Chereads / Fade to love you / Chapter 4 - FTLY 4

Chapter 4 - FTLY 4

Pria tua itu tersenyum. Jaket dan baju hangat sudah ia kenakan. Kini ia hanya perlu menunggu supirnya membukakan pintu untuknya dan membawanya keluar dari mobil. Tak perlu menunggu lama, si supir sudah membukakan pintu mobil untuknya, dan membantunya keluar dari mobil kemudian membantunya duduk di kursi roda yang telah disiapkan sebelumnya oleh si supir. Setelah semuanya beres, si supir mulai mendorong majikannya mengitari pinggiran sungai han. Saat itu udara sedang sejuk, dan juga tak banyak orang, jadi mereka bisa dengan nyaman menikmati pemandangan indah sungai han. Cukup lama mereka berjalan-jalan dalam diam, dan si supir pun tak mengeluh sedikit pun karena harus mendorong kursi roda milik majikannya cukup jauh.

"Pak Sutomo" sapa si majikan kemudian memecah keheningan di antara mereka.

"Ya tuan?" jawab si supir.

"Aku mendengar kau sedang kesulitan keuangan" kata si majikan pelan, berusaha agar tidak menyinggung si supir, si supir hanya diam.

"Apa Zafreno baik-baik saja? Terapinya lancar?" lanjut si majikan. Si supir tersenyum.

"Dokter mengatakan, jika dia tidak mendapatkan pendonor kali ini, mungkin akan lebih sulit untuk kedepannya" jawab si supir lagi, masih terus mendorong kursi roda majikannya. Si majikan terdiam, mengingat kembali masa-masa kejayaannya dulu sebelum dia terkena stroke dan menjadi lumpuh seperti sekarang, pak Sutomo selalu setia berada di sisinya. Di sampingnya, sebagai seorang supir, tidak, pak Sutomo sudah lebih seperti seorang teman baginya.

"Kau, lanjutkanlah terapi untuk Zafreno, kau tidak usah mengkhawatirkan mengenai dana" ucap si majikan kemudian.

"Ya? Baik. Terima kasih banyak tuan" ucap si supir terharu, ternyata, waktu tak merubah kebaikan hati yang dimiliki majikannya itu, dia masih saja dermawan seperti dulu.

"Hmmm…apa Almeera baik-baik saja?" Tanya si majikan lagi, mereka berhenti tepat di pinggiran sungai han, di tempat yang terdapat sebuah kursi taman. Si supir memarkirkan kursi roda majikannya disana, dan dia sendiri duduk di kursi taman.

"Iya…dia bekerja dengan penuh semangat setiap hari di perusahaan" jawab si supir.

"Apa dia sudah bertemu dengan Almert?" Tanya si majikan lagi. Si supir tidak menjawab, dia tidak tahu jawabannya. Almeera tak pernah menceritakan mengenai hal itu. Tiap hari, setelah pulang dari kantor, Almeera hanya makan malam lalu masuk ke dalam kamarnya, atau sesekali keluar bersama pacarnya, Erik.

"Hah…Almert anak itu, mungkin karena usianya yang sudah matang tapi belum menikah, dia menjadi mudah marah, terkadang membuatku berpikir apa sudah benar membuatnya menjadi Presdir?" lanjut si majikan mengeluh mengenai anak tunggalnya.

"Tapi bagaimana pun, Tuan muda adalah satu-satunya anak tuan, dan kudengar, perusahaan banyak mengalami kemajuan setelah dia mengambil alih" ucap si supir hati-hati, takut menyinggung perasaan majikannya.

"Kau benar mengenai hal itu. Aku mendidiknya dengan baik untuk menjadi seorang pewaris, tapi dia menjadi gila kerja sekarang, terlebih lagi saat dia memutuskan hubungan dengan tunangannya, padahal seharusnya sebentar lagi mereka menikah" cerita si majikan. Si supir kembali hanya diam, menyimak dengan seksama.

"Apa aku perlu mencarikan calon istri untuknya?" Tanya si majikan kini memberikan kode kepada si supir untuk menjawab.

"Heemm…menurut saya, tuan muda mungkin tidak akan suka ide itu, tuan" jawab si supir lagi.

