Chereads / Fade to love you / Chapter 5 - FTLY 5

Chapter 5 - FTLY 5

Demi Tuhan! Untuk pertama kalinya dalam hidup, ini pertama kalinya Almeera tidak menikmati makan siangnya. Bagaimana tidak? Baru saja dia melangkahkan kaki ke dalam kantin, dia langsung menjadi pusat perhatian. Hampir semua pandangan tertuju padanya, bahkan dia bisa mendengar orang-orang berbisik mengenai penampilannya, dan apa yang dia makan, dan Almeera sangat risih mengenai hal itu, di tambah lagi yang lebih menyakitkan adalah dia menghadapinya seorang diri. Tanpa ada seorang pun di sisinya.

Almeera mengambil jatah makananya dan memilih duduk di sudut kantin, di tempat yang tidak terlalu mencolok, dan tempat di mana dia bisa jauh dari mendengar bisikan-bisikan tentang dirinya. Meski rasanya, lehernya tercekat dan tak ingin makan, Almeera memaksa dirinya sendiri untuk menelan makanan di depannya, dia tidak akan kalah dengan situasi ini, dia seorang wanita yang kuat.

Saat tiba-tiba semua orang dikantin terdiam, dan suasana mendadak hening, dua orang pria menghampirinya sambil membawa nampan makan siang mereka.

"Almeera…Almeera" teriak Erik menghampirinya, meletakkan nampannya didepan Almeera, lalu duduk didepan Almeera, begitu pula dengan Almert yang duduk di sisi Erik.

"Bisakah kalian pura-pura tidak mengenalku saat berada di kantor?" Almeera meletakkan sumpitnya dengan sebal, sekarang semua orang sepenuhnya menatap ke arah mereka tanpa ada kata malu atau pun takut, semua fokus tertuju pada dirinya, dan semua itu karena dua orang pria yang ada di depannya sekarang.

"Ada Apa?" Tanya Erik cuek mulai menyuapkan makanan kedalam mulutnya begitu juga dengan Almert.

"Orang-orang mulai membicarakan tentangku, berbisik sana sini dan itu membuatku tidak nyaman" keluh Almeera. Kini melipat kedua tangannya didepan dada setelah meletakkan sumpit dan sendoknya dengan enggan di atas nampan makanan. Selera makannya 100% lenyap meninggalkannya, bahkan rohnya sepertinya sudah di ujung tanduk, jika bukan karena kedua bosnya ini, dan demi Tuhan! Mereka sedang di kantor sekarang!

Almert menghentikan makannya setelah menyadari Almeera hanya memandang mereka nanar, pria dengan mata sipit itu sempat menyikut Erik, tapi percuma saja, Erik hanya melirik sebentar ke arah Almeera lalu melanjutkan makannya, dan menatap Almeera. Erik bahkan mengambil semua bawah putih dari nampan makanan Almeera dan menukarnya dengan wortel yang ada di nampannya sendiri.

"Kenapa kau melakukan hal itu?" Tanya Almert, ternyata lebih tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Erik daripada yang di bicarakan oleh Almeera, meskipun sekali-sekali matanya akan melirik ke arah Almeera, mengawasi apa yang akan di lakukan oleh gadis itu, tentu saja sebisa mungkin tanpa disadari oleh Erik, dan kenapa juga Almert harus melakukan hal itu? Perasaan geli menghampirinya, tapi, Almert membiarkan nuraninya bertindak kali ini.

"Hem?" Erik menatap Almert dengan mulut penuh makanan. "Ahh…dia tidak suka bawang putih, dan aku tidak makan wortel, jadi aku menukarnya, kami pasangan yang cocok, kan?" jelas Erik dan kembali menyuapkan makanan kedalam mulutnya, Almert mengangguk mengerti.

