busan? Almeera terdiam, apa mungkin dia sedang melupakan sesuatu?

"Kami di beritahu, kau sedang melakukan perjalanan bisnis bersama GM Erik ke Busan, hah, kau pasti bahagia sekali, meskipun itu hanya sebuah perjalanan bisnis, kau hanya berdua dengan GM tampan itu. Apa terjadi sesuatu?" goda Sinta begitu Almeera duduk di kursinya. Apa ini berarti dia tidak akan dipecat?

"Hei, jangan diam saja! Mana oleh-oleh untukku" Sinta lagi. Almeera terdiam.

"Maaf Sinta, selama disana, aku tidak mengecek ponselku, lagipula kami terlalu sibuk untuk bisa melakukan hal lain" Almeera terbatah, menjawab pertanyaan dari teman yang duduk disampingnya ini.

"Berhenti mengelak! Apa kau terlalu asik bersama GM Erik?" goda Sinta tidak ada habisnya. Kini dia malah mencolek-colek perut Almeera, membuat gadis itu merasa geli, dan merasa lebih baik, sepertinya semua baik-baik saja disini.

Tunggu dulu. Kalau dia bersama GM Erik, apa itu berarti selama tiga hari ini Erik juga tidak masuk kerja? Lalu kemana pria itu? Dia sama sekali juga tidak menghubunginya? Apa terjadi sesuatu?

"Almeera, anda di perintahkan untuk pergi ke ruangan Presdir" teriak Bianca padanya. Baguslah. Dia memang butuh penjelasan untuk semua yang terjadi ini. Dengan mantap, Almeera berdiri dan melangkah menuju lift yang akan mengantarnya naik ke ruang Presdir berada.

Fade

Aneh. Itulah yang ada dipikiran Almeera saat pertama kali menginjakkan kakinya di lantai tempat kantor Presdir berada. Ini bukan pertama kalinya Almeera kesini, dan dia ingat betul, bahwa seharusnya yang pertama kali di temui saat menginjakkan kaki di tempat ini adalah dua orang sekretaris dan seorang security yang di tempatkan khusus untuk menjaga lantai ini. Tapi sekarang? Tak seorang pun yang Almeera temui, tidak dengan dua orang sekretaris dan tidak juga dengan security nya, tempat ini sesepi pekuburan!

Tapi apapun itu, Almeera tidak peduli. Dia memberanikan diri berjalan terus melewati ruang meeting dan rest room yang kosong, menuju kantor Presdir.

"Masuk" ucap Almert dari dalam ruangan begitu Almeera mnegetuk. Almeera memutar kenop pintu, dan disanalah dia. Pria itu Nampak berdiri dengan angkuh di depan rak buku yang ada di ruangannya, seperti sedang membaca sebuah buku dan terlarut didalamnya.

Almert membalik tubuhnya begitu menyadari keberadaan Almeera di ruangannya. Almeera menahan nafas, saat melihat Almert dengan style seperti saat ini. Begitu rupawan dan mempesona. Almert mengenakan kacamata tipis, dan melepas jas resmi yang biasanya melekat di tubuhnya, dia hanya mengenakan kemeja yang di gulung santai hingga siku.

"Kau datang?" Tanya Almert ramah dan tersenyum. Datang? Tersenyum? Bukankah Almert yang meminta Almeera kesini?

"Ah yah, maaf, maksudku, silahkan duduk" Almert meletakkan buku yang dipegangnya kembali ke dalam rak, dan berjalan menuju sofa di tengah ruangan, kemudian duduk. Memandangi Almeera dengan kening berkerut karena Almeera tidak bergerak sesenti pun dari tempatnya berdiri sekarang.

"Kau tidak berminat untuk duduk?" Tanya Almert menatap Almeera. Almeera hanya diam.

"Sepertinya reuni kita tidak berjalan dengan baik, dan aku menyayangkan hal itu" lanjut Almert lagi menghembuskan nafas, jelas sekali dia merasa tidak puas dengan situasi yang terjadi sekarang antara dirinya dan Almeera. Bukan hal seperti ini yang dia inginkan. Dia hanya berharap, setidaknya, Almeera bisa menyambutnya dengan hangat, setidaknya, mereka bisa kembali tertawa bersama mengingat kenangan-kenangan masa kecil mereka, tapi sepertinya itu hanya akan jadi harapan bertepuk sebelah tangan Almert.