"Ah yah…kau benar. Almert itu sangat mirip denganku, kami berdua sama-sama tidak suka di atur, keinginan kami hukumnya mutlak, dan kami memilih sendiri orang-orang yang ada di sisi kami" jelas si majikan, si supir membungkuk sedikit, membenarkan. Si majikan kemudian terdiam sesaat. Selama ini dia sudah membangun perusahaannya menjadi perusahaan yang cukup kuat untuk tidak bertopang atau bergantung dengan keberadaan perusaaan dari grup lain, sehingga tidak perlu adanya sesuatu yang di sebut pernikahan politik ataupun bisnis, dan Almert membuat perusahaan milik mereka makin kuat, lebih kuat dari sebelumnya.

"Oh, kemarin ibu Almert mengatakan sesuatu mengenai Almeera, kudengar dia tumbuh menjadi gadis yang baik dan santun" lanjut si majikan. Si supir terpaku di tempat selama beberapa detik, kemudian membungkuk.

"Kapan-kapan, katakan pada Almeera untuk berkunjung, sudah lama sekali sejak terakhir kali dia datang" lanjut si majikan, sekali lagi si supir hanya membungkuk, mengiyakan. Mereka terdiam lama menimati pemandangan sekeliling, saat angin tiba-tiba bertiup lebih kencang dari sebelumnya, udaranya menjadi semakin dingin.

"Apa seharusnya aku menjodohkan Almert dengan Almeera saja?" si majikan tampak berpikir dan mata si supir nyaris membulat sempurna mendengarnya, tapi tetap diam, tidak memberikan komentar.

"Ah, pak Sutomo kupikir sudah waktunya pulang sekarang, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan" ucap si majikan. Si supir membungkuk lagi, kemudian kembali mendorong kursi roda majikannya menuju tempat mobil mereka di parkirkan.

Flashback on

"Almeera…Almeera…" teriak seorang anak laki-laki berumur 9 tahun dari dalam kamarnya.

"Almeera! Almeera!" teriaknya makin lantang, seorang gadis berusia 6 tahun berlari masuk ke dalam kamar tempat anak laki-laki itu berada.

"Kak Almert! Kau memanggilku seperti besok akan kiamat! Ada apa denganmu?" Almeera berkacak pinggang sambil memandang nanar ke arah anak laki-laki itu. Tadi, dia sedang asik membantu ibunya di dapur yang sedang menyiapkan makan malam untuk keluarga Ciputra.

"Ad-ada laba-laba, aku ingin keluar tapi tidak bisa! Ada laba-laba disana!" anak laki-laki itu menunjuk tepat di gagang pintu. Seekor laba-laba bertengger di sana, dan tidak bergerak sama sekali. Almeera tertawa terbahak.

"Kak Almert! Kau pikir berapa umurmu? Dan seekor laba-laba membuatmu takut seperti itu? Ckckck…." Almeera tanpa diminta langsung mengambil kertas, dan menyingkirkan laba-laba itu dari sana, membuangnya kedalam tong sampah dan mengikat plastik yang melapisi tong sampah itu.

"Kau lihat? Hanya butuh waktu kurang dari 3 menit untuk menyingkirkannya" ucap Almeera kemudian. Almert melompat dari atas tempat tidurnya dan segera memeluk Almeera, dan mengecup pipinya.

"Terima kasih…Almeera" ucapnya, sekali lagi Almeera memandangnya nanar, dia tidak nyaman setiap kali Almert melakukan hal itu, jadi Almeera hanya mencubit pipi Almert dan keluar dari kamar anak laki-laki itu dengan sebal, kembali ke dapur membantu ibunya.

Flashback off

Fade

Almeera setengah berlari, dia tidak akan terlambat juga hari ini, dia sudah mulai panik saat mendapati kerumunan karyawan di pinggiran lobby.

"Almeera!" teriak Sinta saat melihat Almeera yang setengah berlari, Almeera menghentikan langkahnya, menatap ke jam tangan yang dipakainya, tersenyum lega ternyata masih ada 20 menit sebelum jam 8 pagi. Almeera akhirnya menatap sekeliling, lalu ada apa orang-orang berkumpul disini?

"Hei! Almeera! Kau tidak mendengar aku memanggilmu tadi?" Tanya Sinta kini menghampirinya.

"Ohhh… kak Sinta! Ada apa?" Tanya Almeera, mereka melanjutkan jalan bersama menuju divisi HRD.