"Perbedaan menyatukan antara seorang manusia dengan manusia lainnya, bukannya memisahkan. Aku rasa seperti itulah kalian berdua mengartikan hubungan kalian" Almert menerawang. Pikirannya tiba-tiba kosong, meski dia bisa merasakan ada percikan kecil di sudut hatinya yang menggelitik, tapi selalu berhasil ia tepis.

"Meskipun begitu…Almeera, tidak baik pilih-pilih makanan, seharusnya kau memakan semuanya, bawang putih bagus untuk kesehatanmu, dia menjaga dari kolesterol jahat" Almert kembali meraih sumpitnya dan ikut mengambil bawang putih dari makanan Almeera. Almeera menatap mereka berdua dengan nanar. Tidakkah mereka berdua peduli dengan dirinya?

"Dan Erik, kenapa kau tidak menceritakan apapun padaku?" Tanya Almeera teringat insiden yang di dengarnya tadi pagi di lobi.

"Apa?" Tanya Erik masih tetap menikmati makanannya.

"Mengenai wanita yang menyatakan perasaannya padamu, dan kenapa kau menolaknya?" tatap Almeera sinis, dia sepenuhnya marah sekarang.

"Jadi, kau ingin aku menerimanya?" Almeera tersentak mendengar pertanyaan Erik, ah, benar juga, Erik kan pacarnya, kalau Erik menerima perasaan wanita itu, berarti Erik menduakannya? Almeera bodoh! Almeera merutuki dirinya sendiri, saat Erik tiba-tiba menyodorkan sepotong daging ke arahnya dan menyuapinya, spontan Almeera membuka mulut dan menerima suapan Erik.

Almert yang tidak mau kalah, ikut menyodorkan daging kepada Almeera. Almeera memandang Erik karena terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Almert padanya, jujur saja, Almeera tidak terbiasa makan dari sumpit pria lain selain, keluarganya dan Erik tentu saja, tapi dia juga tidak enak jika dia tidak menerima suapan Almert ini, Erik tersenyum menyadari keterkejutan Almeera lalu mengangguk, jadi Almeera hanya bisa membuka mulutnya dan menerima suapan Almert juga.

"Tapi aku tidak menyangka kalau keadaan disini akan se-kacau ini" ucap Almert tiba-tiba, Almeera dan Erik memandangnya penuh tanya.

"Eumm… apa ada yang tidak beres?" Tanya Almeera hati-hati.

"Disini lebih kacau dari yang kubayangkan, aku dan Erik mungkin akan kesulitan menanganinya jika kami hanya berdua" Almert mengunyah makanannnya, dan menelannya dengan cepat, merasa tidak sabar untuk segera menyampaikan apa yang tertera dalam otaknya.

"Erik...harus kah kita meminta bantuan mereka?" Tanya Almert kepada Erik yang asik dengan supnya.

"Hemm…kurasa akan lebih baik begitu, masalahnya adalah, apakah mereka mau? Mereka masing-masing punya kegiatan yang berbeda" jawab Erik. Almeera sekarang seperti tertarik ke dalam dunia yang tidak diketahuinya dan menjadi mahluk asing disana, dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Almert dan Erik bicarakan.

"Aku akan menanyakannnya dulu" ucap Almert lalu melanjutkan menikmati makanannya.

"Tapi ngomong-ngomong ternyata makanan disini lumayan juga" ucap Almert kemudian, Almeera mengangguk setuju.

"Hemm…rasanya seperti makanan restoran bintang lima! Mantap!" lanjut Erik.

"Aah…satu-satunya hal baik yang kutemukan sejauh ini hanyalah makanan ini. Aku akan mengecek bagian kantin" ucap Almert lagi berbalik mencoba menengok ke arah dapur.

"Eumm...haruskah kau sampai mengecek bagian kantin? Apa itu tidak terlalu berlebihan?" Tanya Almeera hati-hati takut menyinggung Almert, meskipun Almeera tahu, seorang pebisnis sejati, memegang kendali atas usahanya sampai ke hal terkecil sekalipun.