"Apa sebenarnya yang anda pikirkan? Dan Busan apa? Aku bahkan tak sehari pun berada disana!" tuntut Almeera menatap Almert nanar. Kebekuan terjadi diantara mereka, dan apa itu? 'Anda'? Almert memicingkan matanya saat Almeera memanggilnya dengan panggilan se-formal itu, bukan panggilan kak Almert yang senang didengarnya dari bibir mungil Almeera yang dulu atau setidaknya panggilan lucu "pak Presdir" yang berasal dari Almeera milik Erik, meski selalu seperti ada sekat yang tergores di bagian hatinya, setiap kali otaknya mengingatkan dirinya sendiri bahwa Almeera adalah milik Erik.

"Apa kau tidak mengerti dengan sesuatu yang di sebut koneksi? Kau sekarang sedang berhadapan dengan koneksi terbaikmu di perusahaan ini, bukankah seharusnya kau bersikap lebih sopan?" ada kegetiran dari nada bicara Almert. Dia benci harus mengatakan hal itu. Tapi dia tidak punya pilihan lain, yang dia inginkan sekarang hanyalah berbicara secara baik-baik dengan Almeera, tapi sepertinya gadis itu sudah di selimuti oleh emosi saat menuju ke kantornya ini.

"Sekarang anda berbicara mengenai koneksi? Aku tidak cukup beruntung untuk…" kalimat Almeera terputus, kemudian dia menolehkan kepalanya ketika melihat Erik dengan setelan formalnya melangkah dengan santai memasuki ruangan Almert.

"Almert, aku…" Erik menghentikan langkahnya tepat di sisi Almeera, kemudian menolehkan kepalanya, tersenyum, seketika itu juga menatap Almeera yang sedang susah payah menahan air matanya agar tak jatuh.

"Erik, kau brengsek!" dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi Erik.

"Almeera!" bentak Almert, berdiri dari duduknya, tapi hal itu pun tak di indahkan oleh Almeera, ia lalu berlari meninggalkan ruangan Presdir dengan berderai air mata, dia sangat bersyukur di tempat itu tak ada siapapun atau apapun kecuali kegetiran yang kini setia menemaninya.

Tapi meski begitu, bukannya berlari menuju lift, Almeera malah berbelok menuju tangga darurat, berlari menuruni tangga sejauh satu lantai dan berhenti di tengah anak tangga, duduk, kemudian menangis sebisanya, berteriak semampunya. Ia tak peduli, toh tak ada siapapun yang akan mendengarnya, sekalipun ada orang itu hanya akan berpikir hal itu adalah perbuatan dari hantu penunggu gedung bukan dari seorang Almeera yang beberapa hari belakangan sedang menjadi topik panas pembicaraan di kantor karena di tugaskan ke Busan bersama kekasihnya GM Erik, yang sebenarnya hanya cerita fiktif karangan bos mereka sendiri.

Almeera tersenyum sinis, ke Busan apanya? Beruntungnya apa? Kalau hal itu sungguh terjadi betapa beruntungnya dia, sayangnya, bagi Almeera itu hanyalah cerita pahit yang alih-alih harus di tertawakan bersama Erik seperti biasanya, kini harus dia telan sendiri. Harus dia rasakan sendiri getirnya. Apa ini berarti hubungannya dengan Erik berakhir sampai disini?

Fade

"Kau baik-baik saja?" Almert menghampiri Erik begitu Almeera meninggalkan kantornya.

"Hmm…eumm…ini bukan salahnya, aku tidak mengabarinya selama tiga hari ini" Erik mengusap sudut bibirnya, yang basah karena darah yang disebabkan oleh bibirnya yang sobek karena di tampar cukup keras oleh Almeera.

"Tapi mungkin selama itu, Almeera sendiri tidak ingin di hubungi" mata Erik berkilat, tidak mengerti dengan apa yang di ucapkan Almert. Seorang Almeera tidak ingin dihubungi oleh dirinya? Yang benar saja?!

"Maafkan aku, aku hanya ingin kau tahu kalau aku sudah mengenal Almeera selama enam tahun terakhir ini, dan aku tahu bagaimana dia, jadi…" Erik menatap Almert.

"Dan aku sudah mengenalnya sejak dia lahir ke dunia ini" kalimat itu hanya bisa tertahan sampai di tenggorokan Almert, tak bisa di ucapkan.

"Jadi kurasa tak ada siapapun yang lebih mengenalnya melebihi aku saat ini" lanjut Erik tersenyum lagi.

"Aku harus mengejarnya jika aku tak ingin kehilangan dirinya, iya kan?" Erik menatap Almert sekali lagi tapi kali ini dengan pandangan yang lebih ramah, tersenyum simpul lalu mulai meninggalkan Almert sendirian di ruangannya. Almert menghembuskan nafas, menunggu kelanjutan dari kisah ini.

Fade.