"Kau tidak dengar gosip?" Tanya Sinta menatap Almeera, Almeera menggeleng mantap.

"Maaf aku lupa betapa sibuknya kau" Sinta memutar bola matanya.

"Kau tahu? Nami, dari divisi administrasi?" Sinta mulai bersemangat, Almeera tidak berkomentar, Sinta tahu Almeera tidak mengenal orang itu. "dia menyatakan cintanya pada GM Erik kemarin sore!" ucap Sinta dengan suara tinggi, mereka sedang berada tepat di depan pintu masuk divisi HRD.

"Apa?!" Almeera terkejut. "La-lalu, apa yang terjadi selanjutnya?" gugupnya, semalam Erik tidak mengatakan apa-apa padanya saat dia menelpon Almeera untuk menanyakan kabar.

"Tentu saja di tolak! Dan dengan sangat dingin, GM baru itu mengatakan 'kau pikir kau siapa? Jangan karena aku baik dan ramah pada semua orang lalu aku akan menerima semua wanita menjadi pacarku?!' dan dengan sangat malu Nami meninggalkan ruangannya, menurut gosip yang beredar Nami terlalu malu untuk ke kantor dan menyerahkan surat pengunduran dirinya tadi pagi-pagi sekali saat semua orang belum datang dan hanya menitipkannya pada receptionist" cerita Sinta, meletakkan tasnya di atas meja.

"Si GM itu, terlihat sangat ramah di luar, tapi sepertinya dia punya hati se dingin es, sama seperti Presdir Almert. Hmm…kalau kau punya hati sedingin es, untuk apa kau menutupinya dengan wajah ramah seperti itu, iyakan?" Sinta terus berceloteh. Almeera tiba-tiba memegang perutnya yang tidak sakit.

"Kak Sinta, perutku tiba-tiba sakit, aku rasa aku perlu ke toilet" lalu tanpa mengatakan apapun lagi, Almeera berlari menuju toilet menggenggam erat ponselnya.

Berkali-kali Almeera mendial nomor Erik, tapi tak ada jawaban dari Erik. Setelah mencobanya hampir dua puluh kali Almeera memutuskan untuk berhenti melakukannya. Almeera berjalan pelan keluar dari toilet, sempat melewati lobby yang masih di sesaki orang-orang yang bergosip mengenai Nami. Pikiran Almeera begitu terfokus pada Erik sampai dia tidak menayadari seseorang melangkah di depannya, dan menabraknya.

"Maafkan aku" Almeera membungkuk sedikit, meminta maaf dan kembali berjalan saat orang yang di tabraknya menahan lengannya.

"Mencariku, Almeera?" tiba-tiba di sana sepi, tak terdengar lagi suara orang-orang yang bergosip, mereka kini menahan nafas, menatap ke arah Almeera dan pria yang sedang menahan lengannya. Erik.

Almeera menatap Erik cukup lama, sampai ia tersadar kalau mereka sedang menarik perhatian semua orang yang ada disana. Almeera panik menayadari hal itu. Spontan menghempaskan tangan Erik dari lengannya, membungkuk sedikit dan berlari, saat seseorang tiba-tiba merangkulnya dan mencium pipinya. Almeera berhenti berlari dan berdiri kaku. Perasaan tidak nyaman yang sudah lama tidak di rasakannya menelusup masuk ke relung hatinya lagi, dia menatap pria yang melakukan itu. Almert. Almeera menarik nafas dalam, juga melepaskan tangan Almert dari bahunya. Sekarang, semua mata menatapnya, tajam.

"Woi Kamvret! Apa yang kau lakukan pada pacarku?!" Erik mendorong bahu Almert dan suaranya meninggi.

"Hahaha…maaf, aku hanya ingin mengagetkannya" Almert tertawa memegang perutnya. Sementara Almeera masih berdiri seperti patung, membeku.

"Jangan mencoba menyalipku, Almert" ancam Erik, lalu Almert merangkul bahu pria itu dan mereka tertawa bersama.

"Almeera…kemari" Erik melambaikan tangannya, Almeera masih terdiam kaku.

"Ngomong-ngomong ini sudah jam berapa?" Almert menarik tangan Erik di bahunya dan menatap jam tangan yang melingkar disana. Jam 08.30, dan lobby penuh oleh karyawannya. Wajah Almert mengeras, menghempaskan tangan Erik dari bahunya. Wajah tertawa yang bahagia tadi tiba-tiba tergantikan menjadi rahangnya yang menegang karena marah.