"Menurutmu terlalu berlebihan? Begitu?" Almert menatap Erik dan Almeera bergantian, keduanya mengangguk setuju.

"Kalau begitu…Almeera, lakukan hal itu untukku" ucap Almert spontan.

"Tidak mau! Kenapa harus aku? Itu bukan tugasku juga" spontan Almeera menolak, membuat mereka bertiga tertawa, membuat iri orang lain yang melihatnya.

"Kenapa? Dapat teman baru, teman lama dilupakan, kan?" Bianca membawa nampan makananannya menghampiri Sinta yang sedari tadi memandang ke meja Almeera. Dia tidak berkomentar sama sekali.

"Setidaknya, Almeera tidak menusuk temannya sendiri dari belakang" Sinta mengangkat nampannya dengan kasar. Memegang erat pada pinggiran nampan seolah nampan itu adalah satu-satunya tempat untuknya berpegangan saat ini.

Fade

Malam terasa dingin dan sepi, tapi Almeera masih betah berdiri didepan rumahnya. Dia sedang menunggu seseorang. Erik, tentu saja. Setelah makan siang yang heboh tadi siang, sisanya, dia hanya menjalani rutinitas yang membosankan di kantor HRD, sebenarnya, Almeera sudah akan kabur dan pulang lebih cepat seandaiya saja dia tidak ingat kalau dia dan Erik akan bersama saat pulang kantor, jadi dia berusaha mati-matian menahan diri dari keinginannya itu. Sayangnya, lagi-lagi Almeera harus menyesali keputusannya itu, Erik dan Presdir ada rapat tambahan dengan klien penting, jadilah Almeera pulang sendirian, tapi begitu ia melangkahkan kaki di depan pintu rumah, pesan dari Erik sudah berhasil membuatnya bersemangat kembali, Erik akan menemuinya sebentar malam.

Jadi, disinilah dia. Menanti. Ini untuk yang kesekian kalinya Almeera melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya, sudah menunjukkan jam sembilan lewat dua puluh menit. Almeera mengerutkan keningnya, tidak biasanya Erik akan berkunjung jam segini. Almeera kenal betul siapa seorang Erik. Seorang pria yang begitu teratur menjalani hidupnya, dia akan makan tepat waktu dan tidur tepat waktu, bangun di pagi hari pada jam yang sama, dan berangkat ke kantor di menit yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi sampai jam segini pun Erik bahkan tak memberi kabar dimana keberadaan dirinya dan membuat Almeera berpikiran negatif, takut kalau-kalau sesuatu yang buruk sedang menimpa Erik nya. Almeera meraih ponselnya, dia tidak bisa menahan lagi. Di tekannya angka 1 dan nama "Pacarku" langsung terpampang disana. Apa dia akan marah? Apa dia tidak akan mengangkat telponnya? Apa sesuatu terjadi padanya? Apa dia masih sibuk atau apa dia lupa? Berbagai pertanyaan itu memenuhi pikiran Almeera sekarang. Dia sudah tidak sabar, menginginkan jawaban dari semua pertanyaan yang ada di pikirannya itu, yang membuatnya nyaris gila.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

Jantung Almeera berdetak semakin kencang. Tidak aktif? Tidak biasanya? Apa dia menghindariku sekarang? Atau dia sedang selingkuh dengan wanita lain? Atau terjadi sesuatu padanya? Dia mengalami kecelakaan? Lagi-lagi berbagai argument berkecamuk di kepala Almeera yang menunggu dengan tidak sabar untuk di jawab.