"APA YANG KALIAN SEMUA LAKUKAN DISINI! JAM KANTOR SUDAH MULAI 30 MENIT YANG LALU DAN KALIAN MASIH BERGOSIP DISINI? KALIAN MAU MATI? SIAPA SAJA YANG MASIH ADA DISINI DALAM 5 MENIT KEDEPAN HARUS MENYERAHKAN SURAT PENGUNDURAN DIRINYA PADAKU SORE INI JUGA!" bentak Almert, semua yang ada di lobby itu tiba-tiba berlari dengan panik, menuju divisi mereka masing-masing, begitu juga Almeera.

"Almeera, kita makan siang Bersama yah???" teriak Erik, dan Almeera tidak menghiraukannya, dia sibuk mengejar lift yang sebentar lagi tertutup.

Fade

Almeera menyelipkan tubuhnya yang ramping diantara kerumunan karyawan lain, saat tiba-tiba bulukuduknya berdiri, dia menengok ke sekitar, tak ada apa-apa, semua orang fokus dengan kegiatannya masing-masing, ada yang bermain ponsel, mengobrol atau melamun. Almeera kembali menatap refleksi dirinya di pintu lift yang sementara berjalan. Dia begitu fokus dengan refleksi itu hingga akhirnya dia sadar, bahwa semua orang yang ada di dalam lift itu ternyata menatapnya dengan tajam. Seolah, dengan tatapan mereka itu Almeera seketika bisa tercabik dan mati. Almeera kembali menengok ke sekeliling, tapi semua orang kembali sibuk dengan kegiatannya sendiri. Almeera menghembuskan nafas berat, hari ini…mungkin tidak akan berakhir di hari ini saja.

Saat pintu lift terbuka, semua karyawan yang ada didalam lift berhamburan keluar bak semut yang baru saja di lepas untuk mencari gumpalan gula, begitu juga Almeera, dengan heels 5 cm yang sedang di pakainya sekarang, dia masih berusaha berlari secepat dia bisa, menuju divisi HRD.

Suasana tiba-tiba lengang saat Almeera masuk dan berjalan menuju meja kerjanya, padahal Almeera sangat yakin tadi sempat mendengar kegaduhan dari dalam kantor sebelum dia masuk, tapi sepertinya segala kegaduhan itu menghilang lenyap, seolah tak berjejak begitu Almeera melangkah masuk. Bulukuduknya kembali berdiri, perasaan Almeera tiba-tiba menjadi tidak enak, dia yakin, semua ini ada hubungannya dengan dirinya. Pasti masalah saat di lobby. Almeera mengutuki diri sendiri. Kenapa juga dia harus bertemu dua orang itu? Kenapa juga dia harus mengenal mereka berdua ? Dan kenapa juga? Kenapa juga? Kenapa juga? Terlalu banyak kenapa juga disana, akankah sekarang Almeera menyesali pertemuannya dengan kedua orang berpengaruh di perusahaan itu? Almeera berusaha membuang pikiran bodoh itu dari kepalanya, karena sampai kapan pun dia tidak akan pernah menyesali kehadiran Erik dalam hidupnya.

Almeera duduk terpaku, melamun, saat Bianca mengetuk mejanya.

"Tolong fokus sedikit dengan pekerjaan yang ada di depanmu atau setidaknya berpura-pura saja melakukannya jika kau tidak mau, karena sebentar lagi akan ada inspeksi dari bos baru" ucap Bianca, dan hei! Apa-apaan ini? Bianca yang biasanya ramah padanya terlihat begitu tidak bersahabat, malah terkesan jutek padanya.

"Baik…Maaf kak" Almeera membungkuk sedikit, berpura-pura tidak merasakan perbedaan sikap Bianca. Dengan gaya super cuek Bianca meninggalkannya.

"Selamat pagi" Yoan membuka pintu divisi HRD, dan disana, ada serombongan pria dengan setelan lengkap melangkah masuk, Almeera menengok sedikit melalui sekat di antara mejanya dan meja karyawan lainnya. Almert, Erik, manajer masing-masing divisi dan tentu saja Yoan. Almeera menahan nafas sambil berdoa dalam hati, semoga kali ini dia tidak akan menarik perhatian lagi, karena dia tidak suka dengan segala tatapan sinis orang-orang padanya.

"Selamat pagi" jawab karyawan HRD lain kompak, tentu saja minus Almeera karena dia sedang sibuk berharap agar tidak terlalu menyolok.

"Ini adalah divisi HRD kami" pak Chandra mengambil alih dan menunjukkan ruangan kerja divisi HRD yang tidak terlalu luas. Hanya terdiri dari beberapa meja dengan sekat untuk dua belas orang karyawan, satu meja sekretaris HRD dan satu ruang manajer, juga ada satu ruangan kecil yang di gunakan sebagai gudang untuk penyimpanan file-file lama perusahaan di bagian belakang. Hanya itu. Almert mengangguk, Almeera sekali lagi melirik, wajahnya nampak serius sekali, tidak ada raut wajah ramah seperti yang dia tampilkan pada Almeera kemarin dan tadi pagi, Erik benar, Almert sangat berbeda, di kantor, dan saat bersama Erik saja dia terlihat ramah.

"Aku dengar kinerja divisi HRD selalu baik" ucap Almert masih datar, kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celananya. Pak Chandra menunduk sedikit, tersipu malu dan merasa bangga di saat yang bersamaan.

"Selalu baik?" beo Erik menatap pak Chandra dan Almert bergantian. Sekali lagi pak Chandra menunduk.

"Tapi bagiku itu masih tidak cukup pak Chandra, aku butuh kata lebih dari sekedar 'selalu baik' aku butuh peningkatan untuk setiap kinerja karyawan di perusahaan ini" ucap Almert tegas. Tiba-tiba suasana menjadi tegang, semua orang menahan nafas, menunggu dengan jantung yang berdebar apa yang selanjutnya akan dikatakan oleh Presdir baru ini.

"Aku butuh kata excellent, more excellent and more...more...more...jangan statis pada satu tempat" lanjut Almert. Pak Chandra kali ini tertunduk, bukan karena tersipu lagi tapi karena tidak tahu harus mengatakan apa, menatap wajah Presdir saja sekarang dia sudah tidak berani.

"Statis berarti tidak untung dan tidak rugi. Diam di tempat, dan aku tidak suka sesuatu yang tidak menghasilkan apapun." Ucap Almert lagi. Tulang rahangnya lebih keras dari sebelumnya.

"Aku beri anda waktu satu bulan untuk membenahi apa yang mungkin menurut anda salah, dan aku tidak mau mendengar kata statis saat rapat evaluasi awal bulan depan" Almert lagi.

Pak Chandra terdiam, dan entah kenapa, dia tiba-tiba menatap Almeera, sayangnya, Almeera menangkap tatapan pak Chandra itu, tapi, apa maksudnya tatapan itu?

"Aahhh…dan aku butuh rekap data dan kinerja perusahaan selama satu tahun terakhir, juga data dan kinerja karyawan yang ada dan…"ucap Almert, lalu suasana yang tadi sudah tegang malah makin menegang, data dan kinerja perusahaan dan karyawan? Apa akan ada pemecatan karyawan secara besar-besaran? Almert yang merasakan perubahan suasana di dalam kantor itu memandang berkeliling, menatap satu per satu karyawan yang ada disana.

"Pak Chandra?" tanyanya lagi.

"Ya? Ya...tuan?" pak Chandra menunduk.

"Aku ingin datanya sekarang" ucap Almert dingin, tidak peduli meskipun tahu sebagian besar karyawan di ruangan itu sekarang menahan nafas karena tegang. Erik tersenyum, menahan diri untuk tidak tertawa. Almert bukan sengaja melakukan itu, tapi Almert memang tidak pernah main-main jika itu menyangkut perusahaannya, dan Erik paham betul itu.

"Baik…tentu saja anda akan mendapatkan datanya sekarang." Pak Chandra mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan berhenti pada Almeera, menatap Almeera sesaat dengan memberikan pandangan 'lakukan yang terbaik' pak Chandra tersenyum licik tapi Almeera masih tidak mengerti apa maksudnya.

"Saudari Almeera, bisa tolong kau ambilkan Presdir data yang dia minta?" Tanya pak Chandra dengan nada bicara yang di buat selembut mungkin. Almeera terpaku. Dia kini kembali bisa merasakan semua mata memandangnya.