Fade

Erik sudah mengambil jaketnya. Dia, segera akan berangkat untuk bertemu dengan pemilik hatinya, Almeera. Saat tiba-tiba sakit itu menyerangnya. Sudah lama sekali sejak dia mendapatkan serangan yang terakhir. Sakit yang tak tertahankan tiba-tiba menghampirinya. Erik pikir, dia sudah berhasil dengan segala terapi dan pengobatan yang dilakukannya selama ini. Erik kira semua itu berhasil, tapi kenapa? Kenapa di saat dia akan menemui Almeera nya? Kenapa? Erik berusaha menahan rasa sakit yang di rasakannya, dan terus berjalan. Memaksa diri, tapi percuma saja, Erik sudah lupa bagaimana rasa sakit itu, dia lupa kalau rasa sakitnya akan seperti ini. Tubuhnya mulai melengkung dan lututnya mulai bertumpu di lantai, wajah Erik mulai memerah, menahan sakit. Air matanya pun mulai menetes, sebagai reaksi spontan akan rasa sakit yang sedang dirasakannya saat ini. Urat-urat lehernya bahkan kini terlihat. Jelas sekali, Erik kini sedang melawan rasa sakit itu, rasa sakit yang membuatnya ingin menjerit. Rasa sakit yang membuatnya ingin mati, tapi, tidak, dia tidak bisa mati sekarang. Dia punya Almeera, dia tidak akan membiarkan Almeera sendirian, setidaknya, dia tidak akan meninggalkan Almeera dengan cara seperti ini, jika dia akan pergi, setidaknya dia harus melihat senyum Almeera, sekali saja dan untuk yang terakhir kalinya. Dia ingin melihat senyum bahagia gadis yang telah mencuri hatinya selama bertahun-tahun itu. Almeera nya. Dia ingin melihatnya…

"Aku mohon…" lirih Erik tertahan, sampai akhirnya dia tidak bisa menahan lagi, tubuhnya ambruk ke lantai apartemen. Erik tidak sadarkan diri.

Fade

Jam 12 malam tepat. Almeera memandang jam yang tertera di layar ponselnya, cukup sudah! Ini sudah keterlaluan! Erik, kau akan menerima akibatnya besok! Aku berjanji kau tidak akan bisa hidup sampai besok lusa karena aku akan membunuhmu! Umpat Almeera dalam hati. Dia melangkah masuk kedalam rumah, menghentakkan kakinya ke tanah dengan keras saking sebalnya. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya hal ini terjadi, dari dulu, Erik memang seperti ini, yang membuat Almeera kesal adalah kali ini Erik tak mengabarinya sama sekali! Biasanya, Erik akan mengirim setidaknya pesan suara dan membatalkan janji mereka agar Almeera tidak terlalu lama menunggunya, tapi malam ini? Apa waktu juga sudah berhasil merubah Erik? Almeera sudah hampir meneteskan air mata dan melangkah masuk kedalam rumah saat mendengar suara ban berdecit memasuki halaman rumahnya. Almeera tersenyum, buru-buru membalik tubuhnya dan berlari ke arah sumber suara berada, berdiri terpaku beberapa meter didepan pintu rumah melihat siapa yang datang menemuinya.

"Presdir?" senyum di wajah Almeera memudar, tergantikan dengan seribu tanda tanya, apa yang dilakukan Almert di rumahnya malam-malam begini? Diam-diam dia terus memperhatikan setiap pergerakan bosnya itu, dari saat pria itu membuka pintu mobil hingga berjalan menuju tempat Almeera berdiri sekarang.

"Selamat Malam Almeera?" sapa Almert tersenyum ramah, seperti biasanya.

"Selamat Ma…" ulang Almert terputus saat tiba-tiba ayah Almeera muncul dari balik pintu rumah dan berjalan dengan girang menghampirinya dan Almeera.

"Selamat malam tuan muda!" teriak ayah Almeera dengan rasa senang yang berlebihan menurut Almeera, membuat gadis itu tertunduk malu karena tingkah berlebihan ayahnya.

"Ah, selamat malam paman" sapa Almert tersenyum pada Pak Sutomo, dan membungkuk memberi hormat.

"Lihat siapa yang datang. Presdir perusahaan kita!" ucap ayah Almeera masih antusias.

Sekali lagi, Almert menunduk, memberi hormat.

"Hahaha, ada perlu apa anda kesini, tuan muda?" Tanya ibu Almeera yang Almeera tidak sadar dari mana datangnya, saking menunduknya memandang tanah karena malu.

"Ah, yaaah, ibuku menyuruhku untuk mengantarkan ginseng liar ini untuk paman, kami dengar anda sedang tidak sehat akhir-akhir ini" jelas Almert mengusurkan bungkusan yang baru Almeera sadari, sedari tadi terus di pegangnya. Pak Sutomo meraih bungkusan yang di bawa Almert dan tersenyum setelah memeriksa isinya.

"Kami sangat beruntung bisa bekerja di keluarga anda." Pak Sutomo membungkuk. Pipi Almeera seketika memerah. Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba Almeera merasa harga dirinya jatuh seketika. Kenapa ayahnya mesti merendahkan dirinya seperti itu di depan Almert? Apa hanya karena sekantong ginseng liar yang di bawa oleh Almert? Cih, Almeera berusaha sangat keras agar dirinya tidak perlu melihat pemandangan seperti ini lagi selama sisa hidupnya. Dia mati-matian belajar ekstra keras di sekolah dan perguruan tinggi hingga berhasil menjadi yang terbaik, dan juga, berhasil menjadi karyawan di perusahaan paling besar di Negara ini hanya untuk mengangkat harkat dan martabatnya sendiri, tapi percuma saja, rupanya, rumput liar tidak akan pernah bisa menjelma menjadi setangkai bunga mawar yang indah.

"Anda tak perlu seperti itu paman, tolong…" Almert melangkah maju mendekati pak Sutomo, tapi sebelum dia berhasil meraih bahu pria tua itu, ayah Almeera sudah kembali ke posisinya semula.

"Baiklah kalau begitu aku akan masuk ke dalam rumah dan memberi kalian berdua waktu untuk mengobrol. Kalian sudah lama tidak bertemu, kan?" dan tanpa menunggu respon keduanya, pak Sutomo menarik istrinya yang hanya bisa terdiam untuk meninggalkan Almeera dan Almert dalam kediaman juga.

Begitu ayahnya menghilang dari pandangan, lutut Almeera menjadi lemas dan dia terduduk di atas tanah, menangis, mengeluh sebisanya.

"Kau baik-baik saja?" Almert hendak mendekat ke tempat Almeera, saat Almeera mengacungkan tangannya ke depan dan meminta Almert agar tidak mendekat. Dirinya sudah cukup malu malam ini, dan Almeera tidak ingin lebih malu lagi.

Flashback on

Almeera berdiri terpaku di tempatnya. Dia merasa bodoh sekarang dan tentu saja merasa menyedihkan. Usianya masih 7 tahun, dan dia sekarang harus melihat anak-anak seusianya bermain dan berlarian di acara ulang tahun si empunya rumah, siapa lagi kalau bukan Almert, tuan muda yang selalu membuatnya iri. Almeera memutuskan untuk pergi saja dari tempat itu, tapi Almert ke buru melihatnya. Sekarang, anak laki-laki itu malah mendekat ke arahnya, dengan ekspressi yang tidak dapat terbaca oleh otak dan pikiran Almeera. Spontan saja, saat Almert sudah semakin dekat ketempatnya berdiri sekarang, Almeera mundur beberapa langkah.

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Almeera memulai pertahanan dirinya. Almert kecil tersenyum dan menariknya.

"Lepaskan aku!" teriak Almeera meronta, dia ingin pergi dari sini! Sekarang juga!

"Almeera, sebentar lagi..." Almert menoleh saat teman-temannya mendekat.

"Bukankah dia Almeera?" Tanya seorang gadis kecil seumuran Almeera, gadis itu tampak memperhatikan penampilan Almeera dari atas ke bawah dengan jijik, Almeera bersumpah dia tidak akan pernah melupakan cara gadis kecil itu memandangnya seumur hidupnya. Itu adalah pandangan paling menghina yang pernah ia terima, dan otak kecilnya saat itu, sayangnya mendukung dengan keputusan Almeera itu, terbukti dengan bagaimana Almeera mengingat kejadian itu dengan jelas.