"Saudari Almeera?" ulang pak Chandra lagi.

"Yah? Baik…" lalu dengan gugup Almeera melangkah ke bagian belakang ruangan, ke lemari tempat penyimpanan berkas dengan sebal. Dia tidak mengerti kenapa harus dirinya yang melakukan hal itu, padahal seharusnya Bianca yang di minta oleh pak Chandra melakukannya, kan, Bianca yang sekretarisnya, bukan dia! Uuhh…Almeera menggerutu dalam hati.

Hanya butuh waktu 10 menit sampai Almeera menemukan data itu, terima kasih kepada kerja kerasnya dan teman-temannya bulan lalu yang rela mengorbankan akhir pekan mereka membereskan ruangan penyimpanan data ini. Tertatih, Almeera membawa tiga tumpukan map besar, yang berisi kinerja perusahaan, dan karyawan seperti yang diminta oleh Almert, Almeera membawanya tepat dihadapan Almert dan tanpa mengatakan apapun menyerahkannya begitu saja.

Almert tidak serta merta menerima map-map itu dia malah memberi kode kepada Erik untuk menerimanya. Erik tersenyum dan dengan senang hati meraih map-map dari tangan Almeera, Erik tahu dari tadi Almeera sudah kesulitan membawa map-map itu.

"Terima kasih, cantik" ucap Erik mengerling ke arah Almeera. Almeera hanya melotot pertanda tidak suka dengan apa yang Erik lakukan, Erik hanya terkekeh kemudian meminta Yoan untuk memanggil seorang office boy agar membawakan map-map itu ke ruangan Almert.

"Baiklah, cukup untuk hari ini, lanjutkan pekerjaan kalian, dan anda juga pak Chandra" lalu Almert keluar dari ruangan itu.

"Ahh…dan pak Chandra, tolong jangan memerintahkan kekasihku untuk melakukan pekerjaan yang bukan tugasnya" ucap Erik saat akan keluar dari ruangan, kemudian mengerling. Semua orang kembali menatap Almeera. Damn, Erik! Almeera kembali menjadi perhatian.

"Aku tahu Almeera kekasihmu tapi bisakah kau membedakan antara pekerjaan dan urusan pribadi?" Tanya Almert sambil terus berjalan menuju lift, bukan hanya ada mereka berdua disana, beberapa staff dan juga sekretaris Almert, Yoan berada satu rombongan dengan mereka, tapi Almert tidak peduli, bagaimana pun hubungan antara Erik dan Almeera cepat atau lambat akan ketahuan juga, jadi tidak perlu disembunyikan.

"Aku tahu, tapi, menyebalkan sekali melihat pria itu memerintah Almeera seenaknya" jawab Erik sebal. Mereka melangkah masuk kedalam lift.

��Kau benar. Aku akan mendepaknya jika kinerjanya tidak bagus selama setahun terakhir" lirih Almert, dan Erik tersenyum senang sambil merangkul bahu Almert. Membuat orang lain yang ada di dalam lift itu merasa iri, hubungan antara GM dan Presdir apa bisa sedekat itu? Tapi Erik hanya tidak tahu, Almert rasanya ingin melayangkan sebuah pukulan ke wajah pak Chandra saat dia menyuruh Almeera tadi, untungnya dia berhasil menahannya.

Fade

Almert menutup map yang berisi data karyawan divisi HRD didepannya. Almeera. Almeera. Ternyata dia adalah gadis itu. Adik mungilnya yang untuk sesaat sempat di lupakannya. Dia putri dari pak Sutomo. Ternyata itulah sebabnya dia merasa tak asing saat pertama kali bertemu dengan Almeera. Seandainya saja dia tahu dari awal, maka Almert pasti tak akan segan-segan untuk…

Almert termenung, senyum yang mengembang di bibirnya memudar seketika. Memangnya dia akan melakukan apa? Lagipula, sama seperti dirinya, Almeera juga tak mengenali dia, dan juga, Almeera adalah kekasih Erik. Menyadari fakta itu, entah mengapa tiba-tiba jantung Almert berdegup kencang dan nafasnya sesak. Ada apa ini?

"Almert! Ayo makan siang di kantin bersamaku dan Almeera!" Erik tiba-tiba masuk, membuyarkan lamunan Almert dan sesak nafasnya secara bersamaan.

Fade