"Yah, dia Almeera, anak Paman Sutomo, dia…" lagi lagi kalimat Almert terputus saat seorang teman laki-lakinya berhamburan ke depan menghampiri Almeera, dan memandangnya tidak kalah menjijikkan dengan gadis yang tadi.

"Wah! Baru kali ini aku melihat anak seorang pembantu secara langsung, ternyata begini gayanya, benar-benar menjijikkan, yah?" dan komentar dari anak laki-laki itu sempurna membuat semua yang ada disana tertawa. Tertawa dan merasa lucu, sambil memandang rendah pada Almeera. Air mata Almeera mengalir semakin deras, wajahnya memerah, dia berlari meninggalkan tempat itu. Berlari sejauh yang dia bisa. Berlari kemana saja yang bisa ia tempuh dengan kaki kecilnya. Berlari dan berlari, lari dari masalah, berlari meninggalkan tempat yang menurut orang lain adalah surga, tapi merupakan neraka bagi Almeera. Bagaimana bisa? Semua orang tertawa saat hanya dirinya sendiri yang menangis, bagaimana bisa, mereka semua tertawa ketika dia sendiri meneteskan air mata dengan begitu derasnya. Almeera kecil hanya bisa menangis dan menangis. Dirinya masih begitu kecil dan rapuh, tapi hinaan yang harus di terimanya sudah begitu menyakitkan, dan itu semua karena…

Flashback off

Ingatan itu membangkitkan kenangan lama Almeera, kenangan hitam yang ingin di hapusnya, tapi, kemudian takdir berkata lain, Almeera kembali harus mengingat hal tak menyenangkan dari masa lalu melalui seseorang di hadapannya sekarang.

"Terima kasih untuk penghinaan yang kau berikan lagi hari ini, Kak Almert?!" Almeera memandang sinis ke arah Almert. Kening Almert berkerut, tidak mengerti apa maksud Almeera. Satu hal yang terlintas di benak Almert adalah kata 'Kak Almert'. Kak Almert?

"Apa kau mengingatnya? Kau sudah mengingatku?" Tanya Almert mendekat perlahan ke arah Almeera tapi Almeera justru melangkah mundur dengan terburu-buru, seolah Almert adalah virus mematikan yang tidak bisa didekati.

"Jangan mendekat padaku! Dan pergi kau dari sini!" teriak Almeera sebelum gadis itu berlari masuk ke dalam rumahnya, kemudian membanting pintu. Meninggalkan Almert yang di penuhi seribu macam tanda tanya. Almeera akhirnya mengingatnya, kalau mereka punya 'masa lalu'. Masa lalu sebelum Erik muncul, tapi kenapa reaksi Almeera seperti itu? Almeera seperti tidak ingin mendekat padanya, Almeera seperti membencinya. Memangnya ada apa dengannya? Apa dia melakukan sebuah kesalahan? Almert mencoba mengingat, tapi tak menemukan apapun, sekali lagi Almert memandang ke arah pintu rumah yang tadi dibanting oleh Almeera. Pintu itu kini tertutup dengan sangat rapat. Seperti pintu hati Almeera yang mungkin sudah tertutup rapat untuk menerima keberadaan Almert disana. Pintu yang hanya akan terbuka untuk Erik seorang. Ah yah! Erik! Terlalu bahagia karena Almeera akhirnya mengingatnya, membuat Almert lupa tujuan lainnya kesini, tapi melihat reaksi Almeera padanya tadi, bahkan telpon Almert pun sekarang tidak akan di jawab oleh Almeera. Dengan berat hati Almert melangkah, kembail memasuki lamborgininya dan meninggalkan rumah keluarga Pak Sutomo.

Fade